Posted by ...................................................................................................

PUT SOME TITLE HERE


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Suspendisse interdum. Donec tristique dolor nec nisi. Ut faucibus metus non orci. Pellentesque sapien orci, blandit quis, luctus et, vestibulum tristique, massa. In gravida gravida felis. Integer tincidunt sollicitudin dolor.

Posted by ...................................................................................................

PUT SOME TITLE HERE


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Suspendisse interdum. Donec tristique dolor nec nisi. Ut faucibus metus non orci. Pellentesque sapien orci, blandit quis, luctus et, vestibulum tristique, massa. In gravida gravida felis. Integer tincidunt sollicitudin dolor.

Kamis, Oktober 15, 2009

Poros

di kilatan sentripetal kata-kataku lisan ini menjejak luka.pada usapan kedua sentrifugal terjerembab dan resah itu menjadi mahacemas tanda-tanda bahwa.hingga janin itu tiada lagi terkenang sebagai sperma.meludahkan lendir.kukulum asmaraku.

Mataram, 3 Oktober 2009

YANG TAKLEKANG

Yang taklekang olehku adalah cintamu
--kau cium sambil mengusap halus rambutku
selamat tinggal!

Yang taklekang olehku adalah kerlingmu
--menyapihkan setia pada lelap tidurku
tiada jumpa!

Yang taklekang olehku adalah firasat
--pada mata hati dan lisanku
yang membohongi dusta
tanpa sampai!

Yang taklekang olehku
adalah Kau

Adalah sejumput ragu yang terjengkang
--terjungkirkan oleh kata-kata
luruh dan tertinggal dalam sisa-sisa nafas


Mataram, 4 Oktober 2009

Senin, Mei 18, 2009

BILA MALAM BERTAMBAH MALAM (BMBM)

Naskah Karangan I Gusti Ngurah Putu Wijaya

ADEGAN 1

BERSAMAAN DENGAN MEMBIASNYA CAHAYA KEREMANGAN MENJELANG MALAM GUSTI BIANG YANG DUDUK MENYULAM DI SERAMBI RUMAHNYA MEMBESARKAN LAMPU TEPLOK DAN MEMPERHATIKAN SULAMANNYA YANG DIDEKATKAN KE LAMPU.
IA MENYULAM LAGI DAN MENGANGKAT MUKA, MEMASANG TELINGA, MENDENGAR SALAK ANJING DAN SUARA ANAK-ANAK BERMAIN. IA BERHENTI MENYULAM, MEMANDANG KEJAUHAN, MERENUNG LALU MEMANDANG KE SEKELILINGNYA, MEMPERHATIKAN HALAMAN RUMAHNYA. IA NAMPAK MENGUAP, MELEPASKAN SULAMANNYA DI PANGKUAN MEMANDANG LURUS KE DEPAN, LALU PELAN-PELAN MENYANDARKAN KEPALANYA. TERTIDUR. TERBANGUN LAGI, MENGUSAP MATA, TAPI MATA ITU SUDAH NGANTUK. IA TERTIDUR LAGI.
NGURAH MUNCUL DI PINTU SEBELAH SELATAN. IA MEMANDANG KE SEKELILING HALAMAN, LALU MATANYA TERTUMPU PADA WAJAH IBUNYA YANG TERTIDUR DI KURSI GOYANG.

NGURAH : (MELETAKKAN KOPER PELAN-PELAN, BERLUTUT, MENCIUM TANGAN IBUNYA DAN BERBISIK) Ibu....
G. BIANG : (BERGERAK PERLAHAN) Siapa itu???
NGURAH : Saya Ngurah, anak ibu. Saya telah datang.
G. BIANG : Ngurah anakku?
NGURAH : Ya. Saya Ngurah. Bangunlah Bu.
G. BIANG : Ngurah. Ngurah! Kenapa kau baru pulang? Sudah lima tahun kau di sana. Kau sudah lupa pada ibumu.

GUNG BIANG MELEPASKAN TANGANNYA PERLAHAN-LAHAN. TIBA-TIBA IA SEPERTI TERINGAT AKAN SESUATU. IA MENJANGKAU LAMPU, DIANGKATNYA TINGGI-TINGGI DAN MENDEKATKAN KE WAJAH NGURAH.
NGURAH : Tidak, Bu. Aku selalu mengingatmu.
G. BIANG : Kau bertambah kurus, apa saja yang kau makan di sana? Mereka rupanya tidak mengurus kau dengan baik.
NGURAH : Saya memang agak kurus, Bu. Tapi bukan karena kurang makan. Saya banyak berpikir.
G. BIANG : (MENUNDUKKAN KEPALA) Apa yang kau pikirkan? Kau kan tidak pernah memikirkan ibumu.
NGURAH : Saya Selalu Memikirkan Ibu.
G. BIANG : Benarkah Ngurah (memandang sekitarnya). Rumah ini sudah bertambah bobrok, karena tidak ada yang mengurusnya. Untung kau tidak membawa perempuan dari sana. Kalau kau juga seperti Ngurah Pernama di Puri Anom, barangkali aku akan cepat mati.
(PAUSE) Kalau hanya perempuan, perawan macam apa pun ada di sini.
Kau tinggal pilih saja ibu akan meminangnya untukmu. Tapi kukira tak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai di seluruh puri-puri di Tabanan ini. Sejak kau tinggalkan, dia bertambah besar dan cantik.
(PAUSE) Datanglah ke sana besok. Belikan dia oleh-oleh.
NGURAH : Ibu, nanti saja kita bicarakan hal itu. Saya memang ingin membicarakannya juga.
G. BIANG : Bagus. Kau tak usah malu-malu lagi, Ngurah.
(PAUSE. MEMANDANG KOPER ANAKNYA)
Apa isi koper itu, Ngurah.
NGURAH : Pakaian-Pakaian Saya, Bu.
G. BIANG : (PAUSE) Kau tidak membeli apa-apa untuk Ibumu ?
NGURAH : Ibu, saya sangat tergesa-gesa. Baju saja hampir saya lupa.
Titipan teman juga terlupakan. Maafkan aku, Bu.
G. BIANG : (KECEWA DAN MEMANDANG KELUAR) Kau selalu lupa pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya kau lakukan.
(MEMANDANGI ANAKNYA DAN SUARANYA KERAS) Tapi kau pasti tidak lupa membelikan apa-apa untuk perempuan begundal itu. Kau pasti membelikannya lagi sandal atau bedak atau kain batik. Ya apa tidak!
NGURAH : Ibu, tenanglah.
G. BIANG : Tidak! Kalau kau masih berniat kawin dengan dia, jangan coba-coba memasuki rumah ini.
(PAUSE) Dan.... Kalau kau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut nama ibu padaku.
NGURAH : Tenanglah Bu. Berikan saya kesempatan menerangkan sedikit.
G. BIANG : Tidak! Jawab dengan singkat! Apakah kau bermaksud kawin dengan dia? Jawab Ngurah.
(PAUSE/ MELIHAT ANAKNYA PANIK) Ngurah, jawab!
NGURAH : (MEMUKUL MEJA DENGAN KERAS) Ya!
(SUARANYA RENDAH) Ya, saya akan mengawininya.
G. BIANG : (SUARANYA RENDAH) Ngurah, kau sudah diguna-gunainya.
NGURAH : Kami saling mencintai, Bu.
G. BIANG : Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Aku tidak peduli dan tidak mengenal cinta. Apa itu cinta? Yang ada adalah kewajiban untuk menghormati martabat leluhur yang telah menurunkan kau. Menurunkan kita semua di sini.
(PAUSE)
Kau tidak boleh kawin dengan dia. Betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.
NGURAH : Sagung Rai? Tidak, Bu.
G. BIANG : Ya, apa kurangnya Sagung Rai dibandingkan dengan perempuan desa itu?
NGURAH : Siapa yang menjadikan Sagung Rai itu lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri saya? Karena derajat? Saya tidak pernah merasa diri saya lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh saya kebetulan dilahirkan di puri dengan martabat sebagai bangsawan, itu cuma menyebabkan saya harus berhati-hati. Saya harus pintar berkelakuan baik agar bisa menjadi teladan orang banyak, sebab pandangan mereka tertuju pada kita. Tidak ada yang lain. Omong kosong semuanya.
(PAUSE)
Ibu, saya sebenarnya pulang untuk meminta restu dari ibu. Tapi, karena ibu menolaknya, hanya karena soal kasta ibu tidak pernah melihat bagaimana cara berpikir orang-orang sekarang ini. Saya akan kawin dengan Nyoman untuk membuktikan bahwa sekarang ini, soal kebangsawanan jangan dibesar-besarkan lagi sehingga menghancurkan niat suci orang muda. Ibu harus menyesuaikan diri dengan zaman. Kalau tidak…. Ibu akan ditinggalkan oleh orang. Dan masyarakat akan menertawakan ibu.

MEREKA BERPANDANGAN SEBENTAR, LALU G. BIANG BERGERAK MENGAMBIL LAMPU TEPLOK DI ATAS MEJA DAN BERPALING AKAN MASUK KE DALAM. NGURAH MENCOBA MENGEJARNYA KETIKA G. BIANG MENDEKATI PINTU, NGURAH BERKATA.
NGURAH : Ibu….
G. BIANG : Tinggalkan aku anak durhaka. Pergilah memeluk kaki perempuan itu. Aku tak mau mendengarmu lagi. Tetapi ingat, leluhur akan mengutukmu, kau akan ketulahan. Ingatlah.
NGURAH : Ibu, ini tak bisa diselesaikan begini saja. Panggillah Nyoman dan Wayan. Mari kita bicarakan dengan tenang.
G. BIANG : Tidak. Sudah kuusir leak-leak itu. Aku tak mau memandang kedekilannya.
NGURAH : Diusir? Nyoman telah diusir?
G. BIANG : Ya. Leak itu telah pergi dari rumahku ini. Dan setan tua itu akan pergi juga. Ia tak akan mengganggu aku lagi. Kalau kau mau mengikutinya, terserahlah. Aku akan mempertahankan kehormatanku, kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, dan kehormatan leluhur-leluhur puri ini.
(GUSTI BIANG MELANGKAH KELUAR)

ADEGAN 2

SETELAH GUSTI BIANG KELUAR, PELAN-PELAN NGURAH BERJALAN MENUJU KURSI GOYANG IBUNYA, MAJU MENDEKATI KURSI ITU DAN MENGELUSNYA, MENUNDUK, MENGANGKAT MUKA KE ARAH IBUNYA YANG TADI MASUK.
WAYAN TUA MASUK MENJINJING KOPER TUA DAN MEMEGANG BEDIL TUA.
WAYAN : Ngurah. Ngurah!
NGURAH : Bapak Wayan? Ya, saya sudah datang, Bapak.
WAYAN : Tepat sekali. Tepat sekali. Ratu Ngurah datang.
NGURAH : Apa kabar Bapak?
WAYAN : Buruk, Ratu Ngurah. Buruk sekali.
NGURAH : Kenapa Bapak Wayan?
WAYAN : Nyoman telah pergi.
NGURAH : Nyoman telah pergi? Kemana?

WAYAN MELANGKAH KELUAR DAN NGURAH MEMANDANG KE ARAH WAYAN.
WAYAN : Baru saja ia pergi, saya telah berusaha mencegahnya. Saya mau menyusulnya sekarang.
NGURAH : Kenapa dia pergi, Pak?
WAYAN : Ratu Ngurah tahu sendiri, sudah lama G. Biang tidak cocok dengan Nyoman. Saya sudah berusaha untuk mendamaikannya, tetapi tidak bisa. Sudah lama Nyoman ingin minggat dari sini, tetapi masih dapat saya cegat.
(PAUSE)
Tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi.
(PAUSE)
Tetapi memang salah saya juga, Ratu Ngurah.
NGURAH : Sudahlah, Pak, jangan menyesali diri. Walau memang begitu biarlah dulu. Semuanya akan kita selesaikan. Saya juga baru bertengkar dengan Ibu. Duduklah Pak. Bapak jangan ikut pergi, apapun yang terjadi. Maafkanlah ibu, ia tidak tahu apa yang dilakukannya. Mari coba kita rundingkan.
(PAUSE)

NGURAH MENGATAKAN KATA-KATA TERAKHIRNYA PADA ADEGAN DUA
LALU TERMENUNG LAGI. IA MENCOBA MENGANGKAT MUKA INGIN MELIHAT REAKSI WAYAN TERHADAP KATA-KATANYA. TETAPI PADA SAAT ITU MUNCUL G. BIANG MEMBAWA LAMPU TEPLOK DARI DALAM. BEGITU G. BIANG MELIHAT WAYAN, IA NAIK PITAM, MARAHNYA NAIK DAN BERTERIAK, SAMBIL MENGANGKAT TONGKAT GADINGNYA DAN MENUDING KE ARAH WAYAN.
G. BIANG : Tinggalkan rumah ini sekarang juga.

NGURAH TERSENTAK DAN MELIHAT KE ARAH IBUNYA, DAN WAYAN MEMEGANG ERAT BEDILNYA DAN PELAN-PELAN MENGANGKAT KOPERNYA.
WAYAN : Baik. Saya telah berusaha dengan baik-baik, tetapi tidak berhasil.
Aku pergi sekarang.
G. BIANG : Ya, pergilah leak. Jangan mengotori rumah suamiku.

WAYAN MELANGKAH UNTUK KELUAR TAPI NGURAH MEMBURUNYA.
NGURAH : Bapak. Kenapa bapak biarkan semua ini terjadi ?Apa Bapak tinggalkan semua begini saja? Ingat, saya Ngurah, Bapak.
G. BIANG : Dia hantu. Biar ditinggalkannya rumah ini.
WAYAN : Ya, saya memang hantu.
(MEMANDANG KE SEKELILING RUMAH DAN HALAMAN)
Seperempat abad saya mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang saya pergi sebab tidak bisa lagi bergaul dengan keadaan yang buruk ini. Bapak pergi, Ratu Ngurah. (MELANGKAH PERGI)

G. BIANG MENGANGKAT LAMPU TEPLOK TINGGI-TINGGI MENERANGI WAYAN TUA YANG PELAN-PELAN MELANGKAHKAN KAKINYA.
G. BIANG : Nanti dulu. Apa yang kau bawa itu? Kau tak boleh mencuri barang-barangku.

WAYAN MENGANGKAT BEDIL YANG DIPEGANGNYA.
G. BIANG : Bedil? Bedil siapa itu.
WAYAN : Pak Rajawali punya bedil ketika revolusi. Bedil ini telah banyak membunuh pengkhianat.
G. BIANG : Bedil itu kepunyaanku.
WAYAN : Kepunyaan Gung Biang? Sayalah yang punya bedil ini.
G. BIANG : Ngurah, ambil bedil itu. Ia mau mencurinya. Bedil itu kusimpan di kamar ayahmu.
WAYAN : Ini bedil saya.
G. BIANG : Setan. Kau tidak saja menghasut anakku, tetapi juga mencuri hartaku. Ambil bedil itu, Ngurah. Bedil itu kepunyaanku.

NGURAH MENDEKATI WAYAN MENGAMBIL BEDIL ITU, TAPI WAYAN MUNDUR BEBERAPA LANGKAH SAMBIL TERBATA-BATA DAN RAGU-RAGU.
NGURAH : Coba saya lihat, Bapak. Bedil itu agak aneh tampaknya.
]WAYAN : Bedil ini kepunyaan saya.
NGURAH : Benar, tapi saya cuma ingin melihatnya.

WAYAN MENYERAHKAN BEDIL ITU, NGURAH MENGAMBIL DENGAN CERMAT.
NGURAH : Bedil ini serupa benar dengan bedil di kamar ayah.
G. BIANG : Benar. Dia pasti telah mencurinya.
NGURAH : Ibu, masih ingatkah ibu, di mana peluru itu?
G. BIANG : Tentu. Aku pasti menggantungnya di leher sebagai jimat.

G. BIANG MERABA LEHER DAN MEMPERLIHATKAN SEBUAH PELURU BERKALUNG DI LEHERNYA DENGAN RANTAI EMAS.
NGURAH : Coba lihat, ibu.

G. BIANG MELETAKKAN LAMPU DI MEJA DAN MEMPERLIHATKAN ANAKNYA KALUNG YANG BERUPA PELURU. NGURAH MENIMANG-NIMANG PELURU ITU SETELAH DIBERIKAN IBUNYA, SEMENTARA WAYAN TERDIAM MELIHAT KEDUA ORANG DI DEPANNYA ITU.
NGURAH : Peluru inilah yang telah membunuh ayah. Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini pada ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan terakhir pada ayah. Kemudian atas permintaan ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang telah dipergunakan untuk menembakkan peluru ini. Inilah senjata yang telah menembakkan peluru ini.
G. BIANG : Benar. Senjata inilah laknat yang telah membunuh ayahmu. Ngurah, Ngurah yang malang. Kau tak sempat mengenal ayahmu. NICA jahanam itu telah menembaknya.
WAYAN : Tidak, G. Biang. Saya kira tidak. NICA-NICA tidak mempunyai bedil seperti itu.
G. BIANG : Tidak.

WAYAN BERBALIK MEMANDANGI KEPADA GUNG BIANG DAN NGURAH.
WAYAN : Ya, bedil itu hanya dipunyai oleh kaum gerilya.
G. BIANG : Tidak, tidak. Kau bedebah. Dia ditembak oleh NICA.
Suamiku seorang pahlawan. Pahlawan sejati.
WAYAN : (TERTAWA SINIS) Semua pahlawan mati ditembak NICA.
Tetapi dia tidak. Dia, I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukanlah seorang pahlawan. Ia mati ditembak gerilya sebagai pengkhianat.
G. BIANG : Dengar, Ngurah. Dia telah menghina ayahmu. Usir dia dari rumah ini. Tembak dia sampai mati.

BEGITU SELESAI MENGUCAPKAN KATA-KATA IA MENGANGKAT TONGKATNYA DAN MAU MENYERANG WAYAN, TETAPI SEGERA DITAHAN WAYAN.
(PAUSE)
NGURAH :Kenapa Bapak bilang ayah saya pengkhianat?
Kenapa, Bapak Wayan membeo kata-kata yang iri hati.
Alangkah piciknya, kalau Bapak yang telah bertahun-tahun di sini, ikut merusak nama keluarga kami. Kenapa, Bapak?
(PAUSE)
WAYAN : Saya tahu semuanya, Ratu Ngurah. Sebab saya telah mendampinginya setiap saat dulu. Sejak kecil saya sepermainan dengan dia, ya, seperti Ngurah dengan Nyoman.
(MEMANDANG NGURAH) Dan saya tidak buta huruf seperti yang disangkanya. Saya bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya, tahukah Ratu Ngurah siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? NICA-NICA itu telah mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara, sehingga kawan-kawan hampir semuanya mati.
(SUARA LANTANG DAN MENUNJUK NGURAH)
Dalam Perang Puputan itu kita telah kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan saya yang paling baik, bahkan kehilangan Letkol Ngurah Rai sendiri.
(PAUSE)
Dialah, I Gusti Ketut Ngurah Mantri yang telah berkhianat.
(PAUSE)
Dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada NICA. Desa Marga menjadi saksi semua itu. Hanya karena beliau dilahirkan sebagai putra bangsawan yang berpengaruh dan dihormati karena jasa-jasa leluhur, dosa beliau terhadap Pak Rai, terhadap semua korban Puputan itu seperti dilupakan.
(PAUSE)
Tetapi saya sendiri, tidak pernah melupakannya.
G. BIANG : Tidak! Itu tidak benar. Suamiku seorang pahlawan.
Ngurah, usir bedebah itu dari rumah kita.
NGURAH : Saya tidak percaya! Bapak telah menghina keluargaku.
WAYAN : Bukan menghina, Ratu Ngurah. Bukan hanya beliau seorang, banyak pengkhianat di bumi ini yang dianggap oleh beberapa orang sebagai pahlawan, seperti juga banyak pahlawan yang benar-benar telah membuat kepahlawanan dilupakan orang.

WAYAN TERTAWA SINIS MENDENGAR SEMUA PEMBICARAAN NGURAH.
G. BIANG : Pergi!!!
WAYAN : Baik, aku pergi. Berikan bedil itu, Ratu Ngurah.
NGURAH : Tidak! Itu bedilku. Kau telah mencurinya. Sudah beberapa tahun ini hilang. Pantas saja, kau telah mencurinya.
WAYAN : Berikan bedil itu, Ratu Ngurah.
NGURAH : Coba buktikan, buktikan ayah saya seorang pengkhianat. Berikan bukti nyata, jangan hanya prasangka yang tidak beralasan.
WAYAN : Berikan bedil itu, Ratu Ngurah.
NGURAH : Bapak pura-pura tahu segalanya, tetapi tak punya bukti. Melihat yang busuk. Coba kalau memang tahu semuanya, katakan siapa yang telah menembaknya. Siapa????
WAYAN : Saya selalu mendampinginya. Sayalah yang dekat dengan dia. Dan…. Saya seorang gerilya.
NGURAH : Siapa????
(PAUSE)

WAYAN MELANGKAH KE ARAH NGURAH YANG SUDAH HAMPIR TIDAK STABIL PIKIRANNYA, LALU WAYAN MENGAMBIL BEDIL YANG DIPEGANG NGURAH, NGURAH HANYA MELIHAT SAJA DENGAN TENANG SEPERTI MENUNGGU SUATU LEDAKAN.
WAYAN : Aku telah sengaja melupakannya. Belanda-Belanda itu memungutnya, tetapi tak tahu siapa yang telah menembakkannya. Sayalah yang menembaknya!!!
NGURAH : Bapak?!
G. BIANG : Tidak, tidak!

GUNG BIANG MAU MELEMPAR WAYAN DENGAN TONGKATNYA BEGITU HABIS BERKATA, TAPI WAYAN MENGHAMPIRINYA DAN MERAMPAS TONGKATNYA SERTA MENDUDUKKANNYA.
WAYAN : Diam! Diam!
(PAUSE)
Sudah waktunya aku menerangkan semuanya ini sekarang. Dia sudah cukup besar untuk mengetahuinya. Ngurah! Ngurah boleh saja membelanya karena menyangka dia ayah Ngurah yang sejati. Tapi, kalau kau sudah tahu yang sebenarnya, kau akan malu untuk menganggap dia sebagai ayahmu. Tetapi bagaimanapun, ia bukan seorang pejuang! Dia seorang penjilat. Musuh gerilya. Dan juga pengkhianat keluarganya. Dia bukan seorang lelaki yang jantan.
dan…. Dia seorang impoten. Memang dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi ketidakmampuannya, menutupi kemandulannya. Kalau dia memang harus melakukan tugasnya sebagai seorang suami, sayalah yang sebagian besar melakukannya. Tapi itu semua telah menjadi rahasia sampai, sampai, ….kau lahir dan kau menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya.
(PAUSE)
Tapi coba tanyakan pada ibumu, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.

NGURAH MENDENGAR UCAPAN WAYAN SEPERTI DALAM MIMPI, DIA MENGHAMPIRI IBUNYA DAN GUNG BIANG TERISAK TAK BISA BICARA SEPATAH KATA PUN.
WAYAN : Dia berpura-pura saja tidak tahu siapa lelaki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil sampai tua bangka seperti ini. Ya, hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolak aku. Lalu dia kawin dengan seorang bangsawan, pengkhianat itu, semata-mata soal kasta. Dia meninggalkan aku yang tetap mengharapkannya. Aku bisa ditinggalkannya, tapi cinta itu semakin lama semakin mendalam dan berkobar.
NGURAH : Betulkah semua itu?
WAYAN : Tanyakan sendiri kepadanya.
NGURAH : Betulkah semua itu, Bu??

IBUNYA TIDAK BISA MENJAWAB HANYA BISA MENANGIS TERISAK-ISAK.
WAYAN : Saya menghamba di sini karena cinta padanya. Seperti cinta Ngurah pada Nyoman. Aku tidak pernah kawin. Ngurah! Kau tidak boleh kehilangan masa muda seperti Bapak hanya karena perbedaan kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapat halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini, mungkin ia bermalam di Dauh Pala, di rumah temannya. Bapak akan mengurus ibumu. Pergilah cepat. Kejar dia sebelum terlambat.

ADEGAN 3

DIPEKARANGAN RUMAH MADE, DUDUKLAH NYOMAN DAN TEMAN-TEMANNYA. NYOMAN TERLIHAT SANGAT SEDIH DAN MENANGIS TERISAK-ISAK, BEBERAPA SAAT KEMUDIAN DATANGLAH NGURAH.
NGURAH : Nyoman……Akhirnya aku dapat menemukanmu juga.
NYOMAN : Ngurah….Kau….(TERSENTAK)
NGURAH : Ya!! Aku telah mencarimu kemana-mana. Aku ingin mengajakmu pulang. Aku akan mengawinimu.
NYOMAN : Benarkah itu Ngurah? Tapi, bagaimana dengan Gung Biang? Gung Biang sangat membenciku. Dia tidak akan mungkin merestui kita.
TEMAN 1 : Ya, Ngurah, dari pada kau hanya membuat Nyoman sakit, lebih baik kau turuti saja kemauan biangmu itu.
TEMAN II : Bukankah kau juga sudah di jodohkan dengan Sagung Rai?
NGURAH : Tapi bagaimana pun aku tetap mencintaimu Nyoman aku tidak mencintai Sagung Rai.
(MENATAP NYOMAN) Nyoman….aku akan mengawinimu dan kita akan menghadapi itu bersama-sama, kau mau ikut pulang denganku bukan?
NYOMAN : Ya…aku akan ikut denganmu. Putu, Made terima kasih atas semuanya. Sekarang aku akan pulang, doakan kami ya…
TEMAN 1DAN II : Ya.. Nyoman kami pasti akan mendoakanmu. Semoga kau bahagia.

(NGURAH PULANG BERSAMA NYOMAN, IA MEMBAWA NYOMAN KE RUMAHNYA)


ADEGAN 4

GUNG BIANG MASIH TERLIHAT BERSEDIH DAN MENGENANG KEJADIAN KEMARIN. G. BIANG DUDUK DI KURSI GOYANGNYA. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN, SAGUNG RAI DATANG.
SAGUNG RAI : Om, suastiasu. Biang, ini saya bawakan sedikit kue dari memek.
G. BIANG : Terima kasih, Sagung.
SAGUNG RAI : Saya dengar bli Ngurah datang.
G. BIANG : Ya, Ngurah sudah datang, tapi dia sedang keluar. Tunggu saja sebentar lagi ia pasti pulang.
SAGUNG RAI : Maaf, Biang. Saya disuruh cepat pulang oleh Memek. Mungkin lain kali saya ke sini lagi.
G. BIANG : Baiklah, Nak. Sering-seringlah main kemari, ya Nak.
SAGUNG RAI : Ya, Gung Biang. Saya pulang dulu. Om Suastiastu.
NGURAH : (MENDEKATI IBUNYA) Bu….
G. BIANG : Anakku, kau sudah pulang rupanya…. Kau ke mana saja Nak? Baru saja Sagung Rai datang mencarimu. Dia membawakan makanan ini buatmu.
NGURAH : Aku.... Aku.... Aku membawa seseorang untuk ibu….
G. BIANG : Siapa anakku?
NGURAH : (NGURAH LALU KELUAR, KEMUDIAN MENGGANDENG NYOMAN) Ini dia, Bu….
G. BIANG : Apa!!! Apa maksudmu, Ngurah!!!
NGURAH : Aku akan mengawininya Bu….
G. BIANG : Kau! Jadi kau lebih memilih Nyoman dari pada wanita pilihan ibu?
NGURAH : Aku tidak mencintai Sagung Rai, Bu. Aku mencintai Nyoman. Dia adalah pilihanku. Aku harap ibu mengerti.
WAYAN : (MASUK) Gung Biang…. Bukannya Gung yang lebih paham tentang cinta, tentang kesetiaan. Bukannya Gung telah mencerminkan itu pada suami Gung yang selalu Gung hormati dan Gung junjung sebagai pahlawan. Dan apa sekarang Gung tidak mau mengerti perasaan anak Gung sendiri?
G. BIANG : (TERSENTAK MENDENGAR KATA-KATA NYOMAN. LALU, IA MENANGIS TERJATUH DI KURSI GOYANG)
Baik.... Ngurah, ibu merestui kalian. Maafkan ibu, Ngurah.
NGURAH : Ibu…. Ibu benar-benar bukan. Ibu merestui kami??
G. BIANG : (BERDIRI) Ya, Nak. Aku merestuimu. Menikahlah dengan Nyoman.
NGURAH : (NGURAH MEMELUK KAKI IBUNYA) Terima kasih ibu. maafkan Ngurah juga, Bu.
(NGURAH DAN NYOMAN MEMELUK KAKI BIANG. KEMUDIAN NGURAH MENGGANDENG NYOMAN MASUK).

G. BIANG DAN WAYAN KEMBALI TERINGAT MASA MUDA MEREKA. KEDUANYA SALING BERPANDANGAN DAN SEKARANG KEDUANYA TERINGAT KEMBALI. AIR MATA CINTA MEREKA YANG TAK PERNAH SAMPAI TERTEKAN SELAMA HIDUP. GUNG BIANG TERTUNDUK. MALU MENYERANGNYA KEMBALI SEDANGKAN WAYAN MENGUSAP AIR MATANYA. BAGIAN SEPASANG MANUSIA ITU KINI BARU DAPAT MERASAKAN CINTA MASING-MASING SAAT USIA MEREKA MENJELANG SENJA.

Ditulis Ulang Oleh Ardian dengan pemenggalan seperlunya.

DI ETALASE

Untuk Rialisnawati
Kaki kami berjalan. Ke sana ke mari. Melihat engkau. Melihat mereka. Ingin rasa kuikut memegang. Setiap luka yang kau pilih-pilih.
Aku memilih gempa.
Aku membeli banjir.
Aku memesan tsunami.
Belum juga habis kagum kami atasnya, datanglah bergerombolan orang-orang memborong. Mematut-matut di hadapan kami.
“Sudah cocokkah baju tentara ini?”
“Kau belum cocok tanpa revolver.”
“Kenakan sorban ini.”
Dan kami semakin terjepit. Di antara mereka yang tengah membeli. Lebih baik kita memilih. Bersembunyi saja di tanah ini. Sepi. Sepi.
Kain kafan. Bacakan talqin!
Ardian, 16 Mei 2009

Aku Mengajak

Aku mengajak anjing untuk mengeong. Mengajak harimau memakan rumput. Mengajak bintang bersinar sebesar lampu neon lima watt. Mengajak petani membuat pupuk dari tinja amoeba.

Lalu kuceritakan kepada kerbau, ia mengajakku menggonggong. Mulutku terkunci. Ia mengunyahkan untukmu keju. Kau yang babi tak hendak memakannya.

Kau bertanya mengapa aku mengajak ular makan di restoran? Aku mengajakmu memakan ulat. Memamah tanah. Tapi harimau pun tak hendak memakan anaknya. Dan kita tak hendak membakar rumah sendiri. Lalu, mengapa membiarkan gergaji raksasa itu membabat rumah saudara-saudara kita yang satu Tuhan pula?


Ardian, Mei 2009

Rabu, Mei 06, 2009

ANALISIS NOVEL HARIMAU! HARIMAU! KARYA MOCHTAR LUBIS

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Tema
Dalam novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis ini dapat disimpulkan bahwa tema yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah kepemimpinan, yaitu mengenai kebobrokan dalam sifat seorang pemimpin. Dalam novel ini terdapat seorang tokoh antagonis bernama Wak Katok yuang selalu dimitoskan oleh pengikutnya, enam orang pencari damar, ketika mencari damar di hutan sebagai seorang yang dihormati, disegani, dan sakti. Pemitosan ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

“ Wak Katok dihormati, disegani, dan malahan agak ditakuti, karena termashur ahli pencak silat dan mahir sebagai dukun.... Diceritakan orang, sewaktu dia masih muda di pernah berpencak melawan seekor beruang dan mengalahkannya. Tentang ilmu sihirnya... orang hanya berani berbisik-bisik saja tentang ini. Kata orang dia dapat bertemu dengan hantu dan jin. (halaman 5).

Menurut cerita orang, jika bersilat, Wak Katok dapat membunuh lawannya, tanpa tangan, kaki, atau pisau mengenai lawannya. Cukup dengan gerakan tangan atau kaki saja yang ditujukan ke arah kepala, perut atau ulu hati (halaman 9).

Oleh karena selalu dimitoskan orang, sosok Wak Katok sudah tidak dapat diganggu gugat lagi sebagai pemimpin yang berwibawa. Ia memiliki segala kriteria untuk menjadi pemimpin, yaitu kekuatan, wibawa, dan satu lagi mitos. Mitos bahwa ia memang seorang pemimpin yang mumpuni seperti terlihat dalam kutipan di atas yang banyak menggunakan kata kata orang dan diceritakan. Msyarakat tak pernah dengan benar-benar melihat secara nyata apa yang diceritakan kepadanya mengenai sosok Wak Katok tersebut, tetapi mereka mempercayai cerita itu.

Namun, ketika masalah mulai muncul, yaitu saat seekor harimau tua “memburu” mereka ketika dalam perjalanan pulang dari mengumpulkan damar di hutan, mulai nampak oleh para pendamar, pengikut wak Katok akan kejanggalan-kejanggalan pemitosan terhadap Wak Katok. Seperti pada kutipan di bawah ini.

Sanip berjalan dengan diam.... hatinya gundah gulana.... Apa yang dapat mereka lakukan berempat dengan sebuah senapan tua Wak Katok? Meskipun hatinya agak terobati, karena diberi jimat baru oleh Wak Katok, akan tetapi keraguannya belum hilang. Tidakkah Pak Balam memakai jimat, juga Talib dan Sutan? Dan bukankah mereka juga diserang sampai mati? Tetapi dia mendiamkan bisikan hatinya yang tak percaya, karena ini lebih membesarkan kerusuhan hatinya (halaman 171).

Wak Katok sendiri sudah merasa khawatir kehilangan kepercayaan dari pengikutnya tersebut, terutama sejak kematian Pak Balam yang kemudian disusul Talib, dan juga Sutan. Oleh karena itu ia memutuskan untuk mengikuti saran Pak Haji untuk mencari kembali Sutan setelah diserang harimau, seperti dalam kutipan di bawah ini.

Dia akan lebih takut lagi jika namanya akan rusak di kampung, jika orang kampung akan tahu, bahwa dia takut....Dia harus tetap memelihara keseganan dan hormat orang kampung terhadap dirinya. Dia merasa tak dapat hidup, jika dia tidak lagi dihormati, disegani, dan dipuji-puji di kampung (halaman 165-166).

Demikianlah Wak Katok semakin takut dan pada akhirnya ciri-ciri kerapuhan dan kebobrokan diri seorang pemimpin yang tercermin pada diri Wak Katok mulai muncul. Sifat pengecut Wak Katok yang semula tak pernah diketahui oleh para pencari damar mulai terlihat dan yang mengejutkan bahwa Wak Katoklah yang karena ketakutannya, memperlihatkan kelemahannya sendiri seperti dalam kutipan di bawah ini.

Wak Katok terkejut. Wak katok seperti orang yang terpukau, mengangkat senapan ke bahunya, membidik, lama-lama, sepasang mata itu diam saja, seakan tak bergerak, dan kemudian Wak Katok menarik pelatuk senapan ....berbunyi tik! Senapan tak meletus. Buyung, Pak Haji, dan Sanip melemparkan kayu menyala, menghalau harimau. Beberapa saat setelah harimau pergi mereka terkejut melihat senapan terlempar ke tanah dan Wak Katok ....menggulungkan badannya di dalam pondok, seakan seorang yang ingin menyembunyikan dirinya ke perut bumi (halaman 191).

Puncak dari ketidakpercayaan terhadap sosok Wak Katok adalah ketika Sanip denga terang-terangan mengatakan kebobrokan dan kelemahan diri Wak Katok, pemitosan yang penuh dengan kepalsuan. Hal itu terlihat dalam kutipan di bawah ini.

“Inikah Wak Katok yang gagah perkasa itu, guru paling besar, dukun paling besar, guru silat yang paling pandai, pemimpin yang paling besar. Mengapa Wak Katok kini hendak bersembunyi ke dalam tanah? Engkau guru palsu. Lihat ini.... jimat-jimatmu palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah di mana mereka kini, karena mempercayai engkau... mereka telah mati, telah binasa. Engkau memaksa orang mengakui dosa-dosa, tetapi bagaiman dngan dosa-dosamu sendiri (halaman 192).

Akan tetapi pesan utama yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Mochtar Lubis adalah seperti kata Pak Haji saat menjelang kematiannya dalam kutipan di bawah ini.

“Orang yang berkuasa, jika dihinggapi ketakutan, selalu berbuat zalim... ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga... sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri...engkau tak dapat hidup sendiri... cintailah manusia... bunuhlah harimau dalam hatimu.”



Setting atau latar
Dalam novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis ini dapat ditemukan adanya setting tempat kejadian bagian-bagian dalam cerita seperti pada kutipan di bawah ini.

Di dalam hutan terdapat pula sumber-sumber nafkah hidup manusia, rotan, damar, dan berbagai bahan kayu (halaman 2).
Jika hujan turun sedang mereka berdua bekerja di hulu hutan, mereka pergi berteduh di dalam pondokyang dibuat dari daun-daun pisang hutan dan keladi (halaman 19).


Dari penggambaran setting tempat pada contoh di atas, nyata sekali terlihat bahwa setting tempat terjadi di hutan dan hulu hutan.
Setting waktu dalam cerita Harimau! Harimau! Karya Mochtar lubis dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Tak seorang jua yang dapat sungguh-sungguh tidur sepanjang malam, dan ketika bunyi kokok ayam hutan yang berderai-derai menandakan dini hari telah dekat, mereka pun segera bangun (halaman 114).

Hari telah menjelang magrib ketika Buyung tiba di tempat mereka bermalam yang pertama dalam perjalanan pulang dari ladang Wak Hitam menuju ke kampung air jernih (halaman 69).

Dari kutipan di atas, dapat diambil latar waktu berupa sepanjang malam, dini hari, dan menjelang magrib. Ada banyak latar waktu yang terdapat dalam Novel tersebut, tetapi sebagai contoh, kiranya contoh dari kutipan di atas dapat mewakili.

Sementara itu terdapat pula setting fisik yang nampak pada kutipan di bawah ini.

Wak Katok berumur lima puluh tahun. Perawakannya kukuh dan keras, rambutnya masih hitam, kumisnya panjang dan lebat, otot-otot tangan dan kakinya bergumpalan. Tampangnya masih serupa orang yang baru berumur empat puluhan saja. Bibirnya penuh dan tebal, matanya bersinar tajam (halaman 3-4).

Dari penggambaran fisik pada kutipan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Wak Katok adalah lelaki tua berusia lima puluh tahun yang memiliki rambut yang masih berwarna hitam dan kumis yang panjang dan lebat, dengan bibir hitam dan tebal. Penggambaran seperti ini dapat memudahkan kita untuk menguatkan visualisasi Wak Katok sebagai dukun, misalnya dengan kumis yang panjang dan lebat dan bibrnya penuh dan tebal.

Setting sosial yang mendukung pencitraan cerita dalam novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Talib dan Sanip sekali waktu tak dapat menahan diri. Ketika mereka yang muda-muda bersama-sama di hutan, dan orang-orang tua tak ada dekat-dekat, maka Talib dan Buyung atau Sanip mulai berbicara tentang kecantikan Siti Rubiyah.
“Aduh, coba kalau lakinya bukan Wak Hitam,” kata Talib.
“Aduh, coba kalau dia belum kawin,” tambah Buyung.
“Kemarin aku mimpikan dia,” tambah Sanip (halaman 31).

Dari kutipan di atas, terlihat adanya interaksi di antara Talib, Buyung, dan Sanip yang membicarakan Siti Rubiyah. Ini menandakan bahwa di dalam novel ini terdapat setting sosial.

Pemahaman dan Apresiasi terhadap Novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis
Mengenai novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis ini secara keseluruhan merupakan sebuah novel yang termasuk ke dalam jenis novel psikologis. Hal ini terlihat dalam keseluruhan novel yang banyak memuat aspek kejiwan dan konflik batin pada masing-masing tokoh, terutama ketika konflik mulai muncul, yaitu ketika harimau menerkam Pak Balam hingga tewas. Kemudian ketika masing-masing di antara mereka disuruh untuk mengakui setiap dosa-dosa mereka karena keyakinan bahwa harimau yang menerkam Pak Balam adalah harimau yang diturunkan Tuhan untuk menghukum mereka semua yang berdosa.

Sebagian besar kalangan berpendapat bahwa novel ini sebenarnya perlambangan tentang situasi politik Orde Lama yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Hal ini terlihat dari para tokoh yang ada dalam cerita ini mewakili hal tersebut dan dialog-dialog yang ada dalam cerita.

Misalnya, Wak Katok dan Pak Haji adalah tipe tokoh yang mudah sekali dikenali dalam masyarakat Indonesia. Wak Katok adalah pemimpin yang bermantera palsu (pidato-pidato), berjimat palsu, munafik, lalim dan menindas. Sedang Pak Haji adalah tipe pemimpin yang intelektual tetapi takut membela kebenaran. Tipe pemimpin intelektual ini biasanya tak berani bersuara menentang kezaliman, mengasingkan diri dari masalah bangsanya, dan lebih baik memikirkan keselamatan dirinya sendiri.

Sedangkan tokoh Buyung, tokoh muda usia, rupanya dipasang sebagai simbolik kaum muda Indonesia. Buyung adalah tokoh yang masih murni, bersemangaat dan penuh idealisme. Dan rupanya pengarang ada dipihak kaum muda ini. Dengan demikian jelas terlihat bahwa Mochtar Lubis secara sengaja mengambil setting rimba untuk memaparkan dan sekaligus mengecam tingkah laku pemimpin Indonesia (Sumardjo, 1991.)

ANALISIS LAPIS MAKNA PUISI PADAMU JUA KARYA AMIR HAMZAH




Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Punya rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menusuk ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku
(Amir hamzah: Nyanyi Sunyi)

Di antara sastrawan-sastrawan Pujangga Baru, nama Amir Hamzah tentu paling dikenal dalam bidang puisi. Hal ini tidak lepas juga dari gelar yang telah dilekatkan padanya oleh Paus Sastra Indonesia, H. B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Melihat salah satu puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di atas, kita tidak bisa melepaskannya dari ciri khas Amir Hamzah yang suka mengangkat tema-tema agama. Kesukaannya dengan hal-hal berbau sufistik juga mengingatkan kita pada Hamzah Fansuri, peletak dasar puisi modern di Indonesia.

Padamu Jua adalah puisi yang mengisahkan tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku lirik dengan kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi positif, seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, saya menafsirkan pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah kematian aku lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah Tuhan aku lirik yang selalu mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.

Pada bait pertama, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa aku lirik merasakan bahwa ia tidak bisa menghindar dari kekasihnya, Tuhannya. Walaupun cinta itu sampai habis terkikis oleh masa dan hilang terbang ke tempat yang antah-berantah, aku lirik tetap tidak bisa melepaskan diri dari kekasihnya. Pulang kembali aku padamu, kata aku lirik dalam salah satu baris puisinya. Bahkan untuk menguatkan keteguhan cinta kekasih aku lirik tersebut, Amir Hamzah menambahkan Seperti dahulu. Ini menandakan bahwa memang cinta yang diberikan oleh kekasih aku lirik tidak dapat berubah. Dan itu tetap dirasakan aku lirik ketika ia melakoni “pulang kembali” tersebut.

Pada bait kedua, aku lirik memperlihatkan bagaimana ketulusan cinta kasih yang diberikan kekasihnya pada dirinya. Cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan sebagai kandil kemerlap dan pelita jendela di malam gelap yang selalu sabar dan setia menanti kedatangan aku lirik dari perginya yang lama.

Namun, di bait ketiga, aku lirik tetap tidak mau mepedulikan kekasihnya itu. Sebagai seorang manusia, ia juga membutuhkan rasa cinta yang berbentuk (rindu rupa). Sedangkan kekasihnya ini adalah sesuatu yang tidak nampak.

Pada bait keempat, aku lirik menumpahkan penasarannya itu dan bertanya, Di mana engkau /rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata merangkai hati. Karena yang dicintai adalah Tuhan, maka mata manusia tidak mampu melihatnya. Sehingga rupa pun menjadi tiada. Tetapi bisikan kata-kata selalu dirasakan aku lirik merangkai hatinya untuk meyakini bahwa ia memang tengah mencintai kekasihnya dan kasih itu berbalas.

Pada bait kelima, aku lirik menjelaskan bahwa kekasihnya itu telah menjadi terbakar api cemburu oleh kelakuan aku lirik, yaitu ketika aku lirik meningglkan kekasihnya, sebelum ia melakoni “pulang kembali”nya. Hal ini, menurut aku lirik, mengakibatkan sang kekasih menjadi ganas. Aku lirik melihat bahwa kekasihnya hanya ingin cintanya tak berbagi ke lain hati. Kekasih aku lirik ingin memiliki aku lirik sepenuhnya. Kata mangsa ini menandakan pemaksaan kekasihnya tersebut.

Bait keenam menunjukkan kepasrahan aku lirik karena telah “dimangsa” oleh “cakar” kekasihnya. Ia menjadi nanar dan gila sasar. Tak tahu hendak ke mana. Ia telah buta arah. Dalam bahasa Sasak, biasa dikatakan kebebeng. Karena, biar bagaimanapun, ia menyadari bahwa ia akan berulang (kembali) lagi kepada kekasihnya. ditandaskan lagi, cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan Serupa dara di balik tirai yang seakan-akan pelik menusuk ingin, benar-benar membuat penasaran dan ingin tahu.

Pada bait terakhir merupakan puncak pertemuan aku lirik dengan kekasihnya. ternyata aku lirik mendapatkan bahwa kasih yang diberikan kekasihnya itu sunyi. Sepi, karena ia hanya menunggu seorang diri. Itu dirasakan aku lirik setelah waktu bukan lagi menjadi haknya. Dan matahari bukan lagi menjadi kawannya. Saat aku lirik melakukan “pulang kembali”-nya itu, yaitu ketika aku lirik mengalami kematian.

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine