Kamis, April 30, 2009

Sajak Daun Kamboja Jatuh

In memoriam Papuq Saibi

Apa yang kau dengar dari derap kaki di jalan itu? Aku mendengar daun kamboja jatuh dan baunya diterbangkan angin menimpa iring-iringan orang-orang itu. Aku tak melihat asap kayu kemenyan terbakar, tapi wanginya itu menggerus debu aspal dan kotoran-kotoran kuda yang menimpa wajah orang-orang itu.

Mereka tidaklah saling mengenal. Berjalan tanpa tegur sapa. Tapi dengan tuju yang sama, langkah-langkah mereka bicara dengan pasir yang berkilat tersapu sinar matahari di jalan raya; dengan bungkus manisan yang sudah luntur warna catnya.

Dari bibir-bibir daun yang saling bertanya, keluar lagu-lagu tanpa salvo.

Barisan orang-orang yang terus berjalan dan meninggalkan garis-garis pijakan di belakang iringan utama. Tanpa tangis, mengapa tak menangis? Dalang di badan jalan menggelar pagelaran cerita arif. Ada jalan yang harus dilalui setiap kita. Setiap masanya memanggil untuk berjalan seperti suratannya dan terus bergulir. Jadi, air mata tersimpan rapi dalam peci; dalam kantung-kantung kemeja; dalam tiap lipatan sarung; dalam butir-butir tasbih yang terus berputar mengaji asma Tuhan.

Dan biarkan iring-iringan itu berjalan dengan mata hati mereka. Mengantarkannya menuju tempatnya sampai waktu tiba menggantikan kaki-kakinya ditempatkan di liang yang sudah disediakan baginya.

Bau bunga-bunga menyerbak. Air mengucur. Tanah pun sekadar basah, begitu segar. Sebuah tanda ia baru saja diantarkan mondok oleh kerabatnya.

Kuburan Bintaro, Sore Bisu, 27 April 2009

Rabu, April 29, 2009

Cahyani

Luruhkan semua yang tersiak. Biarkan saja masuk hingga ulu ini menancapkan sakit tertinggi pada tahta hati. Sampai kepada kaki-kakiku tertatih membabat asmamu yang berserak. Safari luka-lukaku.

/1/
Cahyani. Begitulah ia dinamakan oleh orang tuanya. Aku tak tahu mengapa ia bernama begitu. Dan saat kutanya dijawabnya juga dengan gelengan, “Itu urusan orang tuaku. Aku tidak ikut campur pada waktu itu.” Bagiku itu hanya kelakar saja. Karena bagaimana mungkin ia akan ikut turut mendiskusikan nama dirinya? Untuk memberikan wangsit pun ia tak mampu. Kecuali menangis dan memejamkan mata sebagai reaksi terkuat yang ia mampu lakukan waktu itu.

Tetapi matanya melotot saat aku menertawainya. “Bukan kelakar?” tanyaku. Kutatap wajahnya. Masih polos juga. “Baiklah,” ujarku,” Bisa kita alihkan pembicaraan lagi? Tentunya matamu jangan melihat seperti itu,” selorohku karena melihat ekspresi pada matanya tak juga mereda. Aku tahu itu bukan canda. Namun setiap orang bisa bekerja sama. Ia melunak.

Pupil matanya kembali selebar biasa. Aku mampu mengatur suasana. Saatnyakah? Sepertinya tidak. Aku harus mengulur waktu kembali. Menunggu rupanya menjadi musuhku. Momentum tak pernah hinggap. Dan akhirnya terampas oleh kejamnya suara bel waktu masuk yang berbunyi: Teet. Teeet. Teeeett!!!

Asaku sekarat. Harus menunggu esok hari. Tetapi tidak bisa. Aku harus cepat. Terlambat, sama dengan bunuh diri pelan-pelan. Siapa yang dapat menahan ambisi dirinya?

/2/
“Kita keluar saja dari pembicaraan ini. Aku ingin mengajakmu berbicara menurut alurku.”

Aku tak mampu menahan diriku untuk bicara langsung. Setelah delapan tahun tanpa mengenal kembali naluri masing-masing. Kucium baunya tak seperti dahulu. Ada kedewasaan yang aku takut untuk menyentuhnya.
“Tentang kisah yang sudah lama itu, aku ingin kita menyelesaikannya,” lanjutku.

Cahyani diam. Dahinya berkernyit seolah membayangkan matematika tersulit yang belum dapat ia pecahkan soalnya. Tapi aku tidak mau membiarkan waktuku terbuang lagi oleh entah. “Saat kelas 6 dulu,” kataku membuyarkan garis-garis kecil yang berderet di keningnya. Kau telah membuang cantikmu.

Ia menerawang. Mengatur sedikit napasnya. Kita sudah begitu jauh menyimpang.
“Kau masih mengingatnya?” Ia menghela napasnya. Jengah.
“Bukan hanya ingat, aku tak bisa melupakannya.”
“Mengapa tak melupakannya?”
“Seandainya bisa, ucapku. “Namun, kalaupun bisa, aku akan merugi.”
“Karena kehilanganku?”
“Seharusnya. Tetapi tidak. Kehilangan seseorang bagiku tidak akan mempengaruhi seratus orang yang aku cari. Tetapi dengan kehilanganmu, aku akan mengubur semua karya-karyaku.”
“Lakukan saja apa yang kamu mau.” Kalimat terakhir. Ia melambai ke arah seorang wanita berkaus hijau. “Temanku sudah datang. Datang saja malam ini. Itu pun jika kau mau.”

Kucoba mengurai kembali semua yang sudah terjadi. Tentang dia terhadapku. Tapi ini bukan tentang emosi—aku tak mau melankolik saat ini. Ah, dilematis. Aku tak bisa melupakan itu jika bertemu dia.

Harus. Satu kata yang memapahku untuk berjalan pulang dan menyusun rencana. Kata-kata terbaik yang harus aku katakan. Tentang mereka-mereka yang mendukungku. Atau tentang anak-anak kecil yang tertawa manis di hadapan kita—aku dan Cahyani. Kelak.

Tapi aku ingat dosa-dosaku. Dua hari aku menutup diri. Telepon darinya menggentayangiku. Aku coba pekak. Tak kusangka sedalam ini racun itu masuk.
Saat kelas enam dulu.
Saat itu.
Haruskah itu menjadi penyulutku untuk tiarap dari tujuku? Menghadapnya.

/3/
Setelah merasa yakin sembuh dari dosa-dosaku, aku kembali mencoba melafazkan namanya. Nama itu menggaung di ruang kamarku. Bersama kepengapan ia keluar melalui ventilasi. Dan akhirnya terbang bersama angin. Ia masih segar dalam tubuhku. Niatku mantap. Aku akan menemuinya. Akan kutuntaskan niatku yang tertunda dulu. Kali ini tiada kesalahan. Musti.

Pintu rumahnya seolah tiada hendak bertegur sapa denganku. Aku tak percaya pertanda. Kubuka sendiri gerbang pintunya. Aku rasa, pasir di rumahnya masih ingat wajahku. Setapak-setapak kakiku masuk mengeja sejengkal demi sejengkal pekarangan rumahnya. Cahyani. Haruskah takut? Aku sudah diujung tanduk. Tak ada pilihan. Aku tak bisa mundur. Kukuatkan diriku dengan menimbang-nimbang kisah Iskandar Zulkarnaen yang membakar perahunya ketika di Spanyol dahulu. Aku bukan pecundang yang lari dari perangku.

Baru saja tanganku hendak mengetuknya, pintu itu membukakan dirinya. Salam itu menerobos pintu tepat mengenai wajahnya. Di depanku, wajah Cahyani. Berhadap-hadapan. Aku dengannya. Tak ada yang bicara. Kami masih mampu membaca diri masing-masing…. Saling mengerti.

Dan sudah kuputuskan, ini menjadi pertemuanku yang terakhir dengannya. Ia menoleh padaku. Aku tak menghiraukannya. Angin itu pun lenyap. Darah kembali terasa hangat dalam aortaku. Berdesir. Aku melewatkan waktu. Dengan gontai kupijak aspal di jalan berdebu.
“Aku akan kawin.”
Aku menatapnya lebih dalam, serasa masih memiliki peluang.
“Jawa.”

Kata-kata itu seakan terus berdengung memenuhi kepalaku.
Luruh. Anak-anak yang tersenyum. Keriuhan yang menarik. Kata-kata yang dieja. Pencarian tanda-tanda. Aku masih membayangkannya. Buku-buku yang dibuka. Dan pertanyaan-pertanyaan lucu khas anak-anak. Aku menelan pahitnya.
Aku kehilangan momentum.

Kugali kembali dosa-dosaku. Kembali bersafari dengan luka-luka.
Saat itu.
Saat aku… menamparnya. Cahyani.
Tapi, bukan itu.
Aku ingin membicarakan tentang kita. Tentang rencana membuat rumah belajar untuk anak-anak yang mengemis di pasar. Ketika kau tuang koin ke kantung saku mereka. Seratus. Seratus…. Senyum yang mengembang dari bibir mereka.
“Terima kasih.”

Untuk Cahyani, mengenangnya. Mendoa bahagianya.
Ardian, April 2009

Senin, April 27, 2009

DUA ORANG MEMPELAT AKSARA


Shawky dan Faris

Mereka dua orang yang mempelat aksara. Kata-kata tiada nama, tiada arti. Siapa yang hendak tahu? Kecuali bibir yang terus saja berlafaz mengalirkan bunyi-bunyi cadel hingga ke telinga. Tawa mengiring, senyum menggema. Kecupan terulur deras. Dan hari-hari menghitung mereka. Hinggap dan menggema. Suara-suara itu mereka lahap lagi. Masuk tergagap hingga ia menemu dunia baru lagi. Di samping mereka orang-orang terkesima atas Tuhan yang berkarunia.

Ardian Pada Sore Aksara 2009

Ashabul Kahfi

Mendoa Usia Mama Wulan

Sudah berapa abad mereka tidak mendengar seruan? Prajurit-prajurit yang berteriak membombardir telinga-telinga awas mereka? Sudah berapa hari langkah mereka lewat dari sergapan? Mereka hanya insyaf bahwa diri mereka baru saja jadi buron; buruan lepas. Dan kini terkurung. Penuh kantuk. Terlelap. Tiada seruan lagi.

Dalam gua seruan mengalunkan lagu ke telinga mereka:

Tidurlah.
Masuklah dalam mimpimu.
Dan tidurlah. Hingga kelak.

Mereka tidak jua pernah menyeru Tuhan lagi. Tiada lapar. Hanya malaikat masih terus berjaga menggelayut di kantung-kantung mata. Tujuh pemuda dijamu mimpi-mimpi; dilipat-lipat abad. Zaman beralih di atas kaki dunia yang bergulir mesra. Mereka masih terlelap. Masuk dalam selimut lebih dalam.Seakan ini hanyalah istirahat pendek. Dari sorban mereka kemudian debu menyerbu sekitar. Negeri mereka. Tiada yang hilang sesuatu apa. Hanya tahun yang alpa mencatat pada buku agenda akan bangun mereka hari ini dari tidur itu.

Kemudian dengan seruan kecil karunia Tuhan dimunculkan. Dalam gua seruan membisik ke telinga mereka:

Bangunlah.
Menyerulah lagi.
Atau rebahlah dalam peluk-Ku

Mereka memilih tidur kembali. Di luar, zaman masih tertatih mengeja. Mereka, tujuh orang itu, telah menamatkan pelajaran mereka. Di hari bangun mereka. Juga anjing kecil teman mereka.

Dan kembalilah pulang.


Ardian, dalam Fajar Kenangan, 20 April 2009

Rabu, April 15, 2009

Panjat Pinang, Gaya Hidup Elit Politik Kita


Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Terkadang kita bisa melihat sesuatu yang besar dari sikap kita memandang sesuatu yang kecil. Kehidupan berbangsa dan bernegara elit-elit politik kita pada masa ini pun dapat kita lihat dari hal yang kecil.

Seorang anak dengan bertelanjang dada mendongak. Di atasnya tergantung secara melingkar beragam bungkusan-bungkusan menarik. Ada uang, baju, celana, sarung, mainan anak-anak, seragam sekolah dalam bungkusan itu, dan bungkusan-bungkusan lainnya. Ia tertarik untuk mengambilnya. Tapi untuk itu, ia mesti berhadapan dengan musuh yang begitu angkuh. Sebuah tiang. Sebenarnya tidak sulit jika yang dihadapi hanya sekadar tiang. Tetapi ini adalah tiang dengan tubuh yang habis dilumuri pelumas. Jika mencoba memanjatnya akan begitu sulit karena efek licin yang ditimbulkan oleh pelumas itu. Ia memandang sekitarnya. Teman-temannya yang lain telah banyak bertumbangan. Lebih jauh lagi teriakan-teriakan yang terdengar menyoraki namanya adalah lecutan baginya. Suara penonton itu adalah dukungan tulus mereka. Seolah sebagai pahlawan, ia mencoba memanjat. Dipeluknya tiang itu. Seperti pegulat ia bertarung hingga muncul garis-garis urat dari kulitnya yang kecokelatan dan belepotan. Ia mencoba mengambil ancang-ancang. Sekali hentak, ia dapat naik lebih tinggi. Tetapi, ketika sampai di tengah, ia tak dapat menahan tubuhnya yang terasa ditekan-tekan ke bawah oleh pelumas yang menempel pada tiang kayu angkuh itu. Ia terjatuh. Kemudian bergiliran lagi orang lain mencoba. Hingga lima orang setelahnya ternyata tidak bisa juga ada yang mampu menaklukkan tiang kayu itu.
Bergulat. Terjatuh. Bangun. Mencoba lagi. Namun jatuh lagi. Begitu sering kita menyaksikan hal demikian. Itu memang bagian yang tak akan pernah hilang dari panjat pinang sampai ada yang berhasil mendapatkan hadiah. Tepatnya sampai hadiah yang tergantung di puncak kayu pinang itu habis diambil.
Ya, begitulah permainan panjat pinang sulit, aneh, tetapi menyenangkan. Jika sudah keasyikan malah orang tidak berpikir lagi untuk mendapatkan hadiahnya, tetapi penasaran untuk menaklukkan kayu yang menjulang itu.
Dan mungkin dahulu di antara kita—saya dan Anda pembaca budiman—pernah mengalami atau paling tidak melihat permainan panjat pinang itu. Permainan ini cukup tenar dan meraih kejayaannya pada hari-hari mendekati tujuh belasan. Permainan masa kini seperti game-game berteknologi canggih, ponsel, atau internet tidak bisa mengalahkan kuatnya pengaruh yang ditawarkan oleh panjat pinang jika sudah memasuki “musimnya” itu. Saya sebut musim karena kebiasaan kita menggemari segala sesuatu secara musiman membuat kita sering mengelompokkannya menjadi musim-musim tertentu. Misalnya bermain layang-layang pada musim kemarau atau ketika angin sedang baik. Dan panjat pinang mendapatkan jatahnya pada saat perayaan tujuh belas agustusan, perayaan untuk memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia. Biasanya dalam hari itu, masyarakat mengadakan berbagai lomba-lomba sederhana dan merakyat. Dan yang mendapat perhatian paling banyak dari sekian lomba itu salah satunya panjat pinang.
Tetapi, saya justru tertarik melihat permainan panjat pinang ini bukan sebagai permainan semata. Saya melihat lebih kepada relevansinya dengan kehidupan politik elit-elit bangsa ini. Nnilai-nilai yang terkandung dalam panjat pinang ini relevan dengan suasana politik yang kini tengah kita alami. Apalagi kini sedang musimnya pesta demokrasi. Semua tempat seolah disulap menjadi “warung demokrasi”. Pembicaraan selalu menyerempet ke arah politik.
Mengenai relevansi antara panjat pinang dengan elit politik ini dapat kita lihat dari permainan tersebut dengan panggung kampanye pemilu. Kita analogikan saja kini panjat pinang adalah pemilu. Hadiahnya adalah kursi legislatif yang diincar para caleg. Kayu itu adalah jalan untuk meraih hadiahnya. Meskipun jalan itu memiliki tantangannya karena dilumuri minyak pelumas. Dan ketika tengah memanjat itu, orang bisa melakukannya sendiri secara lurus atau berlaku curang dengan menarik bahu temannya yang akan sampai pada hadiah yang diinginkan. Bisa juga mereka berkelompok dan bekerja sama. kemudian hadiahnya dibagi-bagi, meskipun hanya satu yang akan diakui sebagai pemenang. Dan begitu juga cara calon legislatif itu berusaha untuk menjadi pemenang agar meraih kursi legislatif. Mereka dapat saja dengan sportif bersaing. Tetapi tidak menutup cara-cara curang yang mencederai nilai-nilai moral etis seorang manusia, misalnya money politics, black campaign, atau menjelek-jelekkan calon legislatif lain. Sedangkan opsi ketiga tadi lebih dikenal sebagai koalisi dalam istilah politiknya. Dan saya rasa hal-hal di atas tidak akan jauh beda dengan pemilu presiden pada Juni nanti. Sejauh ini, hal demikian sudah bukan rahasia lagi bagi kita.
Hal lain lagi dari panjat pinang bagaimana sisi negatifnya dapat mengungkapkan kehidupan politik bangsa ini. Ketika mencoba memanjat, pastilah orang yang di atas akan menindih orang yang di bawahnya. Dan selalu yang di bawah adalah orang yang tersakiti. Begitulah pula kehidupan berpolitik kita kini. Para calon legislatif ketika terpilih akan menginjak yang di bawahnya yaitu rakyat yang notabene adalah pemilihnya. Dan tidak ada timbal balik rasional kecuali kesadaran kitan bahwa transaksi antara keduanya adalah perlambangan dari ketergantungan yang dalam istilah biologinya sering disebut sebagai simbiosis komensalisme.
Paparan analogi tersebut saya rasa cukup jelas menggambarkan bagaimana panjat pinang adalah juga bagian dari kehidupan bangsa ini. Nilai-nila yang terkandung di dalamnya secara tidak langsung sebenarnya mencerminkan sesuatu yang seharusnya darinya dapat kita pelajari banyak hal yang sebenarnya patut kita renungkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan lanjutkan kembali cerita di awal tulisan ini.
Kemudian dari sekian orang yang terjatuh itu berkumpullah mereka membentuk barisan meninggi. Yang tertua dan yang paling kekar badannya berada pada posisi paling bawah. Diikuti oleh yang lebih kecil hingga anak kecil yang mendapat jatah paling atas karena paling ringan. Dan tak berapa lama, kayu pinang, tiang yang angkuh itu berhasil ditundukkan. Hadiah mereka bagi rata. Itulah yang dinamakan kerja sama.
Namun, satu pesan tersirat yang sebenarnya ingin saya sampaikan dari epilog ini. Biar bagaimanapun bangsa ini diombang-ambingkan oleh masalah, dengan keluguannya ia masih percaya terhadap generasi mudanya. Bangsa ini tak pernah habis untuk memberikan kepercayaan kepada generasi muda untuk memimpin bangsa ini ke arah perubahan yang lebih baik.
Lihat saja panjat pinang!
Dan bahwa kerja sama itu harus dibangun oleh berbagai kalangan, dalam hal panjat pinang dari ukuran fisik yang besar sampai yang kecil dan usia dari yang tua hingga yang muda. Itu adalah koalisi terbaik dan kombinasi paling bijak.

Senin, April 13, 2009

Tentang Bulan yang Masuk Ke dalam Kolam

Mengecap pahit Situ Gintung
Makanlah. Ia menderap luka itu dengan langkah-langkahnya. Sebelum subuh? Pertanyaan itu kembali bergema. Aku tak hendak keluar. Mereka belum lagi terjaga. Namun, ini adalah perintah. Subuh telah menguap pada ranting-ranting pohon. Kenapa tak kau kantungi matahari? Sebelum itu, kupu-kupu telah lebih dulu hinggap di pelupuk mata rembulan. Bintang masuk dalam kolam. Ia tak muat di dalam. Sebentar saja. Malam dan subuh berseteru menjambak-jambak rencana. Jangan biarkan bintang itu masuk. Aku adalah sutradaranya. Kau selalu tak mau kalah!
Sepi menggarap tubuh malam. Lafazkan aku syair-syair Elliot. Aku tak pernah menghafalnya. Ada dingin yang menyergap. Kalau begitu tuangkan kopi sebagai teman jaga kita. Air sudah jatuh ke danau. Kenapa tak kau timba? Di sana ada rembulan. Ah....
Ceritakan aku tentang bulan yang ingin memotong tubuhnya sendiri itu. Kapan aku pernah mengatakan? Sebagai dongeng pengantar tidurku. Tapi kita harus berjaga. Aku tak akan rebah. Anak kecil tak boleh dengar. Kalau begitu ceritakan aku tentang air yang ingin naik itu. Tapi itu adalah satu rangkaian. Kalau begitu ceritakan saja seluruhnya biar orang juga mendengarnya. Kenapa kau berkeras? Kenapa kau selalu bertanya? Kenapa tak cerita saja? Kenapa kita harus mengacau malam dengan cerita-cerita? Kenapa sampai air itu naik!? Kenapa kau ingin tahu? Kenapa aku tak boleh tahu? Kenapa harus muncul begitu banyak kenapa dalam percakapan kita? Kenapa aku tak boleh tahu? Karena tak semua kenyataan harus diketahui. Kenapa kau tak sembunyikan saja sebelumnya? Karena ia bukan lagi sebagai rahasia. Kalau begitu mulakanlah.
Angin melayap di kegelapan.
Syahdan kolam itu dimasuki rembulan yang bersembunyi dari penyihir. Ia menantang kutukan. Tapi kutukan itu mengejarnya hinggga ia harus berlari ke bumi? Tapi, mengapa ke kolam itu? Ia sudah tidak bisa bersembunyi. Ceritakan aku kenapa? Apa semua kisah mesti memiliki sejarahnya? Karena semua adalah bagian dari sejarah. Tapi aku bukanlah seorang arkeolog. Bukankah kau sejarawan? Aku menulis cerita. Kau tak harus sebagai penyair. Kalau begitu aku akan memotret kata-katamu. Muntahkanlah biar ia nampak.
Kata-kata itu keluar meluncur sendiri. Masnawi. Rummi. Sebuah rencana.
Air di kolam itu terus berenang menjauh. Bulan ingin memasukkan tubuhnya ke dalam kolam. Tapi kolam tak sebesar tubuhnya. Kenapa bulan memaksa? Bulan tidak memaksa. Tapi rembulan jahat. Kenapa kau menuduhnya? Aku tak menuduh. Lalu? Hanya mengatakan pendapatku. Senandika? Boleh, jika kau mau. Lalu, bagaimana bulan itu mencukur tembok? Ah, tidurlah.
Masuklah. Selimut itu sudah mengais-ngais kakinya. Kaki polos itu berjingkat-jingkat bertelekan pada angin.
Aku ingin kau menyenandungkan lullabi. Tapi kita masih harus berjaga. Kurasa cukup untuk hari ini. Matahari telah mengintai dari ketiak gunung. Tak ada yang mesti dijaga lagi. Rembulan bisa saja berdiri, naik, lalu pergi dari kolam itu. Ia sudah mati. Ia beku kedinginan. Setelah dingin ia akan mencair. Dan lesap dari hadapan kita. Kau terlalu berprasangka. Ayo nyanyikan aku lullabimu. Tak ada untuk hari ini. Sebelum bulan muncul esok hari. Tapi rembulan sudah redup. Ia tak redup. Ia masuk ke dalam kolam. Sinarnya dihisap habis sang kolam. Kita masih punya senter. Senter tak cukup menyinari. Aku punya aki penyinar asa-asaku. Tapi kita butuh sejuta aki untuk membangunkan rembulan? Kalau begitu pecahkan saja matahari. Ia terlalu rakus memakan sinar. Ia begitu kuat. Lagipula tak ada Obelix. Kenapa kau memanggil orang-orang Romawi? Ia tak begitu kuat untuk membopong rembulan naik dari kolam. Kalau begitu panggilkan aku orang-orang Inca atau hantu pelaut Flying Dutchman. Kita tak sedang menjadi perompak, bukan? Tapi kau membuatku mengingat seseorang. Kau masih saja melankolik.
Ah, jangan terlalu banyak membual. Kenyataan tak pernah selesai hanya sampai di mulut. Ia muncul dan nampak di hadapan kita. Tepat di depan kita. Sehingga kita percaya bahwa itulah kenyataan. Dan ketika kenyataan telah datang? Kita tak bisa lagi berbuat apa-apa. Lalu? Kita akan termakan oleh alasan-alasan yang kita buat sendiri. Aku tak ingin itu. Kalau begitu, tidurlah.
Lihatlah air di sana telah menyusut. Lihat. Air kolam sudah menyusut. Ia memperkeras intonasi suaranya. Rembulan itu terlalu haus. Tidak, ia tak meminumnya. Ia hanya mengalirkannya. Mengapa orang-orang berlarian. Karena bulan memasukkan air itu ke tiap-tiap rumah di Situ Gintung.
Sekarang aku mau tidur. Aku belum selesai. Aku tak ingin bertanya lagi. Kenapa? Kenapa kau bertanya? Kenapa kau tak mau mendengar ceritaku. Sudahlah aku masih kecil. Tapi kau harus tahu. Demi masa depanku pasti? Ya. Aku sudah mengubur masa depanku saat air itu menyeret orang tuaku. Cahyani!

Dia yang Menampilkan Aksi Seni (4)


Tanpa ekspresi Via berjalan setelah membaca puisi Rendra berjudul Aku Tulis Pamplet Ini

Dia yang Menampilkan Aksi Seni (3)


Ardian terlentang usai membaca puisi Sajak Anak Muda karangan Rendra

Sabtu, April 11, 2009

Dia yang Menampilkan Aksi Seni (3)


Sobah mengekspresikan akhir puisi Rendra berjudul Sajak Sebatang Lisong

Dia yang Menampilkan Aksi Seni (2)


1. Sibyan ketika membacakan puisi Emha berjudul Ke mana Anak-Anak Itu

Dia yang Menampilkan Aksi Seni


Mulyadi trengginas tersalib kayu dengan tangan terikat tali

Pentas Aksi Mahasiswa Bastrindo FKIP Unram: Laporan singkat


Oleh: Muh. Ardian Kurniawan*)


Alifbata kebodohan.
Kebisuan.
Kepalsuan.
Kemunafikan.
Penipuan.
Penindasan.
aku telah mengkhatammu hari ini.
Di hadapan mereka,
yang mengobralmu!

(kutipan puisi “Belajar Mengaji”, Ardian)



Pagi itu, 6 Maret 2009 sekitar pukul 09.00, di depan gedung A FKIP Unram, tiga orang lelaki bertelanjang dada dan bercelana jeans panjang dengan pandangan kosong. Mereka dengan langkah terseok-seok masuk ke gedung tersebut. Salah seorang di antaranya menggumamkan kata-kata yang kedengaran kurang jelas, sementara lainnya mengikuti mengulang kata-kata tersebut. “Batu mawar… batu langit… batu bisu… kaukah itu… teka-teki… yang tak menepati janji!” begitulah samar kata-kata itu masuk halus menembus dinding telinga.
Di belakangnya, berdiri juga seorang lelaki bertelanjang dada terikat memanggul sebatang kayu cukup berat. Langkah kakinya juga berat seperti telah melakukan perjalanan jauh. Sesekali terdengar teriakan dari lelaki ini karena dipecut cemeti yang dibawa oleh dua orang berpakaian serba hitam yang berada di kiri dan kanannya. Sementara satu orang lagi wanita dengan pakaian hitam hingga ke jilbab mengalunkan senandung nyinyir. Ia berada paling belakang. Iringi-iringan ini terus melangkah melewati gedung A menuju gedung B. Tanpa alas kaki.
Suasana belum ramai waktu itu. Orang-orang yang melihat iring-iringan ini hanya memandang heran dan saling bertanya ada apa? Pertanyaan itu masih tersimpan di mulut mereka.
Ketika iring-iringan baru mencapai jalan antara gedung A dan gedung B, gumaman yang tadi terdengar samar sekarang berubah menjadi teriakan-teriakan yang jelas. “Kaukah itu... teka-teki yang tak menepati janji” terus diulang-ulang. Tetapi dengan perkataan yang semakin keras dan tinggi.
Seolah sedang menyenandungkan masnawi Rummi, mereka kerasukan dan memukul-mukul dinding mading di gedung B. Mereka berhasil menyedot perhatian semua pihak.
Suara itu membuat ribut. Beberapa kelas yang berkuliah menghentikan kuliah mereka menganggap ada terjadi keributan. Sementara yang tidak memiliki aktivitas penting mengonsumsi pertunjukan itu sebagai sarapan mereka.
Tiba-tiba saja, semua mata mahasiswa yang berada di sekitar iring-iringan itu mengarah ke arah mereka. Seperti ada magnet khusus pada orang-orang itu.
Dikerubungi oleh banyak orang bukan membuat mereka takut atau menghindar, mereka menjadi semakin keranjingan dan berlari ke arah ruang dosen Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris FKIP Unram dan sisanya naik ke lantai dua gedung B tersebut. Mereka membacakan puisi!
Puisi-puisi ini adalah pesan tersirat yang ingin mereka komunikasikan dengan penonton. Namun, ternyata tidak cukup hanya dengan puisi. Mereka berteatrikal. Mengkritik program studi mereka (Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah).
Beberapa permasalahan yang masuk dalam kritik berujud seni itu adalah: dosen malas, nilai pada KHS yang keluar secara manipulatif, ruang kuliah yang tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar, dan kurikulum yang amburadul.
Setelahnya mereka lalu mengusung salah seorang teman mereka yang tersalib kayu keluar dari tempat itu.

Rangkaian Simbol
Pertunjukan itu adalah rangkaian simbol-simbol. Mahasiswa yang tersalib kayu adalah simbol mahasiswa yang terkekang dan tidak bisa menyuarakan apa pun. Mereka adalah gambaran mahasiswa selama ini yang tidak berani melaporkan dosennya yang sudah keluar jalur. Kemudian usungan orang yang tersalib tersebut adalah perlambangan bahwa suara yang dikeluarkan mahasiswa baik berupa masukan saran atau kritik kepada pejabat kampus FKIP Unram khususnya program studi Bahasa Indonesia, tidak pernah dihiraukan.
Tetapi, dengan adanya pertunjukan ini, semua itu harus dihentikan. Jangan lagi ada mahasiswa yang menutup-nutupi. Jangan hendak jadi epigon sang dosen. Semua kegiatan ini adalah mimesis yang jika ditelusuri patut menjadi acuan refleksi pejabat di FKIP Unram bahwa kampus ini benar-benar perlu dirombak sistem pengajarannya, juga kurikulumnya. Terutama sekali adalah kualitas beberapa dosen yang masih mengandalkan cara mengajar zaman baheulak.
Lalu, mengapa melalui pertunjukan? Karena mereka yakin bahwa dengan kekerasan itu tidak baik, sedangkan dengan bicara melalui dialog sudah tidak ada gunanya lagi. Suara mereka tidak pernah digubris.
“Kini, yang ditegur adalah pemilik iman yang paling lemah. Dosen-dosen dan pejabat kampus itu memiliki hati dan iman yang lemah. Karena yang ditegur begitu halusnya, sehingga tidak layak tangan dan lisan berbuat sesuatu, tetapi biarlah hati mereka saja yang menerima teguran itu. Jika tidak bisa, kami ikut berkabung atas hal tersebut,” ucap salah seorang mahasiswa ketika kami berbincang-bincang usai kegiatan tersebut.
Kemudian pertunjukan seni ini dilanjutkan dengan dialog terbuka antara mahasiswa HMPS Bastrindo dengan Kepala Jurusan dan Kepala Program studi mereka. Di sinilah bermuara gabungan harapan dan janji-janji.
Satu insiden yang paling menarik adalah ketika ada salah seorang dosen Bahasa, sastra Indonesia, dan Daerah berinisial ME mengatai salah seorang mahasiswa dengan perkataan Setan! Ia keberatan dengan kritikan yang ditujukan padanya. Mungkin saja, ia adalah salah satu orang yang termasuk kriteria dalam kritikan tersebut. Tetapi, secara hukum, berdasarkan UU tentang guru dan dosen, berkata tidak sopan apalagi kapasitasnya adalah sebagai dosen pada waktu itu bukanlah hal yang patut dibenarkan. Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh pejabat terkait. Akan bagaimana FKIP Unram kalau dihuni oleh dosen pemilik lidah kotor seperti itu?
Patut menjadi renungan kita semua kata-kata Soe Hok Gie (aktivis mahasiswa angkatan ’66 yang menjadi dosen UI setelah kelulusannya) bahwa guru yang tidak tahan kritik layak masuk keranjang sampah.
Dekan FKIP atau Rektor Universitas Mataram mempunyai PR untuk menegur dosen yang kurang sopan tersebut. Jangan sampai lidah pejabat kampus itu dibiasakan berkata bejad semacam itu.
Ditulis: 7 Maret 2009

Penulis, mahasiswa Bastrindo FKIP Unram 2006.
Aktif dalam kegiatan pers mahasiswa.
Kini sedang merancang rumah belajar mandiri untuk anak-anak yang tak bersekolah.
e-mail:mido_ardian@yahoo.com

Catatan 9 April 2009

prolog
Telah tercatat hari ini, di lembar-lembar zaman yang kita menyaksikan kata-kata mucrat. Telah tertempel kini di surat-surat suara, karangan bunga untuk kebajikan yang telah terkubur bersama kotak-kotak wadah suara itu nyemplung. Kini hanya ada pribadi-pribadi yang melanjutkan mimpi memperkaya diri sendiri.

Telah tercatat hari ini, dalam surat suara hati nurani. Kami menghitung satu huruf dari kata-kata yang keluar itu. Tasbih suci untuk bekal kami lima tahun menggadang mati. Tetapi, hujan liur dari bibir-bibir orang-orang suci menghapuskan catatan kami itu, di saat cat huruf itu masih basah. Sehingga raiblah catatan kami. Pun otak kami tak mau memikirkannya lagi. Sehingga tak bisa lagi kami akan menagih mereka bunga-bunga yang ingin mereka tanam di taman negeri kami. Dan langit masih bergeming. Kami tak bisa pasti.

Transaksi
Sementara orang yang bersemedi di bilik suara itu senantiasa menanti-nanti apakah benar suara yang ia jual dengan beras lima kilo akan terlunasi oleh dosanya yang telah pasti. Butir-butir beras terus masuk ke dalam perutnya, perut anak-anaknya. Perut. Cucunya yang tidak tahu itu—yang dapat nguping dengar suara negosiasinya dengan penjaja barter suara—beras. Beras-beras itu terus bertumbuh di dalam perutnya. Menjadi padi. Perut itu menjadi lumbung usahanya. Ia menjual setiap padi yang ia panen dari beras yang ia tanam di perutnya. Tetapi ia semakin kurus saja. Karena pajak setorannya harus ia bayarkan kepada dia si penjaja tadi.

Di bilik
Dan ketika ia membuka satu demi satu lembaran kertas putih itu. Ia melihat berbagai warna. Tak kenal ia siapa. Ia hanya disodorkan ratusan nama. Dengan satu buah senjata pulpen berwarna yang harus ia bubuhkan tintanya pada nama-nama berwarna. Kita tidak sedang tebak-tebakan warna. Bukan puzzle di taman kanak-kanak. Dan tak bisa sambil mata terpejam mendapat wangsit memilih yang paling benar. Sehingga ia membiarkan saja tangannya menunjuk semaunya.
Solitude.
Senandika.

Terlambat
Masih dibukakah pasar togel?
Ia terlambat karena mengantar istri yang tengah sakit. Di rumah sakit nyawa istrinya ia gadai. Demi datang ke kamar kecil tempat tisu WC-nya tersimpan. Tapi ia tidak boleh sembarang masuk lagi. Harus antri.
+ tapi aku mau beli togel?
- daftar dulu!
+ tapi aku terlambat. Dan aku buru-buru.
Orang terlambat tak boleh sentuh kertas ajaib. Besok saja pada undangan sekali lagi. Atau tunggu lima tahun lagi.
+ tapi aku sudah gadai istriku!
Mereka saling berpandang-pandang saja. Dan ia membiarkan kertas-kertas itu tertumpuk lagi. Meninggi. Tanpa sempat bersuara lagi. Ia pergi. Tanpa menoleh lagi pada kertas yang tertumpuk itu.

Istrinya meronta di ranjang. Meminum racun.
Sementara suaminya kembali bertanya-tanya kenapa ada hari seperti ini.

Insaf
Yang mesti dingatkan kepada kami adalah: setelah sembilan April dua ribu sembilan ini, kami tidak tahu apa-apa lagi kecuali dosa kami yang tidak memilih dengan setulus diri.

Kemenyan
Penghitungan.
Mari bakar kemenyan.

Ardian pada Sore Pemilu, 9 April 2009

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine