Kamis, Maret 26, 2009

Pentas Aksi Mahasiswa Bastrindo FKIP Unram: Laporan singkat

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan


Alifbata kebodohan.
Kebisuan.
Kepalsuan.
Kemunafikan.
Penipuan.
Penindasan.
aku telah mengkhatammu hari ini.
Di hadapan mereka,
yang mengobralmu!

(kutipan puisi “Belajar Mengaji”, Ardian)



Pagi itu, 6 Maret 2009 sekitar pukul 09.00, di depan gedung A, tiga orang lelaki bertelanjang dada dan bercelana jeans panjang dengan pandangan kosong. Mereka dengan langkah terseok-seok masuk ke gedung tersebut. Salah seorang di antaranya menggumamkan kata-kata yang kedengaran kurang jelas, sementara lainnya mengikuti mengulang kata-kata tersebut. “Batu mawar… batu langit… batu bisu… kaukah itu… teka-teki… yang tak menepati janji!” begitulah samar kata-kata itu masuk halus menembus dinding telinga.
Di belakangnya, berdiri juga seorang lelaki bertelanjang dada terikat memanggul sebatang kayu cukup berat. Langkah kakinya juga berat seperti telah melakukan perjalanan jauh. Sesekali terdengar teriakan dari lelaki ini karena dipecut cemeti yang dibawa oleh dua orang berpakaian serba hitam yang berada di kiri dan kanannya. Sementara satu orang lagi wanita dengan pakaian hitam hingga ke jilbab mengalunkan senandung nyinyir. Iringi-iringan ini terus melangkah melewati gedung A menuju gedung B. Tanpa alas kaki.
Suasana belum ramai waktu itu. Orang-orang yang melihat iring-iringan ini hanya memandang heran dan saling bertanya ada apa? Pertanyaan itu masih tersimpan di mulut mereka.
Ketika iring-iringan baru mencapai jalan antara gedung A dan gedung B, gumaman yang tadi terdengar samar sekarang berubah menjadi teriakan-teriakan yang jelas. “Kaukah itu... teka-teki yang tak menepati janji” terus diulang-ulang. Tetapi dengan perkataan yang semakin keras dan tinggi.
Seolah sedang menyenandungkan masnawi Rummi, mereka kerasukan dan memukul-mukul dinding mading di gedung B. Mereka berhasil menyedot perhatian semua pihak.
Suara itu membuat ribut. Beberapa kelas yang berkuliah menghentikan kuliah mereka menganggap ada terjadi keributan. Sementara yang tidak memiliki aktivitas penting mengonsumsi pertunjukan itu sebagai sarapan mereka.
Tiba-tiba saja, semua mata mahasiswa yang berada di sekitar iring-iringan itu mengarah ke arah mereka. Seperti ada magnet khusus pada orang-orang itu.
Dikerubungi oleh banyak orang bukan membuat mereka takut atau menghindar, mereka menjadi semakin keranjingan dan berlari ke arah ruang dosen Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan sisanya naik ke lantai dua gedung B. Mereka membacakan puisi!
Puisi-puisi ini adalah pesan tersirat yang ingin mereka komunikasikan dengan penonton. Namun, ternyata tidak cukup hanya dengan puisi. Mereka berteatrikal. Mengkritik program studi mereka (Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah).
Beberapa permasalahan yang masuk dalam kritik berujud seni itu adalah: dosen malas, nilai pada KHS yang keluar secara manipulatif, ruang kuliah yang tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar, dan kurikulum yang amburadul.
Setelahnya mereka lalu mengusung salah seorang teman mereka yang tersalib kayu keluar dari ruang lokasi.

Pertunjukan itu adalah rangkaian simbol-simbol. Mahasiswa yang tersalib kayu adalah simbol mahasiswa yang terkekang dan tidak bisa menyuarakan apa pun. Mereka adalah gambaran mahasiswa selama ini yang tidak berani melaporkan dosennya yang sudah keluar jalur. Kemudian usungan orang yang tersalib tersebut adalah perlambangan bahwa suara yang dikeluarkan mahasiswa baik berupa masukan saran atau kritik kepada pejabat kampus FKIP Unram khususnya program studi Bahasa Indonesia, tidak pernah dihiraukan.
Tetapi, dengan adanya pertunjukan ini, semua itu harus dihentikan. Jangan lagi ada mahasiswa yang menutup-nutupi. Jangan hendak jadi epigon sang dosen.Semua kegiatan ini adalah mimesis yang jika ditelusuri patut menjadi acuan refleksi pejabat di FKIP Unram bahwa kampus ini benar-benar perlu dirombak sistem pengajarannya, juga kurikulumnya. Terutama sekali adalah kualitas beberapa dosen yang masih mengandalkan cara mengajar zaman baheulak.
Lalu, mengapa melalui pertunjukan? Karena mereka yakin bahwa dengan kekerasan itu tidak baik, sedangkan dengan bicara melalui dialog sudah tidak ada gunanya lagi. Suara mereka tidak pernah digubris.
“Kini, yang ditegur adalah pemilik iman yang paling lemah. Dosen-dosen dan pejabat kampus itu memiliki hati dan iman yang lemah. Karena yang ditegur begitu halusnya, sehingga tidak layak tangan dan lisan berbuat sesuatu, tetapi biarlah hati mereka saja yang menerima teguran itu. Jika tidak bisa, kami ikut berkabung atas hal tersebut,” ucap salah seorang mahasiswa ketika kami berbincang-bincang usai kegiatan tersebut.
Kemudian pertunjukan seni ini dilanjutkan dengan dialog terbuka antara mahasiswa HMPS Bastrindo dengan Kepala Jurusan dan Kepala Program studi mereka. Di sinilah bermuara gabungan harapan dan janji-janji.
Satu insiden yang paling menarik adalah ketika ada salah seorang dosen Bahasa, sastra Indonesia, dan Daerah berinisial ME mengatai salah seorang mahasiswa dengan perkataan Setan! Ia keberatan dengan kritikan yang ditujukan padanya. Mungkin saja, ia adalah salah satu orang yang termasuk kriteria dalam kritikan tersebut. Tetapi, secara hukum, berdasarkan UU tentang guru dan dosen, berkata tidak sopan apalagi kapasitasnya adalah sebagai dosen pada waktu itu bukanlah hal yang patut dibenarkan. Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh pejabat terkait. Akan bagaimana FKIP Unram kalau dihuni oleh dosen pemilik lidah kotor seperti itu?
Patut menjadi renungan kita semua kata-kata Soe Hok Gie (aktivis mahasiswa angkatan ’66 yang menjadi dosen UI setelah kelulusannya) bahwa guru yang tidak tahan kritik layak masuk keranjang sampah.
Dekan FKIP atau Rektor Universitas Mataram mempunyai PR untuk menegur dosen yang kurang sopan tersebut.

Rabu, Maret 11, 2009

SEBUAH CATATAN KEGUSARAN SEONGGOK HATI

Kehidupan adalah azab bagi ku yang mati dalam kenikmatan dan tak mampu melawan keanehan suatu anugerah yang menjajah semua makhluk yang tak berpenghuni dalam jiwa dan hatinya.
Kematian adalah suatu kehidupan yang mengagungkan keangkuhan suatu rasa yang tersembunyi dalam lubuk sanubari yang tak berani dikeluarkan walaupun telah tersembul sehelai rambutnya yang tipis dalam surga ketakutan.
Mengecup sekuntum lapar, mengendus seharum wangi, melihat sesosok nista menampar keterseokan dalam kehampaan wujud yang terbuai indahnya harta. Semu. Semua hanya tipuan jika bukan sebuah permainan yang diselingi intrik penuh.
Sungguh cinta telah menaburkan benihnya pada tempat yang salah. Bukan pada saudara, bukan pula pada sesama, tetapi malah pada dunia dan setan yang menjijikkan. Sehinggga aku susah sendiri bila kumati nanti di mana aku akan menguburkan jasadku? Semua telah tertimbun oleh cinta-cinta yang terpanah oleh iblis. Apa aku akan mengambang di udara seperti gergasi mencari sesuap jasad yang mati?
Kulit telah membakar setiap keburukan dalam suatu isi. Hanya butuh kulit yang bagus untuk membuat isi yang buruk menjadi ikut bagus. Dan akan jadi sangat mudah untuk mencari isi yang buruk bagi yang mau berpikir. Cukup dengan melihat seberapa bagus ia dibungkus dan yakinlah kalau ia itu isi yang bagus atau busuk.
Kepopuleran itu yang membuat jutaan orang terhipnotis. Walau kau ajak ke sarang macan ia akan manut juga. Bagai kerbau dicucuk hidungnya. Bagai terkena pelet dukun sakti. Hanya zikir yang dapat menghilangkannya. Hanya iman yang dapat menghapusnya. Hanya takwa yang dapat membakarnya.
Gelap yang membumbung seperti awan yang siap mencakar. Drakula meniup hantu yang tergeletak berbaring dalam kubangan. Sungsang seperti bola yang diputarkan. Lembah-lembah ceruk-ceruk luka-luka meratapi semua yang sudah terjadi. Dan berleha-leha sebelum semuanya terjadi.
Aku hanya punya rasa yang tak pantas dirasa. Aku punya lagu yang tak pantas dinyanhikan olehmu. Aku punya apa yang tak kau punya, tetapi aku tak akan memberi apa yang tak kau punya dan yang kupunya itu padamu.
Cukup dengan sebuah kata untuk membuatmu ingat pada keburukanmu, hai orang-orang suci. Kau itu hanya MANI yang kebetulan berhasil menjadi besar.
2007-01-10

Berbicara tentang Hidup

Apa yang kuketahui tentang hidup? Apa yang kau ketahui tentang hidup? Apa yang kita ketahui tentang hidup? Apa yang mereka ketahui tentang hidup? Apa yang kalian ketahui tentang hidup? Mengapa menoleh? Aku bicara padamu..!!!
Kadang kita terlalu pintar sampai berani mengartikan sesuatu yang di luar batas pemikiran kita.
Hidup. Kata yang sangat sederhana jika dilihat dari jumlah hurufnya. Dan sangat gampang diingat karena sering diucapkan oleh kita. Bahkan anak kecil yang belum bisa baca tulis dan sekolah pun sudah bisa mengucapkan kata “hidup” ini.
Hidup. Aku akan bicara tentang hidup. Manusia hidup. Hewan hidup. Tumbuhan hidup. Bahkan benda mati pun hidup dalam kematiannya!
Kau keberatan?? Kenapa?? Ini hakku! Aku bebas berpendapat sama seperti kebebasanmu untuk mengartikan hidup itu seenak hatimu itu. Dan aku tidak marah dengan apa yang kau lakukan. Aku justru bersyukur ternyata masih ada yang mau memikirkan dan memaknai hidup ini.
Tapi maaf saja jika pandangan kita berbeda. Lain ladang, lain belalang—lain lubuk, lain ikannya. Begitu kata pepatah. Sehingga bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan jika aku berkata A dan kau berkata B sedangkan dia berkata C untuk satu persoalan yang sama.
Sebenarnya hidup, menurutku, adalah kematian. Dan kematian adalah hidup. Kenapa? Apa kau bingung? Aku juga bingung, tapi ini menurutku. Terserah kamu. Jadi, intinya tidak ada hidup itu. Kita hanya hidup dalam kematian itu. Tak ada kematian. Itu karena kematian sesungguhnya sudah datang sejak awal kita muncul di dunia ini yaitu sejak kita dilahirkan itu. Ya, sejak kita dikatakan orang sebagai sesuatu yang ‘hidup’ itu.
Mengapa aku mengatakan itu? Karena apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan adab orang hidup sebenarnya. Kalau ada undang-undangnya, kita sudah begitu banyak melakukan tindak pelanggaran. Untung saja tidak ada.
Kau keberatan lagi?
Memang... aku mengerti itu. Itu hanya salah satunya. Bernapas, makan, minum tidur. Karena itu yang selalu muncul dalam pikiranmu. Dan itulah ‘penyakit’ kita selama ini. Hidup hanya untuk makan-minum-tidur-dan terakhir hidup untuk mati.
Hidup. Aku bicara hidup. Jangan halangi aku.
Hidup. Apakah kau tahu kalau kau kubicarakan?


2007-01-7

Barisan Kita

Oleh; Ardian

Kita adalah para tawanan. Kita menjadi rampasan perang negara kita sendiri. Ingatkah kalian kawan-kawanku yang ku tak sudi mengawani, bahwa perang telah selesai berkecamuk. Dan kita semua sudah menjadi tawanan kini. Tawanan oleh musuh yang kita angkat sediri menjadi pemandu kita. Bagaimana mungkin kita memilih pemandu yang menjadi musuh kita juga? Kita akan masuk lubang perangkap yang besar. Kita akan saling tuding dan saling makan. Tumbuhkan sendiri kanibalisme itu.
Hitung-hitunglah umur kita kini. Di depan kita telah berkacak pinggang sebuah raksasa dengan godam besar yang siap meremukkan tulang-tulangmu yang keras hingga lebur. Dan teman-teman yang juga menunggu giliran untuk dileburkan itu akan medengarkan pesan terakhirmu. Sebuah penyesalankah? Sebuah doakah? Sebuah penghujatankah? Atau sebuah kepasrahan tanpa pernah sekali pun mengeluarkan kata-kata yang sudah menjadi tiada arti itu?
***
Sebuah kertas itu pun robek. Entah siapa yang telah menulisnya. Tetapi orang tiada pernah terpikirkan untuk membukanya. Kertas itu sudah koyak. Beberapa kali ia digilas mobil. Berapa kali ia menjadi bungkus nasi sarapan pengemis-pengemis miskin. Tak ada orang yang mau membacanya. Ketrtas itu pun basah bersama hujan yang mengguyur tempat kertas itu tergeletak. Mandi lumpur kini ia. Sebuah manifesto mungkin, tapi tak kena siapa pun. Akhirnya hanya sebuah kertas yang tersia-siakan. Hanya kertas biasa yang terkena goresan tinta sehingga menjadi tulisan-tulisan yang lucu juga kelihatannya. Aku menjai geli melihatnya karena tulisan itu ditulis dengan sebuah pengharapan besar untuk dibaca oleh orang banyak. Sebagai penawar atas sebuah candu yang sudah menggerogoti tubuh, sebuah sindrome akut. Kini ia hanya bekas pemikiran yang tak pernah mempengaruhi orang lain. Hanya kertas tak berharga.
Di rumahnya sang penulis mengatur strategi baru untuk mempengaruhi kembali para manusia-manusia yang sudah bukan manusia lagi. Pemikiran yang sudah bulanan umurnya tak pernah tergubris oleh orang lain. Sebuah pengharapan sebenarnya ada dalam tulisan itu. Sebuah tulisan pemersatu untu kmenjadi seorang pemberontak segala kemunafikan yang telah sama-sama mereka beli bibitnya dan mereka tanam sendiri di pekarangannya.
Kemunafikan itu kini sudah tumbuh subur di pekarangan-pekarangan urmah. Bahkan sudah didewakan dan disembah-sembah oleh pemilikna. Sesajn berbakul-bakul tergeletak di depan pohon munafik itu. Entah bagaimana tumbuhnya, tapi satu yang perlu diingat bahwa tempat it adalah tempat ajaib yang banyak orang ingin memilikinya. Karena ia memiliki sebuah kelebihan yang tidak bisa dimiliki oleh daerah lain: tongkat dan batu dapat menjadi tanaman . Kesuburannya tak ada yang dapat menandingi.
Oleh karena it perang selalu berkecamuk di daerah itu. Tak ada kata damai dan tentram karena penghuninya pun tak menginginkan akan adanya kedamaian itu. Mereka lebih suka hidup dalam keributan-keributan kecil yang mereka peruncing sendiri sehingga menjadi pereistiwa besar yang harus diselesaikan dengan senjata. Karena senjata menunjukkan kejantanan dan juga kebetinaan.

Kampung seni

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Di sini rumah kami. Buka-bukaan dengan berani, bukan vulgar tapi. Kau lihat kawan kami yang menari-nari itu? Jangan asal mengangguk! Ia sedang melakukan meditasi. Untuk pentas hari ini.
Ini rumah kami. Jauh dari politik dan sambal asal ceplos. Tapi kami kasih juga ia lauk kritik pedas.
Lihat kawan kami menangis sendiri-sendiri. Bukan ditagih utang tapi. Ia hanya latihan peran untuk teman kami yang kalah cepat dapat jatah raskin kemarin.
Di pohon itu. Banyak orang manjat-manjat. Mereka bukan monyet. Mereka hanya mau bilang kalau pembesar-pembesar negara kita mirip seperti tingkah mereka.
Kami tinggal di kampung seni. Rumah kami selalu asri. Jangan jamah tempat kami. Di sini tidak ada tempat korupsi karena lauk kami hanya puisi. Pekerjaan kami hanya menari dan sedikit bertingkah gila. Sebutir pun kalian tampak tak ada apa-apa.
kawasan seni.
Janganlah bunuh kami.
Kami hanya main dengan kata-kata saja.
Kami hanya wakil mereka teman kami yang jelata
Kami hanya suara alam-alam yang menangis memanggil berteriak untuk sedikit saja peduli pada mereka ciptaan Tuhan!
Jangan kejar kami dengan peluru. Kami hanya puing-puing dari aspirasi yang tak terjamahi.
Setelah kampung kami buat dengan peluh dari tulang-belulang jasad-jasad pendahulu kami. Yang membelah darah dalam aorta. Yang merasakan timah yang garang. Yang bela kami punya bangsa. Lewat kata dan suaranya, juga tindakannya.
Kami ingin seperti kami teman-teman kami yang jelata itu. Menari, teriak, manjat, seperti orang yang kalian bilang gila itu. Tapi hati kami jadi tentram lagi.
Seperti awan dalam dekapan langit.

Mar-09
Cerita kampung seni merupakan deskripsi anak-anak bangsa yang terus berusaha memberontak kepongahan dunia bangsa kita yang terus saja bobrok. Ia tidak bisa berdemo dengan teman-teman lain, turun ke jalan, bersitegang urat leher dan urat tangan dengan para “preman” berkostum. Ia hanya berdemo dengan media mereka, yaitu lauk mereka itu: puisi, cerita-cerita, teaterika, dan sambal-sambalnya. Berkata melalui estetika.

Dan bila sesuatu itu tidak enak didengar oleh mereka-mereka yang merasa itu, maka hasil karya, jerih payah mereka itu hanya akan menjadi pembungkus barang dagangan pedagang-pedagang yang mereka bela.

Kampung seni. Saya sangat tertarik dengan kata ini. Sangat dalam ia mengambil pikiran saya. Tetapi, biar ia sendiri yang menjelajahi drinya. Dan kita tidak bisa mencampuri itu karena apabila kita masuk, akan rusak arti yang ingin ditancapkan oleh kata kampung seni itu sendiri. Sehingga arti yang sebenar-benarnya akan muncul dalam perkembangannya kelak.

Kampung seni seperti seorang bijak yang dipenjara. Nasihat-nasihatnya yang ingin ia sampaikan tidak bisa tersalurkan karena terkurung. Walaupun demikian, bila ia berpapasan dengan seorang yang mengerti dengan apa yang diinginkan oleh dirinya itu, maka hal lain akan terjadi pula, yaitu sejenis ikatan yang dalam dan bisa jadi tak terlepaskan.

Kampung seni, kapankah ada sebuah kampung seperti itu?

11/03/2009

Penggunaan Kata Contreng dalam Iklan Pemilu

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan


Akhir-akhir ini mendekati pemilu legislatif 2009 yang akan berlangsung pada 9 April mendatang, sering muncul iklan layanan yang disponsori oleh Komisi Pemilihan Umum. Memang hal demikian biasa terjadi mendekati pemilu. Apalagi sekarang sistem pemilu sudah berubah. Pemilihan kali ini tidak lagi menggunakan sistem coblos seperti pemilu tahun-tahun sebelumnya, tetapi menggunakan sistem contreng.
Kata terakhir menggelitik hati penulis. Mengapa contreng? Contreng merujuk pemilihan dengan cara memberi tanda pada nama calon legislatif atau nama partainya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2005) terdapat dua lema yang merujuk kepada kata contreng yang dimaksud oleh iklan pemilu tersebut.
Pertama, kata centang. Di halaman 207 KBBI dijelaskan kata centang berarti tiga hal, yaitu dalam bentuk kata sifat (adjektiva) yang berarti berantakan, dalam bentuk kata benda (nomina) yang berarti tanda koreksi, bentuknya seperti huruf v atau tanda cawang, dan terakhir dalam bentuk kata kerja (verba) yang berarti memukul. Kata centang pada artinya yang kedua memiliki kedekatan dengan hal yang dirujuk oleh iklan KPU tersebut.
Kata lain yang bentuknya mirip dengan kata contreng, tetapi maksudnya tidak mendekati hal yang diacu dalam iklan pemilu tersebut adalah kata conteng. Di halaman 219 kata conteng dijelaskan berarti, coret (palit) dengan jelaga, arang, dan sebagainya; coreng.
Lalu di mana letak kata contreng pada iklan tadi dalam kosakata bahasa Indonesia? Penulis belum mendapatkan kejelasan mengenai kata ini. Sebab rujukan penulis sendiri masih menggunakan KBBI edisi ketiga. Di dalam KBBI tersebut, penulis tidak menemukan kata contreng. Pertanyaannya sekarang, apakah kata contreng itu memang benar-benar ada di KBBI edisi keempat yang sudah terbit pada tahun 2008?
Sedangkan—karena iklan tersebut—kini kata contreng menjadi populer baik di bibir maupun di telinga masyarakat. Jika hal ini terbukti salah karena tidak ada lema yang menjelaskan kata tersebut, hanya ada dua pilihan bagi pemerhati bahasa Indonesia, terutama para leksikograf.
Pertama, memandang ini sebagai suatu anugerah dan bersikap permisif terhadap kata tersebut. Sebab dengan adanya iklan ini, secara tidak langsung dapat menjadi pertimbangan bagi leksikograf untuk memasukkannya sebagai lema baru KBBI selanjutnya. Pertimbangannya, kata ini sudah begitu populer di kalangan masyarakat.
Kedua, ini jika kita bersikap tertutup pada kata tersebut, kita menganggap kata itu sebagai penyimpangan kebahasaan. Karena menyalahi bahasa yang sudah dikonvensikan. Sehingga tawaran penulis, kata contreng pada iklan tersebut diganti menjadi kata centang. Pertimbangannya, maksud yang ingin diutarakan oleh iklan dengan menggunakan kata contreng tadi sebanrnya sudah tercakup dalam kata centang. Dan kata centang sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia sesuai dengan KBBI.

Jumat, Maret 06, 2009

Laskar Pelangi dan Makna Profesionalisme Guru

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan*)

Guru kini kerap menjadi perbincangan menarik di media. Isu sertifikasi guru juga menambah hangatnya pembicaraan ini. Namun, isu sertifikasi guru sendiri hanya membahas ranah yang rawan bagi guru, tunjangan guru. Isu profesionalisme yang seharusnya menjadi permasalahan utama menjadi tersingkirkan. Memang kita harus memaklumi hal tersebut. Bagaimana bisa profesional jika guru sendiri tidak mendapat penghidupan yang layak?
Namun perlu diingat. Bagaimanapun, guru adalah seorang pengajar. Ia memiliki tanggung jawab yang besar di mata manusia Indonesia. Ini belum dimasukkan pandangan orang tua yang menganggap bahwa guru adalah orang yang bertugas mendidik dan mengajarkan anak. Sementara orang tua hanya bertugas melahirkan dan membesarkannya saja.
Pemahaman tentang profesional yang dimaksud dalam UU Nomor 14 tahun 2005 juga masih simpang-siur. Bagaimana profesionalisme bisa diukur dengan lembaran ijazah atau sertifikat? Sementara dedikasi dan lama mengajar masuk dalam hitungan belakang?
Seorang guru lulusan SPG pernah mempertanyakan masalah ini. “Saya lulusan SPG. Dari namanya saja sudah jelas saya memang dididik untuk menjadi guru. Lalu, untuk apa saya harus melanjutkan pendidikan saya lagi agar profesional? Sementara saya sudah tua.” Guru itu berusia sekitar 50-an tahun. Jika menghitung usia seorang pegawai negeri sipil, ia hanya memiliki jatah sekitar sepuluh tahun saja untuk mengabdikan diri. Akankah hal demikian masih kita paksakan untuk seorang guru yang sudah mendedikasikan dirinya demi pendidikan selama hampir separuh hidupnya?
Permasalahan guru yang cukup kompleks ini akhirnya menyebabkan guru harus memilih. Di satu sisi pemerintah mengharapkan guru menjadi seorang profesional. Sedangkan guru juga menginginkan kelayakan hidup (ekonomi terjamin). Guru pun akhirnya memilih menghadiri seminar-seminar. Tujuannya jelas, mengumpulkan sertifikat sebanyak-banyaknya agar lulus sertifikasi sehingga menjadi “profesional”. Akhirnya dalam pandangan guru, profesional adalah mengumpulkan sertifikat sebanyak-banyaknya, bukan mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada muridnya.
Mendekati ujian nasional yang akan dilakukan April ini, profesionalisme kembali dituntut. Benarkah guru benar-benar profesional dari kaca mata dedikasinya mengabdi? Pertanyaan itu patut muncul. Mengingat kini—masa mendekati UAN—kerap terjadi siswa diminta untuk ikut les/ belajar tambahan di luar jam belajar wajib. Tujuannya jelas untuk mendongkrak nilai siswa agar mampu lulus dalam ujian nanti. Hanya saja, di sejumlah sekolah, siswa diharuskan membayar iuran les tersebut. Semua itu dengan alasan membayar guru yang mengajar les tersebut. Dalam hal ini, beberapa keberatan dapat kita ajukan. Namun, yang paling mendasar adalah, jika memang guru dituntut untuk profesional, mengapa harus memungut bayaran dari siswa?
Bercermin Pada Laskar Pelangi
Dari sinilah kita harus beranjak memulai pembicaraan kita tentang makna profesionalisme. Penulis ingin mengajak pembaca sekali lagi membuka kembali sebuah novel yang terbit pada tahun 2005 lalu yang kini tengah booming filmnya. Laskar Pelangi. Sebuah novel yang memberikan gambaran tentang kondisi pendidikan di daerah terpencil. SD Muhammadiyah Gantong salah satu daerah di Bangka Belitung pernah menjadi saksi bagaimana guru-guru dan murid-muridnya bahu-membahu mempertahankan nilai-nilai pendidikan di bawah keterbatasan yang sangat memilukan.
Andrea Hirata, penulis novel ini, tidak hanya sekadar bercerita. Ia menampilkan potret nyata pendidikan tahun 1970-an. Suatu masa saat pendidikan harus berjuang sendiri mengutip hidupnya tanpa bisa berharap banyak pada negara. Sebab pada masa itu, negara sendiri sedang dalam masa krisis dan pergantian pemerintahan. Pancaroba politik.
Tetapi keadaan tersebut tidak membuatnya harus merendahkan diri menjadi hina. Malah kita harus memberikan pujian bagi mereka karena orang-orang yang berkecimpung di dalamnya cerminan orang-orang perkasa.
Laskar Pelangi sebenarnya ingin memberikan pandangan tentang guru saat ini agar tetap berdedikasi. Andrea menginginkan guru Indonesia muncul di tengah masyarakat sebagai pelita. Memberikan sinarnya untuk dapat diteladani. Sehingga akan nampak nyata slogan bagi guru: digugu dan ditiru.
Bu Muslimah Hafsari adalah perlambangan guru idaman Andrea—yang juga diidamkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan polosnya Andrea menggambarkan sosok Bu Mus tersebut dalam novelnya sebagai …seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spritual dalam pendidikan. (hal. 30)
Sebelumnya, Andrea menampilkan kehidupan Bu Mus yang hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) namun bertekad untuk terus mengobarkan pendidikan. Lanjut Andrea,
Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktek Olahraga. Setelah seharian mengajar, ia melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya. (hal. 29)
Dan itu –menurut penuturan Andrea Hirata—dilakukan Ibu Mus pada usia 16 tahun dengan gaji hanya 15 kg beras setiap bulannya!
Tetapi, betapa mengagumkannya efek yang diberikan oleh guru tersebut bagi muridnya. Ia mampu menginspirasi seorang anak pedalaman untuk terus bersekolah sehingga mampu mengjejakkan kakinya di salah satu tempat peradaban pendidikan terbaik dunia. Dialah penulis novel Laskar Pelangi tersebut!
Yang mengherankan kini, sikap profesionalisme justru muncul dari seorang guru yang bukan lulusan LPTK. Inilah gambaran nyata pahlawan tanpa tanda jasa. Sementara guru Indonesia, di tengah kemewahan fasilitas yang ada, masih terus juga menggemborkan tunjangan pendidikan. Sehingga murid-murid pun terabaikan oleh seminar-seminar kecil untuk mendongkrak poin sertifkasi sang guru. Juga memungut bayaran untuk sekadar mendidik murid agar lulus dalam ujian nasional mereka.
Sehingga patut bagi kita bercermin pada Ibu Mus dan Pak Harfan bagaimana menggembleng pribadi guru menjadi profesional, bukan karena mengharapkan materi, tetapi demi dedikasi terhadap negara. Kini, Bu Muslimah sudah mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya selama ini. Meski tidak seberapa. Namun setidaknya, satyalencana yang disematkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tubuhnya telah menjadi gambaran pemerintah untuk menghargai setiap dedikasi sang guru memajukan pendidikan Indonesia.

(Penulis, Mahasiswa Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah FKIP Unram)

Pentas Seni Mahasiswa Bastrindo FKIP Unram

Pertunjukan seni pada 6 Maret 2009 yang berlangsung dari depan gedung A dan berpusat di gedung B, C, dan di depan ruang dosen Bastrindo FKIP Unram.

Kastil Kesunyian

Untuk kau yang bersendiri ini, aku datang. Andai kau tahu, setiap tarikan dari napas ini adalah pengharapan, dan sepatah kata yang keluar secara tersengal-sengal adalah ketidakpastian. Kita terlalu sibuk dalam teka-teki diri. Sehingga melupakan bahwa langkah diri telah semakin menjauhi orang-orang yang semula di belakangmu.

Aku menatap wanita itu lekat-lekat. Ia berdiri pada sebuah kastil kesunyian. Kakinya masih meraba-raba ujung ter-akhir batas kastil itu. Sementara di bawahnya itu, gunung dengan kaldera-nya menanti dengan pijaran yang me-nyakitkan. Ketika kutatap matanya, aku menentang zamrud yang mengkristalkan bias cahaya. “Aku adalah kebimbangan,” begitulah ia memulai dirinya.
“Kebimbangan adalah proses per-menungan. Bermenung mendekatkan pada hal yang menjelaskan. Bimbang-lah. Tetapi ceritakanlah padaku, rupa gerangan penyebab kebimbangan itu.”
“Puncak bimbang dalam diriku adalah belati yang semakin bertumbuh. Aku ingin memangkasnya hingga benar-benar hilang, tapi ia bukan rumput. Sementara aku khilaf menyadarinya, ia telah menjadi pedang yang begitu tajam. Teramat dalam tikamannya. Sehingga aku pun tak mampu lagi mencabutnya saat ia menghunjam.”
“Kau yakin belati itu tidak bisa me-lunak ketika kau tempa? Belati adalah besi. Besi pun mampu untuk memuaikan dirinya mengikuti mau si pandai besi. Tempalah ia menjadi yang kau mau hingga belati tadi menjadi segurat lion-tin cantik untuk kau kenakan.”
Ia menggeraikan rambut yang semu-la ia ikat. Sekuntum melati terjatuh dari rambut itu. Lalu perlahan mengikuti angin, ia lesap dalam kaldera. Di bawah, gunung tengah gelisah. Aku memandang heran pada rambut itu. Ia menangkap maksudku.
“Sanggulku telah rusak. Tetapi aku tidak bisa lari dari pengharapanku itu. Entahlah, mungkin aku terlalu berharap sehingga justru menggerogoti diriku terlalu dalam. Tanpa kusadari sanggul itu pun koyak oleh besarnya harap itu. Atau terlalu berharap pada penantian adalah sebuah kesalahan?”
Aku tidak menjawab. Terlalu sulit merangkum kata dalam pikirku untuk mengeluarkannya dalam bentuk simbol akustik. Lidahku seketika kelu. Maka aku tertunduk. Ia melanjutkan ceritanya.
“Aku berusaha untuk tetap tegar. Tetapi aku adalah kegagalan.” Kakinya melangkah semakin dekat dari ceruk. Kaki itu adalah permainan tapal batas. Beberapa kerikil telah terempas jatuh dan menghilang dalam kaldera di bawah kastil.
“Kita adalah produk dari kegagalan. Manusia adalah kelinci dari sebuah eks-perimen dan ketidakpastian. Hanya saja, kegagalan kita itu selalu mungkin untuk buyar. Oleh karena itu, kuharap kau mau mendengarkan aku, marilah kita kembali. Mereka semua menunggumu.”
“Aku adalah antologi kebodohan. Bagian dari cerita orang-orang lenyap dari sejarah.”
“Tidak di mata kami.”
“Tetapi bagiku itu adalah pembe-naran!” Ia mencecar air matanya.
“Maka hilangkan perasaan itu. Bangunkan dirimu.”
Aku mencoba melangkah mende-katinya. Saat ia tak sadar, kami telah begitu dekat. Tetapi, tiba-tiba saja ia nyalang berontak.
“Jangan lagi mendekat. Satu lang-kah kakimu yang berpindah ke arahku akan menyeburkanku pada kawah yang menganga itu.” Nanar. Aku terkesiap. Hendak kutarik ia sekejap itu juga. Tapi aku sadar, ia masih terlalu lemah untuk mengerti alasanku itu. Kurasa, memaksa bukanlah suatu pembenaran.
“Kita adalah kaldera. Kau tak bisa memungkirinya. Mereka menantikanmu, sementara aku dipasrahi untuk men-jemputmu. Memang aku tidak terlalu mengerti bahasa hati, tetapi aku tahu bahwa hati pun mampu mengalah bila ada pengharapan pada sebuah jalan.”
Aku demikian putus asa untuk mam-pu membuatnya menjauh dari kastil itu. Entah mengapa aku mengharapkan ia dapat menatapku. Aku yakin akan gagal kali ini, setelah itu lepaslah sudah peng-harapan. “Baiklah, sepertinya aku tidak ditakdirkan untuk membuat seseorang mampu memahami mauku. Secangkir kopi mungkin akan menghilangkan penatku ini setelah aku bertolak dari sini. Terima kasih atas pembicaraan yang teramat singkat ini. Selanjutnya kita berdiskusi dengan diam.” Aku ber-balik hendak pergi. Sayapku tak mampu mengepak dengan benar.
“Aku pergi sekarang,” kataku tanpa menolehnya lagi.
“Tunggu!” ia menarik satu bagian sayapku. “Semula aku akan menghen-tikan napasku pada penghujung penye-salanku.”
Ia mendekat.
“Sebermula aku sudah ingin mena-rikmu turun dari ‘altarmu’ itu. Dan bila saja kau menghamburkan dirimu pada kaldera itu, aku akan tetap mengejarnya. Karena aku telah berjanji pada diriku bahwa kau juga merupakan bagian dari rencanaku. Dan aku akan memperjuang-kan setiap rencanaku untuk kukembali-kan pada posisinya.”
Serta-merta ia mencoba turun dari tapal terakhir kastil itu. “Ini bukanlah simposiumku,” ucapnya. Begitu indah melihat satu demi satu jari kaki yang secara lembut itu memijak di lantai tangga terbawah. Seakan jemari tangan yang menekan tuts-tuts untuk menden-dangkan bait pada piano. Ia mendekat.
“Mereka semua menunggumu. Mari-lah bersegera.”

Inilah mampu terakhirku untuk memangggilmu. Melalui bahasa, melalui kata.
Lepas itu, hanya hati yang akan mengulur segala.

***
Demikianlah kututup diari itu. Dan selembar demi selembar kertas yang bertuliskan aksara itu terlepas dari pengaitnya; menghilang bersama api. Menghangatkanku.

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine