Kamis, Februari 19, 2009

Chairil Anwar yang Plin-Plan

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan


Banyak catatan para kritikus sastra dan bahasa telah dijejali oleh nama yang sangat terkenal pada zaman 1945-1949: Chairil Anwar. Seorang pemuda yang menurut para kritikus tersebut adalah bohemian. Begitu lekat nama ini di mata orang sampai saat SD pun, nama sastrawan yang pertama kali saya tahu adalah Chairil Anwar. Entah, daya tarik apa yang dimiliki oleh sastrawan fenomenal ini sehingga bisa begitu menyita perhatian publik hingga saat ini. Yang pasti selalu diingat oleh masyarakat adalah vitalitas seorang pemuda yang tengah bergolak di zaman penjajahan memproklamasikan hasratnya untuk hidup seribu tahun lagi. Egoisme dan arogansi yang kuat itu begitu kental sehingga membekas pada sikapnya yang memang tidak peduli terhadap pernyataan orang terhadapnya.

Ya, Chairil Anwar adalah tokoh kontroversial. Bahkan, membicarakannya menurut saya tidak akan ada habisnya. Begitu banyak kenangan yang ia bawa masuk bersama ke liang lahatnya. Hanya berkat ketelatenan dan kejelian H.B. Jassinlah catatan mengenai pemuda Chairil ini mampu diselamatkan untuk dipermasalahkan beramai-ramai oleh kita semua hingga kini.

Pribadi Chairil sebagai seorang sastrawan sudah tidak perlu diceritakan lagi. Sebagai sastrawan, ia dikenal sebagai pembaru dalam mewarnai bahasa puisi Indonesia. Karya-karyanya yang lugas, cepat, dan tidak berpusing-pusing dengan kata-kata sempat mendatangkan saluto dari berbagai kritikus. Karya-karyanya juga bukan kesan dibuat-buat sembarang dan begitu saja. Jassin pernah mengungkapkan bagaimana Chairil mengirimkan tulisannya yang penuh dengan coretan-coretan karena banyak kata yang diganti dalam karyanya. Ini membuktikan bahwa Chairil memang serius menggarap puisinya. Untuk diksi sekali pun ia harus memikirkannya hingga berhari-hari barulah ia menuliskannya! Itulah sebab mengapa karya Chairil Anwar tidaklah banyak. Bukan karena ia tidak memiliki ide atau kekurangan daya kreativitas, tetapi lebih kepada proses permenungannya untuk menghasilkan sebuah karya yang berkualitas. Ia-lah yang sebenar-benar menyerahkan hidupnya hanya pada berkarya (mengarang) saja. Lain tidak! Sebab memang, hidup Chairil hanyalah bergantung pada tulisan saja. Tidak seperti kebanyakan sastrawan lainnya yang menjadikan menulis sebagai kerja sampingannya.

Namun, Chairil adalah pertentangan yang begitu kentara. Di satu sisi ia mendapat pujian yang menyanjung-nyanjung karyanya yang dianggap ‘baru’ itu, tetapi di sisi lain ia pun mendapat kritikan tajam. Dikenal sebagai plagiator karya-karya orang. Chairil pun sudah akrab di mata penerbit sebagai ‘penipu’. Menurut sebuah penerbit, Chairil pernah menjanjikan untuk menerbitkan kumpulan puisi barunya, dengan syarat penerbit membayar di muka upah menulisnya itu. Tetapi ternyata Chairil justru tidak menyajikan puisi baru, melainkan dicampurkan dengan puisinya yang sudah diterbitkan sebelumnya. Belum lagi bila kita membaca tulisan kritikan dari sastrawan Lekra mengenai Chairil Anwar yang begitu menyikut pengagum Chairil di mana pun. Sejauh ini, merekalah yang benar-benar getol meneror karya Karawang-Bekasi sebagai saduran Chairil, di samping pula karyanya Pulanglah Ia si Anak Hilang yang sebenarnya merupakan buah pena Andre Gide. Mereka pula mengatakan Chairil sebagai sastrawan yang tidak menghargai hak cipta dalam menulis.

Lagi-lagi H.B. Jassinlah penyelamat yang selalu setia membela Chairil Anwar hingga titik darahnya tersebut. Biar bagaimanapun, menurut Jassin tentang sajak Karawang-Bekasi yang dianggap saduran itu, karya Chairil bukanlah murni karya plagiat. Meski mencontek karya sastrawan Belanda, Archibald Macleish berjudul The Young Dead Soldier. Menurut Jassin, Chairil sebenarnya tidak mencontek murni. Tetap karya Karawang-Bekasi itu masih bisa dikatakan sebagai karya murni Chairil Anwar yang terinspirasi oleh karya Macleish. Sebab dalam pemakaian kata, bahasa pengarang awal sudah berubah menjadi bahasa Chairil. Lagi pula Chairil juga memasukkan kata-kata yang murni Chairil punya dalam karyanya tersebut, semisal judul puisi tersebut, Karawang-Bekasi atau bait menjaga Bung Karno// menjaga Bung Hatta// menjaga Bung Sjahrir tidak ada dalam karangan penulis awal. Itulah pembelaan Jassin.

Memang Jassin sangat memelihara nama sastrawan satu ini. Entah sebab Chairil anak emas sang Paus? Bahkan saking cintanya terhadap Chairil, oleh Jassin, ia dikatakan sebagai Pelopor Angkatan ’45 sesuai dengan judul buku tulisan Jassin.

Biarlah apa kata orang, saya juga mengikut Chairil Anwar yang “lebih tidak peduli” untuk menafsirkan Chairil melalui karya-karyanya sesuai dengan pandangan saya padanya. Yang akan menjadi sorotan saya adalah dua sajaknya, yaitu “sajak hafalan” Aku dan sajak Derai-Derai Cemara.

Kita sudah sepakat bahwa Chairil Anwar memiliki vitalitas yang tinggi dalam sikapnya terhadap hidupnya. Vitalitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memiliki daya atau semangat hidup. Dari karya-karyanya, dapat terlihat kalau karya-karyanya juga mencerminkan semangat Chairil Anwar itu. Egoisme aku mau hidup seribu tahun lagi saya rasa sudah mewakili hal tersebut.

Tetapi pada tulisan kali ini—dengan bersandar pada dua buah karyanya itu—saya memandang Chairil sebagai orang yang plin-plan, tidak tetap pendirian.

Antara Vitalis dan Pecundang
Di mata saya, Chairil masih belumlah seorang yang bisa kita katakan sebagai vitalis murni. Boleh saja kita memandang Chairil sebagai seorang yang memiliki semangat tinggi yang ditunjukkan dengan pernyataan sikap mau hidup seribu tahun lagi tadi. Pernyataan itu benar sampai di sini.

Tetapi perlu kita tinjau kembali mengapa Chairil menulis sajak seperti itu. Waktu ditullis sajak itu adalah waktu yang sngat rawan. Rawan dikarenakan oleh dua faktor. Pertama, karena sajak itu ditulis mendekati tahun-tahun kemerdekaan Indonesia, yaitu tahun 1943. Artinya bila pada waktu itu Chairil menulis sajak dengan gaya seperti karya-karya angkatan Pujangga Baru, tentunya akan mengganggu perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan tadi. Sebab negara membutuhkan sebuah semangat, bukan rayuan khas romantisme Pujangga Baru. Kedua, karena pada waktu usia Chairil masihlah begitu muda. Sehingga pengaruh darah muda dalam dirinya juga ikut membentuk karakternya tersebut. Dan kesemuanya itu ia tunjukkan dalam sajak-sajaknya seperti tercermin pada Di Ponegoro, Doa, Karawang Bekasi, Maju (1943), Penerimaan (1943), dan Aku (1943).

Namun, hal berbeda akan kita temukan dalam sajak-sajak Chairil Anwar mendekati tahun-tahun kematiannya. Nuansa kesedihan, kematian, kesuraman, kerap muncul dalam karya-karyanya. Lihat saja karya-karyanya yang berjudul Aku Berada Kembali (1949), Cintaku Jauh di Pulau (1946), Yang Terampas dan yang Putus (1949), Dengan Mirat (1946), dan Derai-Derai Cemara (1949). Dalam sajak-sajak tersebut jelas sekali nampak kesan tersebut.

Setelah kita menelaah kembali sajak-sajak Chairil tersebut, akan pula muncul di benak kita sebuah pernyataan yang justru bertentangan dengan pernyataan awal tadi (Chairil seorang vitalis). Sebab dalam karya-karyanya yang lain juga muncul suatu kepasrahan dan keputusasaan untuk mengalah terhadap dirinya sendiri. Ini menunjukkan juga pada kita bahwa Chairil pun seorang yang lembek, skeptisis. Jemu dan bosan!

Dua karya bahan telaah ini menunjukkan bagaimana dua hal itu bertentangan dengan sangat jelas dan gamblang. Baiklah saya mengajak pembaca untuk mengulasnya bersama-sama, tetapi menggunakan parameter saya pribadi.
Dalam karya Aku, Chairil begitu tak terbendung. Sikapnya yang tidak mau peduli dan ingin hidup seribu tahun lagi adalah pernyataan sikap seorang vitalis tulen. Ia tidak mau menyerah terhadap apa pun yang menghalangi maunya. Tak mau menyerah pada kau lirik, juga tak mau menyerah pada luka dan bisa yang menghalangi. Bahkan oleh Chairil, luka dan bisa itu masih dapat ia bawa berlari semampunya. Semua itu akan berakhir bila Chairil sudah merasa hilang pedih peri, dalam bahasa kita biasa dikatakan sebagai mati. Maka tidak heran memang bila sajak ini adalah salah satu sajak paling pas untuk masa itu yang penuh dengan suasana tekanan penjajah kolonial. Vitalitas Chairil juga diperlihatkan kembali oleh sajak Karawang-Bekasi atau Di Ponegoro.

Sementara kita telah terhipnotis oleh seruan semangat yang tinggi dari sajak Aku tadi, kita juga disodorkan untuk menyerah saja terhadap hidup ini lewat sajak Derai-Derai Cemara. Sebab tidak ada gunanya untuk hidup menentang dan aktif jikalah akhirnya kita akan menuju juga pada sebuah kematian. Entah ini berkaitan dengan kondisi Chairil yang sudah menjelang perasaan menghilangkan pedih perinya?

Dalam Derai-Derai Cemara, muncul beberapa baris yang jauh dari nilai vitalitas yang selayaknya sering Chairil tampilkan. Dalam bait terakhir, ada terdapat dua baris yang paling saya sorot. Menurut saya, dua baris tersebut menarik sebab mengandung kontradiksi dengan sajak-sajak Chairil sebelumnya. Dua baris itu juga menyimpulkan akan keseluruhan isi puisi di samping menunjukkan sifat plin-plan Chairil terhadap pernyataan sikapnya dahulu. Dituliskan oleh Chairil hidup hanya menunda kekalahan/.../ sebelum akhirnya kita menyerah. Di sini kita melihat bagaimana seorang Chairil yang sanggup menjadi binatang jalang demi cita-citanya, kini terkapar dan menyerah. Ia berkubang dalam kepasrahan. Tidak lagi meraung-raung demi hidup seribu tahun lagi. Maka teramat singkatkah cita-cita dipertahankan oleh seorang Chairil? Hanya dalam jarak enam tahun saja, sebuah cita-cita itu habis ditelan?

Dari sini, saya mengambil satu pertanyaan, apakah sajak hanya sebuah permainan emosi pengarangnya? Sehingga tanggung jawab terhadap tulisan tak lagi masuk dalam hitungan? Jikalah demikian, maka sajak seorang sastrawan terkenal sekaliber Chairil tidaklah lebih dari sajak picisan tulisan remaja-remaja yang dilanda cinta. Seorang remaja begitu meluap emosinya saat dilanda cinta. Ia bahkan sanggup menulis sejuta puisi (mengutip istilah Hasan Aspahami) demi luapannya yang tinggi tersebut.

Atau tulisan memang benar terkait juga dengan ekstrinsiknya? Artinya faktor luar pun berpengaruh terhadap suatu sajak. Jika demikian, maka benarlah apa yang sudah diperbuat oleh Charil. Sebab sajak Aku ditulis Chairil pada tahun 1943 (dua tahun sebelum Indonesia merdeka) sementara sajak Derai-Derai Cemara ditulis pada tahun 1949 (tahun kematian Chairil).

ANTOLOGI HUJAN

PROLOG

Sebuah catatan untuk hujan dari hujan melalui manusia

Tulisan ini merupakan serakan catatan kecil penulis semasa musim hujan. Tema yang muncul sederhana—semua diambil dari pengalaman penulis, baik pribadi maupun tafsiran terhadap suatu masalah. Mengapa bernama hujan? Itu juga menjadi pertanyaan penulis hingga kini. Tetapi menarik juga untuk didiskusikan secara berkelakar (tanpa berpikir). Hujan, memiliki satu khas ciri yang menarik jika dilihat. Ia serupa arsiran pensil pada kanvas langit. Tetapi tenaga di dalamnya begitu terasa ketika ia menjelma bersama kali atau gelombang tempatnya turun. Maka petakalah ia. Tetapi, ia begitu lembutnya membelai hati ketika berupa titik yang membekas pada tetumbuhan kering. Lalu secara simultan membasahinya hingga menjadi hijau kembali tetumbuhan itu. Pada dasarnya hujan adalah air. Dan air adalah kehidupan. Sehingga hujan tak jauh pula dari mati.


HUJAN 1

Hujan, padamu kuberikan mawar ini. Jagalah ia sebab di dalamnya bermekaran cintaku. Sebagai pigura terakhirku. Biar saja hanya aku, kau dan mawar itu menjadi saksi. Bahwa aku telah mengaji cinta, meski tak mampu mengkhatam keluasaan-Nya. Dan, kelopak-kelopak mawar yang gugur tiap hari tu menjadi ayat-ayatnya.

HUJAN 2

Tidak! Hujan sudah tidak turun lagi. Ia mengeras bersama tanah musim kemarau. Mengkristal dan kini secara sporadis melompat dan berada di pundakku. Lalu masuk dalam keranda. Bertasbih bersama bibir-bibir doa; zikir-zikir yang tercecer oleh keping-keping koin—nyawa semalam ini. Oh, panenku yang bersemu. Tak lama lagi kita kan bersua. Tapi kemarau menceraimu dariku. Bersama dengan hujan yang sudah kumasukkan dalam liang kubur.

HUJAN 3

Di batang pohon rimbun tak kutemukan napas hujan. Tapi cuma ia membekaskannya pada dinding-dinding rumah yang menjadi saksi kerasnya gelombang laut semalam.

HUJAN 4

Karena hujan tak hendak reda,biarlah kubungkuskan kau hujan sebagai kado ulang tahunmu.bukan aku tak cinta,tetapi hujan itu adalah cintaku padamu.untuk kau sirami hatimu yang tandus oleh musim kemarau lima tahun lalu. Rakyatmu kerempengan bertahun-tahun!

HUJAN 5

Ketika berbicara hujan, aku teringat air mata. Konon—oleh ibuku—hujan adalah tangisan malaikat atas dosa-dosa manusia yang tak bisa habis dan putus.

HUJAN 6

Alifbata hujan. Aku mengkhatamkanmu dalam semalam. Dalam mimpi.

Februari 2009

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine