Senin, Mei 18, 2009

BILA MALAM BERTAMBAH MALAM (BMBM)

Naskah Karangan I Gusti Ngurah Putu Wijaya

ADEGAN 1

BERSAMAAN DENGAN MEMBIASNYA CAHAYA KEREMANGAN MENJELANG MALAM GUSTI BIANG YANG DUDUK MENYULAM DI SERAMBI RUMAHNYA MEMBESARKAN LAMPU TEPLOK DAN MEMPERHATIKAN SULAMANNYA YANG DIDEKATKAN KE LAMPU.
IA MENYULAM LAGI DAN MENGANGKAT MUKA, MEMASANG TELINGA, MENDENGAR SALAK ANJING DAN SUARA ANAK-ANAK BERMAIN. IA BERHENTI MENYULAM, MEMANDANG KEJAUHAN, MERENUNG LALU MEMANDANG KE SEKELILINGNYA, MEMPERHATIKAN HALAMAN RUMAHNYA. IA NAMPAK MENGUAP, MELEPASKAN SULAMANNYA DI PANGKUAN MEMANDANG LURUS KE DEPAN, LALU PELAN-PELAN MENYANDARKAN KEPALANYA. TERTIDUR. TERBANGUN LAGI, MENGUSAP MATA, TAPI MATA ITU SUDAH NGANTUK. IA TERTIDUR LAGI.
NGURAH MUNCUL DI PINTU SEBELAH SELATAN. IA MEMANDANG KE SEKELILING HALAMAN, LALU MATANYA TERTUMPU PADA WAJAH IBUNYA YANG TERTIDUR DI KURSI GOYANG.

NGURAH : (MELETAKKAN KOPER PELAN-PELAN, BERLUTUT, MENCIUM TANGAN IBUNYA DAN BERBISIK) Ibu....
G. BIANG : (BERGERAK PERLAHAN) Siapa itu???
NGURAH : Saya Ngurah, anak ibu. Saya telah datang.
G. BIANG : Ngurah anakku?
NGURAH : Ya. Saya Ngurah. Bangunlah Bu.
G. BIANG : Ngurah. Ngurah! Kenapa kau baru pulang? Sudah lima tahun kau di sana. Kau sudah lupa pada ibumu.

GUNG BIANG MELEPASKAN TANGANNYA PERLAHAN-LAHAN. TIBA-TIBA IA SEPERTI TERINGAT AKAN SESUATU. IA MENJANGKAU LAMPU, DIANGKATNYA TINGGI-TINGGI DAN MENDEKATKAN KE WAJAH NGURAH.
NGURAH : Tidak, Bu. Aku selalu mengingatmu.
G. BIANG : Kau bertambah kurus, apa saja yang kau makan di sana? Mereka rupanya tidak mengurus kau dengan baik.
NGURAH : Saya memang agak kurus, Bu. Tapi bukan karena kurang makan. Saya banyak berpikir.
G. BIANG : (MENUNDUKKAN KEPALA) Apa yang kau pikirkan? Kau kan tidak pernah memikirkan ibumu.
NGURAH : Saya Selalu Memikirkan Ibu.
G. BIANG : Benarkah Ngurah (memandang sekitarnya). Rumah ini sudah bertambah bobrok, karena tidak ada yang mengurusnya. Untung kau tidak membawa perempuan dari sana. Kalau kau juga seperti Ngurah Pernama di Puri Anom, barangkali aku akan cepat mati.
(PAUSE) Kalau hanya perempuan, perawan macam apa pun ada di sini.
Kau tinggal pilih saja ibu akan meminangnya untukmu. Tapi kukira tak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai di seluruh puri-puri di Tabanan ini. Sejak kau tinggalkan, dia bertambah besar dan cantik.
(PAUSE) Datanglah ke sana besok. Belikan dia oleh-oleh.
NGURAH : Ibu, nanti saja kita bicarakan hal itu. Saya memang ingin membicarakannya juga.
G. BIANG : Bagus. Kau tak usah malu-malu lagi, Ngurah.
(PAUSE. MEMANDANG KOPER ANAKNYA)
Apa isi koper itu, Ngurah.
NGURAH : Pakaian-Pakaian Saya, Bu.
G. BIANG : (PAUSE) Kau tidak membeli apa-apa untuk Ibumu ?
NGURAH : Ibu, saya sangat tergesa-gesa. Baju saja hampir saya lupa.
Titipan teman juga terlupakan. Maafkan aku, Bu.
G. BIANG : (KECEWA DAN MEMANDANG KELUAR) Kau selalu lupa pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya kau lakukan.
(MEMANDANGI ANAKNYA DAN SUARANYA KERAS) Tapi kau pasti tidak lupa membelikan apa-apa untuk perempuan begundal itu. Kau pasti membelikannya lagi sandal atau bedak atau kain batik. Ya apa tidak!
NGURAH : Ibu, tenanglah.
G. BIANG : Tidak! Kalau kau masih berniat kawin dengan dia, jangan coba-coba memasuki rumah ini.
(PAUSE) Dan.... Kalau kau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut nama ibu padaku.
NGURAH : Tenanglah Bu. Berikan saya kesempatan menerangkan sedikit.
G. BIANG : Tidak! Jawab dengan singkat! Apakah kau bermaksud kawin dengan dia? Jawab Ngurah.
(PAUSE/ MELIHAT ANAKNYA PANIK) Ngurah, jawab!
NGURAH : (MEMUKUL MEJA DENGAN KERAS) Ya!
(SUARANYA RENDAH) Ya, saya akan mengawininya.
G. BIANG : (SUARANYA RENDAH) Ngurah, kau sudah diguna-gunainya.
NGURAH : Kami saling mencintai, Bu.
G. BIANG : Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Aku tidak peduli dan tidak mengenal cinta. Apa itu cinta? Yang ada adalah kewajiban untuk menghormati martabat leluhur yang telah menurunkan kau. Menurunkan kita semua di sini.
(PAUSE)
Kau tidak boleh kawin dengan dia. Betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.
NGURAH : Sagung Rai? Tidak, Bu.
G. BIANG : Ya, apa kurangnya Sagung Rai dibandingkan dengan perempuan desa itu?
NGURAH : Siapa yang menjadikan Sagung Rai itu lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri saya? Karena derajat? Saya tidak pernah merasa diri saya lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh saya kebetulan dilahirkan di puri dengan martabat sebagai bangsawan, itu cuma menyebabkan saya harus berhati-hati. Saya harus pintar berkelakuan baik agar bisa menjadi teladan orang banyak, sebab pandangan mereka tertuju pada kita. Tidak ada yang lain. Omong kosong semuanya.
(PAUSE)
Ibu, saya sebenarnya pulang untuk meminta restu dari ibu. Tapi, karena ibu menolaknya, hanya karena soal kasta ibu tidak pernah melihat bagaimana cara berpikir orang-orang sekarang ini. Saya akan kawin dengan Nyoman untuk membuktikan bahwa sekarang ini, soal kebangsawanan jangan dibesar-besarkan lagi sehingga menghancurkan niat suci orang muda. Ibu harus menyesuaikan diri dengan zaman. Kalau tidak…. Ibu akan ditinggalkan oleh orang. Dan masyarakat akan menertawakan ibu.

MEREKA BERPANDANGAN SEBENTAR, LALU G. BIANG BERGERAK MENGAMBIL LAMPU TEPLOK DI ATAS MEJA DAN BERPALING AKAN MASUK KE DALAM. NGURAH MENCOBA MENGEJARNYA KETIKA G. BIANG MENDEKATI PINTU, NGURAH BERKATA.
NGURAH : Ibu….
G. BIANG : Tinggalkan aku anak durhaka. Pergilah memeluk kaki perempuan itu. Aku tak mau mendengarmu lagi. Tetapi ingat, leluhur akan mengutukmu, kau akan ketulahan. Ingatlah.
NGURAH : Ibu, ini tak bisa diselesaikan begini saja. Panggillah Nyoman dan Wayan. Mari kita bicarakan dengan tenang.
G. BIANG : Tidak. Sudah kuusir leak-leak itu. Aku tak mau memandang kedekilannya.
NGURAH : Diusir? Nyoman telah diusir?
G. BIANG : Ya. Leak itu telah pergi dari rumahku ini. Dan setan tua itu akan pergi juga. Ia tak akan mengganggu aku lagi. Kalau kau mau mengikutinya, terserahlah. Aku akan mempertahankan kehormatanku, kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, dan kehormatan leluhur-leluhur puri ini.
(GUSTI BIANG MELANGKAH KELUAR)

ADEGAN 2

SETELAH GUSTI BIANG KELUAR, PELAN-PELAN NGURAH BERJALAN MENUJU KURSI GOYANG IBUNYA, MAJU MENDEKATI KURSI ITU DAN MENGELUSNYA, MENUNDUK, MENGANGKAT MUKA KE ARAH IBUNYA YANG TADI MASUK.
WAYAN TUA MASUK MENJINJING KOPER TUA DAN MEMEGANG BEDIL TUA.
WAYAN : Ngurah. Ngurah!
NGURAH : Bapak Wayan? Ya, saya sudah datang, Bapak.
WAYAN : Tepat sekali. Tepat sekali. Ratu Ngurah datang.
NGURAH : Apa kabar Bapak?
WAYAN : Buruk, Ratu Ngurah. Buruk sekali.
NGURAH : Kenapa Bapak Wayan?
WAYAN : Nyoman telah pergi.
NGURAH : Nyoman telah pergi? Kemana?

WAYAN MELANGKAH KELUAR DAN NGURAH MEMANDANG KE ARAH WAYAN.
WAYAN : Baru saja ia pergi, saya telah berusaha mencegahnya. Saya mau menyusulnya sekarang.
NGURAH : Kenapa dia pergi, Pak?
WAYAN : Ratu Ngurah tahu sendiri, sudah lama G. Biang tidak cocok dengan Nyoman. Saya sudah berusaha untuk mendamaikannya, tetapi tidak bisa. Sudah lama Nyoman ingin minggat dari sini, tetapi masih dapat saya cegat.
(PAUSE)
Tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi.
(PAUSE)
Tetapi memang salah saya juga, Ratu Ngurah.
NGURAH : Sudahlah, Pak, jangan menyesali diri. Walau memang begitu biarlah dulu. Semuanya akan kita selesaikan. Saya juga baru bertengkar dengan Ibu. Duduklah Pak. Bapak jangan ikut pergi, apapun yang terjadi. Maafkanlah ibu, ia tidak tahu apa yang dilakukannya. Mari coba kita rundingkan.
(PAUSE)

NGURAH MENGATAKAN KATA-KATA TERAKHIRNYA PADA ADEGAN DUA
LALU TERMENUNG LAGI. IA MENCOBA MENGANGKAT MUKA INGIN MELIHAT REAKSI WAYAN TERHADAP KATA-KATANYA. TETAPI PADA SAAT ITU MUNCUL G. BIANG MEMBAWA LAMPU TEPLOK DARI DALAM. BEGITU G. BIANG MELIHAT WAYAN, IA NAIK PITAM, MARAHNYA NAIK DAN BERTERIAK, SAMBIL MENGANGKAT TONGKAT GADINGNYA DAN MENUDING KE ARAH WAYAN.
G. BIANG : Tinggalkan rumah ini sekarang juga.

NGURAH TERSENTAK DAN MELIHAT KE ARAH IBUNYA, DAN WAYAN MEMEGANG ERAT BEDILNYA DAN PELAN-PELAN MENGANGKAT KOPERNYA.
WAYAN : Baik. Saya telah berusaha dengan baik-baik, tetapi tidak berhasil.
Aku pergi sekarang.
G. BIANG : Ya, pergilah leak. Jangan mengotori rumah suamiku.

WAYAN MELANGKAH UNTUK KELUAR TAPI NGURAH MEMBURUNYA.
NGURAH : Bapak. Kenapa bapak biarkan semua ini terjadi ?Apa Bapak tinggalkan semua begini saja? Ingat, saya Ngurah, Bapak.
G. BIANG : Dia hantu. Biar ditinggalkannya rumah ini.
WAYAN : Ya, saya memang hantu.
(MEMANDANG KE SEKELILING RUMAH DAN HALAMAN)
Seperempat abad saya mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang saya pergi sebab tidak bisa lagi bergaul dengan keadaan yang buruk ini. Bapak pergi, Ratu Ngurah. (MELANGKAH PERGI)

G. BIANG MENGANGKAT LAMPU TEPLOK TINGGI-TINGGI MENERANGI WAYAN TUA YANG PELAN-PELAN MELANGKAHKAN KAKINYA.
G. BIANG : Nanti dulu. Apa yang kau bawa itu? Kau tak boleh mencuri barang-barangku.

WAYAN MENGANGKAT BEDIL YANG DIPEGANGNYA.
G. BIANG : Bedil? Bedil siapa itu.
WAYAN : Pak Rajawali punya bedil ketika revolusi. Bedil ini telah banyak membunuh pengkhianat.
G. BIANG : Bedil itu kepunyaanku.
WAYAN : Kepunyaan Gung Biang? Sayalah yang punya bedil ini.
G. BIANG : Ngurah, ambil bedil itu. Ia mau mencurinya. Bedil itu kusimpan di kamar ayahmu.
WAYAN : Ini bedil saya.
G. BIANG : Setan. Kau tidak saja menghasut anakku, tetapi juga mencuri hartaku. Ambil bedil itu, Ngurah. Bedil itu kepunyaanku.

NGURAH MENDEKATI WAYAN MENGAMBIL BEDIL ITU, TAPI WAYAN MUNDUR BEBERAPA LANGKAH SAMBIL TERBATA-BATA DAN RAGU-RAGU.
NGURAH : Coba saya lihat, Bapak. Bedil itu agak aneh tampaknya.
]WAYAN : Bedil ini kepunyaan saya.
NGURAH : Benar, tapi saya cuma ingin melihatnya.

WAYAN MENYERAHKAN BEDIL ITU, NGURAH MENGAMBIL DENGAN CERMAT.
NGURAH : Bedil ini serupa benar dengan bedil di kamar ayah.
G. BIANG : Benar. Dia pasti telah mencurinya.
NGURAH : Ibu, masih ingatkah ibu, di mana peluru itu?
G. BIANG : Tentu. Aku pasti menggantungnya di leher sebagai jimat.

G. BIANG MERABA LEHER DAN MEMPERLIHATKAN SEBUAH PELURU BERKALUNG DI LEHERNYA DENGAN RANTAI EMAS.
NGURAH : Coba lihat, ibu.

G. BIANG MELETAKKAN LAMPU DI MEJA DAN MEMPERLIHATKAN ANAKNYA KALUNG YANG BERUPA PELURU. NGURAH MENIMANG-NIMANG PELURU ITU SETELAH DIBERIKAN IBUNYA, SEMENTARA WAYAN TERDIAM MELIHAT KEDUA ORANG DI DEPANNYA ITU.
NGURAH : Peluru inilah yang telah membunuh ayah. Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini pada ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan terakhir pada ayah. Kemudian atas permintaan ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang telah dipergunakan untuk menembakkan peluru ini. Inilah senjata yang telah menembakkan peluru ini.
G. BIANG : Benar. Senjata inilah laknat yang telah membunuh ayahmu. Ngurah, Ngurah yang malang. Kau tak sempat mengenal ayahmu. NICA jahanam itu telah menembaknya.
WAYAN : Tidak, G. Biang. Saya kira tidak. NICA-NICA tidak mempunyai bedil seperti itu.
G. BIANG : Tidak.

WAYAN BERBALIK MEMANDANGI KEPADA GUNG BIANG DAN NGURAH.
WAYAN : Ya, bedil itu hanya dipunyai oleh kaum gerilya.
G. BIANG : Tidak, tidak. Kau bedebah. Dia ditembak oleh NICA.
Suamiku seorang pahlawan. Pahlawan sejati.
WAYAN : (TERTAWA SINIS) Semua pahlawan mati ditembak NICA.
Tetapi dia tidak. Dia, I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukanlah seorang pahlawan. Ia mati ditembak gerilya sebagai pengkhianat.
G. BIANG : Dengar, Ngurah. Dia telah menghina ayahmu. Usir dia dari rumah ini. Tembak dia sampai mati.

BEGITU SELESAI MENGUCAPKAN KATA-KATA IA MENGANGKAT TONGKATNYA DAN MAU MENYERANG WAYAN, TETAPI SEGERA DITAHAN WAYAN.
(PAUSE)
NGURAH :Kenapa Bapak bilang ayah saya pengkhianat?
Kenapa, Bapak Wayan membeo kata-kata yang iri hati.
Alangkah piciknya, kalau Bapak yang telah bertahun-tahun di sini, ikut merusak nama keluarga kami. Kenapa, Bapak?
(PAUSE)
WAYAN : Saya tahu semuanya, Ratu Ngurah. Sebab saya telah mendampinginya setiap saat dulu. Sejak kecil saya sepermainan dengan dia, ya, seperti Ngurah dengan Nyoman.
(MEMANDANG NGURAH) Dan saya tidak buta huruf seperti yang disangkanya. Saya bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya, tahukah Ratu Ngurah siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? NICA-NICA itu telah mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara, sehingga kawan-kawan hampir semuanya mati.
(SUARA LANTANG DAN MENUNJUK NGURAH)
Dalam Perang Puputan itu kita telah kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan saya yang paling baik, bahkan kehilangan Letkol Ngurah Rai sendiri.
(PAUSE)
Dialah, I Gusti Ketut Ngurah Mantri yang telah berkhianat.
(PAUSE)
Dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada NICA. Desa Marga menjadi saksi semua itu. Hanya karena beliau dilahirkan sebagai putra bangsawan yang berpengaruh dan dihormati karena jasa-jasa leluhur, dosa beliau terhadap Pak Rai, terhadap semua korban Puputan itu seperti dilupakan.
(PAUSE)
Tetapi saya sendiri, tidak pernah melupakannya.
G. BIANG : Tidak! Itu tidak benar. Suamiku seorang pahlawan.
Ngurah, usir bedebah itu dari rumah kita.
NGURAH : Saya tidak percaya! Bapak telah menghina keluargaku.
WAYAN : Bukan menghina, Ratu Ngurah. Bukan hanya beliau seorang, banyak pengkhianat di bumi ini yang dianggap oleh beberapa orang sebagai pahlawan, seperti juga banyak pahlawan yang benar-benar telah membuat kepahlawanan dilupakan orang.

WAYAN TERTAWA SINIS MENDENGAR SEMUA PEMBICARAAN NGURAH.
G. BIANG : Pergi!!!
WAYAN : Baik, aku pergi. Berikan bedil itu, Ratu Ngurah.
NGURAH : Tidak! Itu bedilku. Kau telah mencurinya. Sudah beberapa tahun ini hilang. Pantas saja, kau telah mencurinya.
WAYAN : Berikan bedil itu, Ratu Ngurah.
NGURAH : Coba buktikan, buktikan ayah saya seorang pengkhianat. Berikan bukti nyata, jangan hanya prasangka yang tidak beralasan.
WAYAN : Berikan bedil itu, Ratu Ngurah.
NGURAH : Bapak pura-pura tahu segalanya, tetapi tak punya bukti. Melihat yang busuk. Coba kalau memang tahu semuanya, katakan siapa yang telah menembaknya. Siapa????
WAYAN : Saya selalu mendampinginya. Sayalah yang dekat dengan dia. Dan…. Saya seorang gerilya.
NGURAH : Siapa????
(PAUSE)

WAYAN MELANGKAH KE ARAH NGURAH YANG SUDAH HAMPIR TIDAK STABIL PIKIRANNYA, LALU WAYAN MENGAMBIL BEDIL YANG DIPEGANG NGURAH, NGURAH HANYA MELIHAT SAJA DENGAN TENANG SEPERTI MENUNGGU SUATU LEDAKAN.
WAYAN : Aku telah sengaja melupakannya. Belanda-Belanda itu memungutnya, tetapi tak tahu siapa yang telah menembakkannya. Sayalah yang menembaknya!!!
NGURAH : Bapak?!
G. BIANG : Tidak, tidak!

GUNG BIANG MAU MELEMPAR WAYAN DENGAN TONGKATNYA BEGITU HABIS BERKATA, TAPI WAYAN MENGHAMPIRINYA DAN MERAMPAS TONGKATNYA SERTA MENDUDUKKANNYA.
WAYAN : Diam! Diam!
(PAUSE)
Sudah waktunya aku menerangkan semuanya ini sekarang. Dia sudah cukup besar untuk mengetahuinya. Ngurah! Ngurah boleh saja membelanya karena menyangka dia ayah Ngurah yang sejati. Tapi, kalau kau sudah tahu yang sebenarnya, kau akan malu untuk menganggap dia sebagai ayahmu. Tetapi bagaimanapun, ia bukan seorang pejuang! Dia seorang penjilat. Musuh gerilya. Dan juga pengkhianat keluarganya. Dia bukan seorang lelaki yang jantan.
dan…. Dia seorang impoten. Memang dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi ketidakmampuannya, menutupi kemandulannya. Kalau dia memang harus melakukan tugasnya sebagai seorang suami, sayalah yang sebagian besar melakukannya. Tapi itu semua telah menjadi rahasia sampai, sampai, ….kau lahir dan kau menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya.
(PAUSE)
Tapi coba tanyakan pada ibumu, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.

NGURAH MENDENGAR UCAPAN WAYAN SEPERTI DALAM MIMPI, DIA MENGHAMPIRI IBUNYA DAN GUNG BIANG TERISAK TAK BISA BICARA SEPATAH KATA PUN.
WAYAN : Dia berpura-pura saja tidak tahu siapa lelaki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil sampai tua bangka seperti ini. Ya, hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolak aku. Lalu dia kawin dengan seorang bangsawan, pengkhianat itu, semata-mata soal kasta. Dia meninggalkan aku yang tetap mengharapkannya. Aku bisa ditinggalkannya, tapi cinta itu semakin lama semakin mendalam dan berkobar.
NGURAH : Betulkah semua itu?
WAYAN : Tanyakan sendiri kepadanya.
NGURAH : Betulkah semua itu, Bu??

IBUNYA TIDAK BISA MENJAWAB HANYA BISA MENANGIS TERISAK-ISAK.
WAYAN : Saya menghamba di sini karena cinta padanya. Seperti cinta Ngurah pada Nyoman. Aku tidak pernah kawin. Ngurah! Kau tidak boleh kehilangan masa muda seperti Bapak hanya karena perbedaan kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapat halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini, mungkin ia bermalam di Dauh Pala, di rumah temannya. Bapak akan mengurus ibumu. Pergilah cepat. Kejar dia sebelum terlambat.

ADEGAN 3

DIPEKARANGAN RUMAH MADE, DUDUKLAH NYOMAN DAN TEMAN-TEMANNYA. NYOMAN TERLIHAT SANGAT SEDIH DAN MENANGIS TERISAK-ISAK, BEBERAPA SAAT KEMUDIAN DATANGLAH NGURAH.
NGURAH : Nyoman……Akhirnya aku dapat menemukanmu juga.
NYOMAN : Ngurah….Kau….(TERSENTAK)
NGURAH : Ya!! Aku telah mencarimu kemana-mana. Aku ingin mengajakmu pulang. Aku akan mengawinimu.
NYOMAN : Benarkah itu Ngurah? Tapi, bagaimana dengan Gung Biang? Gung Biang sangat membenciku. Dia tidak akan mungkin merestui kita.
TEMAN 1 : Ya, Ngurah, dari pada kau hanya membuat Nyoman sakit, lebih baik kau turuti saja kemauan biangmu itu.
TEMAN II : Bukankah kau juga sudah di jodohkan dengan Sagung Rai?
NGURAH : Tapi bagaimana pun aku tetap mencintaimu Nyoman aku tidak mencintai Sagung Rai.
(MENATAP NYOMAN) Nyoman….aku akan mengawinimu dan kita akan menghadapi itu bersama-sama, kau mau ikut pulang denganku bukan?
NYOMAN : Ya…aku akan ikut denganmu. Putu, Made terima kasih atas semuanya. Sekarang aku akan pulang, doakan kami ya…
TEMAN 1DAN II : Ya.. Nyoman kami pasti akan mendoakanmu. Semoga kau bahagia.

(NGURAH PULANG BERSAMA NYOMAN, IA MEMBAWA NYOMAN KE RUMAHNYA)


ADEGAN 4

GUNG BIANG MASIH TERLIHAT BERSEDIH DAN MENGENANG KEJADIAN KEMARIN. G. BIANG DUDUK DI KURSI GOYANGNYA. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN, SAGUNG RAI DATANG.
SAGUNG RAI : Om, suastiasu. Biang, ini saya bawakan sedikit kue dari memek.
G. BIANG : Terima kasih, Sagung.
SAGUNG RAI : Saya dengar bli Ngurah datang.
G. BIANG : Ya, Ngurah sudah datang, tapi dia sedang keluar. Tunggu saja sebentar lagi ia pasti pulang.
SAGUNG RAI : Maaf, Biang. Saya disuruh cepat pulang oleh Memek. Mungkin lain kali saya ke sini lagi.
G. BIANG : Baiklah, Nak. Sering-seringlah main kemari, ya Nak.
SAGUNG RAI : Ya, Gung Biang. Saya pulang dulu. Om Suastiastu.
NGURAH : (MENDEKATI IBUNYA) Bu….
G. BIANG : Anakku, kau sudah pulang rupanya…. Kau ke mana saja Nak? Baru saja Sagung Rai datang mencarimu. Dia membawakan makanan ini buatmu.
NGURAH : Aku.... Aku.... Aku membawa seseorang untuk ibu….
G. BIANG : Siapa anakku?
NGURAH : (NGURAH LALU KELUAR, KEMUDIAN MENGGANDENG NYOMAN) Ini dia, Bu….
G. BIANG : Apa!!! Apa maksudmu, Ngurah!!!
NGURAH : Aku akan mengawininya Bu….
G. BIANG : Kau! Jadi kau lebih memilih Nyoman dari pada wanita pilihan ibu?
NGURAH : Aku tidak mencintai Sagung Rai, Bu. Aku mencintai Nyoman. Dia adalah pilihanku. Aku harap ibu mengerti.
WAYAN : (MASUK) Gung Biang…. Bukannya Gung yang lebih paham tentang cinta, tentang kesetiaan. Bukannya Gung telah mencerminkan itu pada suami Gung yang selalu Gung hormati dan Gung junjung sebagai pahlawan. Dan apa sekarang Gung tidak mau mengerti perasaan anak Gung sendiri?
G. BIANG : (TERSENTAK MENDENGAR KATA-KATA NYOMAN. LALU, IA MENANGIS TERJATUH DI KURSI GOYANG)
Baik.... Ngurah, ibu merestui kalian. Maafkan ibu, Ngurah.
NGURAH : Ibu…. Ibu benar-benar bukan. Ibu merestui kami??
G. BIANG : (BERDIRI) Ya, Nak. Aku merestuimu. Menikahlah dengan Nyoman.
NGURAH : (NGURAH MEMELUK KAKI IBUNYA) Terima kasih ibu. maafkan Ngurah juga, Bu.
(NGURAH DAN NYOMAN MEMELUK KAKI BIANG. KEMUDIAN NGURAH MENGGANDENG NYOMAN MASUK).

G. BIANG DAN WAYAN KEMBALI TERINGAT MASA MUDA MEREKA. KEDUANYA SALING BERPANDANGAN DAN SEKARANG KEDUANYA TERINGAT KEMBALI. AIR MATA CINTA MEREKA YANG TAK PERNAH SAMPAI TERTEKAN SELAMA HIDUP. GUNG BIANG TERTUNDUK. MALU MENYERANGNYA KEMBALI SEDANGKAN WAYAN MENGUSAP AIR MATANYA. BAGIAN SEPASANG MANUSIA ITU KINI BARU DAPAT MERASAKAN CINTA MASING-MASING SAAT USIA MEREKA MENJELANG SENJA.

Ditulis Ulang Oleh Ardian dengan pemenggalan seperlunya.

DI ETALASE

Untuk Rialisnawati
Kaki kami berjalan. Ke sana ke mari. Melihat engkau. Melihat mereka. Ingin rasa kuikut memegang. Setiap luka yang kau pilih-pilih.
Aku memilih gempa.
Aku membeli banjir.
Aku memesan tsunami.
Belum juga habis kagum kami atasnya, datanglah bergerombolan orang-orang memborong. Mematut-matut di hadapan kami.
“Sudah cocokkah baju tentara ini?”
“Kau belum cocok tanpa revolver.”
“Kenakan sorban ini.”
Dan kami semakin terjepit. Di antara mereka yang tengah membeli. Lebih baik kita memilih. Bersembunyi saja di tanah ini. Sepi. Sepi.
Kain kafan. Bacakan talqin!
Ardian, 16 Mei 2009

Aku Mengajak

Aku mengajak anjing untuk mengeong. Mengajak harimau memakan rumput. Mengajak bintang bersinar sebesar lampu neon lima watt. Mengajak petani membuat pupuk dari tinja amoeba.

Lalu kuceritakan kepada kerbau, ia mengajakku menggonggong. Mulutku terkunci. Ia mengunyahkan untukmu keju. Kau yang babi tak hendak memakannya.

Kau bertanya mengapa aku mengajak ular makan di restoran? Aku mengajakmu memakan ulat. Memamah tanah. Tapi harimau pun tak hendak memakan anaknya. Dan kita tak hendak membakar rumah sendiri. Lalu, mengapa membiarkan gergaji raksasa itu membabat rumah saudara-saudara kita yang satu Tuhan pula?


Ardian, Mei 2009

Rabu, Mei 06, 2009

ANALISIS NOVEL HARIMAU! HARIMAU! KARYA MOCHTAR LUBIS

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Tema
Dalam novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis ini dapat disimpulkan bahwa tema yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah kepemimpinan, yaitu mengenai kebobrokan dalam sifat seorang pemimpin. Dalam novel ini terdapat seorang tokoh antagonis bernama Wak Katok yuang selalu dimitoskan oleh pengikutnya, enam orang pencari damar, ketika mencari damar di hutan sebagai seorang yang dihormati, disegani, dan sakti. Pemitosan ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

“ Wak Katok dihormati, disegani, dan malahan agak ditakuti, karena termashur ahli pencak silat dan mahir sebagai dukun.... Diceritakan orang, sewaktu dia masih muda di pernah berpencak melawan seekor beruang dan mengalahkannya. Tentang ilmu sihirnya... orang hanya berani berbisik-bisik saja tentang ini. Kata orang dia dapat bertemu dengan hantu dan jin. (halaman 5).

Menurut cerita orang, jika bersilat, Wak Katok dapat membunuh lawannya, tanpa tangan, kaki, atau pisau mengenai lawannya. Cukup dengan gerakan tangan atau kaki saja yang ditujukan ke arah kepala, perut atau ulu hati (halaman 9).

Oleh karena selalu dimitoskan orang, sosok Wak Katok sudah tidak dapat diganggu gugat lagi sebagai pemimpin yang berwibawa. Ia memiliki segala kriteria untuk menjadi pemimpin, yaitu kekuatan, wibawa, dan satu lagi mitos. Mitos bahwa ia memang seorang pemimpin yang mumpuni seperti terlihat dalam kutipan di atas yang banyak menggunakan kata kata orang dan diceritakan. Msyarakat tak pernah dengan benar-benar melihat secara nyata apa yang diceritakan kepadanya mengenai sosok Wak Katok tersebut, tetapi mereka mempercayai cerita itu.

Namun, ketika masalah mulai muncul, yaitu saat seekor harimau tua “memburu” mereka ketika dalam perjalanan pulang dari mengumpulkan damar di hutan, mulai nampak oleh para pendamar, pengikut wak Katok akan kejanggalan-kejanggalan pemitosan terhadap Wak Katok. Seperti pada kutipan di bawah ini.

Sanip berjalan dengan diam.... hatinya gundah gulana.... Apa yang dapat mereka lakukan berempat dengan sebuah senapan tua Wak Katok? Meskipun hatinya agak terobati, karena diberi jimat baru oleh Wak Katok, akan tetapi keraguannya belum hilang. Tidakkah Pak Balam memakai jimat, juga Talib dan Sutan? Dan bukankah mereka juga diserang sampai mati? Tetapi dia mendiamkan bisikan hatinya yang tak percaya, karena ini lebih membesarkan kerusuhan hatinya (halaman 171).

Wak Katok sendiri sudah merasa khawatir kehilangan kepercayaan dari pengikutnya tersebut, terutama sejak kematian Pak Balam yang kemudian disusul Talib, dan juga Sutan. Oleh karena itu ia memutuskan untuk mengikuti saran Pak Haji untuk mencari kembali Sutan setelah diserang harimau, seperti dalam kutipan di bawah ini.

Dia akan lebih takut lagi jika namanya akan rusak di kampung, jika orang kampung akan tahu, bahwa dia takut....Dia harus tetap memelihara keseganan dan hormat orang kampung terhadap dirinya. Dia merasa tak dapat hidup, jika dia tidak lagi dihormati, disegani, dan dipuji-puji di kampung (halaman 165-166).

Demikianlah Wak Katok semakin takut dan pada akhirnya ciri-ciri kerapuhan dan kebobrokan diri seorang pemimpin yang tercermin pada diri Wak Katok mulai muncul. Sifat pengecut Wak Katok yang semula tak pernah diketahui oleh para pencari damar mulai terlihat dan yang mengejutkan bahwa Wak Katoklah yang karena ketakutannya, memperlihatkan kelemahannya sendiri seperti dalam kutipan di bawah ini.

Wak Katok terkejut. Wak katok seperti orang yang terpukau, mengangkat senapan ke bahunya, membidik, lama-lama, sepasang mata itu diam saja, seakan tak bergerak, dan kemudian Wak Katok menarik pelatuk senapan ....berbunyi tik! Senapan tak meletus. Buyung, Pak Haji, dan Sanip melemparkan kayu menyala, menghalau harimau. Beberapa saat setelah harimau pergi mereka terkejut melihat senapan terlempar ke tanah dan Wak Katok ....menggulungkan badannya di dalam pondok, seakan seorang yang ingin menyembunyikan dirinya ke perut bumi (halaman 191).

Puncak dari ketidakpercayaan terhadap sosok Wak Katok adalah ketika Sanip denga terang-terangan mengatakan kebobrokan dan kelemahan diri Wak Katok, pemitosan yang penuh dengan kepalsuan. Hal itu terlihat dalam kutipan di bawah ini.

“Inikah Wak Katok yang gagah perkasa itu, guru paling besar, dukun paling besar, guru silat yang paling pandai, pemimpin yang paling besar. Mengapa Wak Katok kini hendak bersembunyi ke dalam tanah? Engkau guru palsu. Lihat ini.... jimat-jimatmu palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah di mana mereka kini, karena mempercayai engkau... mereka telah mati, telah binasa. Engkau memaksa orang mengakui dosa-dosa, tetapi bagaiman dngan dosa-dosamu sendiri (halaman 192).

Akan tetapi pesan utama yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Mochtar Lubis adalah seperti kata Pak Haji saat menjelang kematiannya dalam kutipan di bawah ini.

“Orang yang berkuasa, jika dihinggapi ketakutan, selalu berbuat zalim... ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga... sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri...engkau tak dapat hidup sendiri... cintailah manusia... bunuhlah harimau dalam hatimu.”



Setting atau latar
Dalam novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis ini dapat ditemukan adanya setting tempat kejadian bagian-bagian dalam cerita seperti pada kutipan di bawah ini.

Di dalam hutan terdapat pula sumber-sumber nafkah hidup manusia, rotan, damar, dan berbagai bahan kayu (halaman 2).
Jika hujan turun sedang mereka berdua bekerja di hulu hutan, mereka pergi berteduh di dalam pondokyang dibuat dari daun-daun pisang hutan dan keladi (halaman 19).


Dari penggambaran setting tempat pada contoh di atas, nyata sekali terlihat bahwa setting tempat terjadi di hutan dan hulu hutan.
Setting waktu dalam cerita Harimau! Harimau! Karya Mochtar lubis dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Tak seorang jua yang dapat sungguh-sungguh tidur sepanjang malam, dan ketika bunyi kokok ayam hutan yang berderai-derai menandakan dini hari telah dekat, mereka pun segera bangun (halaman 114).

Hari telah menjelang magrib ketika Buyung tiba di tempat mereka bermalam yang pertama dalam perjalanan pulang dari ladang Wak Hitam menuju ke kampung air jernih (halaman 69).

Dari kutipan di atas, dapat diambil latar waktu berupa sepanjang malam, dini hari, dan menjelang magrib. Ada banyak latar waktu yang terdapat dalam Novel tersebut, tetapi sebagai contoh, kiranya contoh dari kutipan di atas dapat mewakili.

Sementara itu terdapat pula setting fisik yang nampak pada kutipan di bawah ini.

Wak Katok berumur lima puluh tahun. Perawakannya kukuh dan keras, rambutnya masih hitam, kumisnya panjang dan lebat, otot-otot tangan dan kakinya bergumpalan. Tampangnya masih serupa orang yang baru berumur empat puluhan saja. Bibirnya penuh dan tebal, matanya bersinar tajam (halaman 3-4).

Dari penggambaran fisik pada kutipan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Wak Katok adalah lelaki tua berusia lima puluh tahun yang memiliki rambut yang masih berwarna hitam dan kumis yang panjang dan lebat, dengan bibir hitam dan tebal. Penggambaran seperti ini dapat memudahkan kita untuk menguatkan visualisasi Wak Katok sebagai dukun, misalnya dengan kumis yang panjang dan lebat dan bibrnya penuh dan tebal.

Setting sosial yang mendukung pencitraan cerita dalam novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

Talib dan Sanip sekali waktu tak dapat menahan diri. Ketika mereka yang muda-muda bersama-sama di hutan, dan orang-orang tua tak ada dekat-dekat, maka Talib dan Buyung atau Sanip mulai berbicara tentang kecantikan Siti Rubiyah.
“Aduh, coba kalau lakinya bukan Wak Hitam,” kata Talib.
“Aduh, coba kalau dia belum kawin,” tambah Buyung.
“Kemarin aku mimpikan dia,” tambah Sanip (halaman 31).

Dari kutipan di atas, terlihat adanya interaksi di antara Talib, Buyung, dan Sanip yang membicarakan Siti Rubiyah. Ini menandakan bahwa di dalam novel ini terdapat setting sosial.

Pemahaman dan Apresiasi terhadap Novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis
Mengenai novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis ini secara keseluruhan merupakan sebuah novel yang termasuk ke dalam jenis novel psikologis. Hal ini terlihat dalam keseluruhan novel yang banyak memuat aspek kejiwan dan konflik batin pada masing-masing tokoh, terutama ketika konflik mulai muncul, yaitu ketika harimau menerkam Pak Balam hingga tewas. Kemudian ketika masing-masing di antara mereka disuruh untuk mengakui setiap dosa-dosa mereka karena keyakinan bahwa harimau yang menerkam Pak Balam adalah harimau yang diturunkan Tuhan untuk menghukum mereka semua yang berdosa.

Sebagian besar kalangan berpendapat bahwa novel ini sebenarnya perlambangan tentang situasi politik Orde Lama yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Hal ini terlihat dari para tokoh yang ada dalam cerita ini mewakili hal tersebut dan dialog-dialog yang ada dalam cerita.

Misalnya, Wak Katok dan Pak Haji adalah tipe tokoh yang mudah sekali dikenali dalam masyarakat Indonesia. Wak Katok adalah pemimpin yang bermantera palsu (pidato-pidato), berjimat palsu, munafik, lalim dan menindas. Sedang Pak Haji adalah tipe pemimpin yang intelektual tetapi takut membela kebenaran. Tipe pemimpin intelektual ini biasanya tak berani bersuara menentang kezaliman, mengasingkan diri dari masalah bangsanya, dan lebih baik memikirkan keselamatan dirinya sendiri.

Sedangkan tokoh Buyung, tokoh muda usia, rupanya dipasang sebagai simbolik kaum muda Indonesia. Buyung adalah tokoh yang masih murni, bersemangaat dan penuh idealisme. Dan rupanya pengarang ada dipihak kaum muda ini. Dengan demikian jelas terlihat bahwa Mochtar Lubis secara sengaja mengambil setting rimba untuk memaparkan dan sekaligus mengecam tingkah laku pemimpin Indonesia (Sumardjo, 1991.)

ANALISIS LAPIS MAKNA PUISI PADAMU JUA KARYA AMIR HAMZAH




Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Punya rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menusuk ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku
(Amir hamzah: Nyanyi Sunyi)

Di antara sastrawan-sastrawan Pujangga Baru, nama Amir Hamzah tentu paling dikenal dalam bidang puisi. Hal ini tidak lepas juga dari gelar yang telah dilekatkan padanya oleh Paus Sastra Indonesia, H. B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Melihat salah satu puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di atas, kita tidak bisa melepaskannya dari ciri khas Amir Hamzah yang suka mengangkat tema-tema agama. Kesukaannya dengan hal-hal berbau sufistik juga mengingatkan kita pada Hamzah Fansuri, peletak dasar puisi modern di Indonesia.

Padamu Jua adalah puisi yang mengisahkan tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku lirik dengan kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi positif, seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, saya menafsirkan pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah kematian aku lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah Tuhan aku lirik yang selalu mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.

Pada bait pertama, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa aku lirik merasakan bahwa ia tidak bisa menghindar dari kekasihnya, Tuhannya. Walaupun cinta itu sampai habis terkikis oleh masa dan hilang terbang ke tempat yang antah-berantah, aku lirik tetap tidak bisa melepaskan diri dari kekasihnya. Pulang kembali aku padamu, kata aku lirik dalam salah satu baris puisinya. Bahkan untuk menguatkan keteguhan cinta kekasih aku lirik tersebut, Amir Hamzah menambahkan Seperti dahulu. Ini menandakan bahwa memang cinta yang diberikan oleh kekasih aku lirik tidak dapat berubah. Dan itu tetap dirasakan aku lirik ketika ia melakoni “pulang kembali” tersebut.

Pada bait kedua, aku lirik memperlihatkan bagaimana ketulusan cinta kasih yang diberikan kekasihnya pada dirinya. Cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan sebagai kandil kemerlap dan pelita jendela di malam gelap yang selalu sabar dan setia menanti kedatangan aku lirik dari perginya yang lama.

Namun, di bait ketiga, aku lirik tetap tidak mau mepedulikan kekasihnya itu. Sebagai seorang manusia, ia juga membutuhkan rasa cinta yang berbentuk (rindu rupa). Sedangkan kekasihnya ini adalah sesuatu yang tidak nampak.

Pada bait keempat, aku lirik menumpahkan penasarannya itu dan bertanya, Di mana engkau /rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata merangkai hati. Karena yang dicintai adalah Tuhan, maka mata manusia tidak mampu melihatnya. Sehingga rupa pun menjadi tiada. Tetapi bisikan kata-kata selalu dirasakan aku lirik merangkai hatinya untuk meyakini bahwa ia memang tengah mencintai kekasihnya dan kasih itu berbalas.

Pada bait kelima, aku lirik menjelaskan bahwa kekasihnya itu telah menjadi terbakar api cemburu oleh kelakuan aku lirik, yaitu ketika aku lirik meningglkan kekasihnya, sebelum ia melakoni “pulang kembali”nya. Hal ini, menurut aku lirik, mengakibatkan sang kekasih menjadi ganas. Aku lirik melihat bahwa kekasihnya hanya ingin cintanya tak berbagi ke lain hati. Kekasih aku lirik ingin memiliki aku lirik sepenuhnya. Kata mangsa ini menandakan pemaksaan kekasihnya tersebut.

Bait keenam menunjukkan kepasrahan aku lirik karena telah “dimangsa” oleh “cakar” kekasihnya. Ia menjadi nanar dan gila sasar. Tak tahu hendak ke mana. Ia telah buta arah. Dalam bahasa Sasak, biasa dikatakan kebebeng. Karena, biar bagaimanapun, ia menyadari bahwa ia akan berulang (kembali) lagi kepada kekasihnya. ditandaskan lagi, cinta yang diberikan kekasihnya diibaratkan Serupa dara di balik tirai yang seakan-akan pelik menusuk ingin, benar-benar membuat penasaran dan ingin tahu.

Pada bait terakhir merupakan puncak pertemuan aku lirik dengan kekasihnya. ternyata aku lirik mendapatkan bahwa kasih yang diberikan kekasihnya itu sunyi. Sepi, karena ia hanya menunggu seorang diri. Itu dirasakan aku lirik setelah waktu bukan lagi menjadi haknya. Dan matahari bukan lagi menjadi kawannya. Saat aku lirik melakukan “pulang kembali”-nya itu, yaitu ketika aku lirik mengalami kematian.

ANALISIS LAPIS MAKNA PUISI DOA KARYA CHAIRIL ANWAR




PUISI DOA KARYA CHAIRIL ANWAR

Doa

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku,
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
Menyebut Kau penuh seluruh

CahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin
di kelam sunyi

Tuhanku,
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku,
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku,
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
(Chairil Anwar: Deru Campur Debu)

Berbicara mengenai lapis makna suatu puisi yang membicarakan tentang unsur intrinsik atau tubuh puisi tersebut, kita tidak bisa terlepas dari unsur yang berada di luar struktur tersebut (unsur intrinsik). Berkaitan dengan puisi Chairil Anwar ini, perlu dijelaskan sedikit mengenai sejarah penulisan puisi ini. Ketika menulis puisi ini, Chairil Anwar melalui aku lirik menceritakan pengalamannya yang telah melakukan suatu dosa atau kesalahan yang membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Tetapi, walau bagaimanapun, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tiada lagi tempat berpaling selain kepada-Nya.

Chairil Anwar mengawali puisinya ini dengan kata Tuhanku. Sama seperti seorang hamba yang bila berdoa sering kali menyebut kata-kata pujian atau apa pun yang berkaitan dengan Tuhannya. Misalnya, dalam agama Islam, sering muncul dalam doa ucapan seperti yaa Allah atau yaa Rabbi. Begitu pula Chairil melalui si aku lirik menyebut Tuhanku. Ini menguatkan judul puisi Chairil Anwar yang memang tengah memanjatkan doa kepada Tuhan aku lirik. Bahkan kata Tuhanku ini diulang-ulang Chairil sampai empat kali dan itu pun selalu berdiri sendiri tanpa didampingi oleh kata-kata lain. Ini dapat berarti dua hal, pertama, Tuhan tidak dapat disejajarkan dengan apa pun. Kedua, untuk memperkuat kekhusyukan aku lirik dalam berdoa.

Dalam termangu
Aku masih mengingat namaMu


Ini menunjukkan keteguhan hati aku lirik yang benar-benar mengingat Tuhannya, walau dalam termangu sekali pun. Untuk memperkuat hal itu, Chairil pun menambahkan biar susah sungguh/ menyebut kau penuh seluruh. Aku lirik, ketika menyebut nama Tuhannya, tak sedikit pun dalam pikirannya terbersit untuk memikirkan hal lain yang dapat merusak kedekatan dengan Tuhannya itu.

Bait pertama puisi ini juga dapat berarti prolog sebuah doa. Mengapa saya katakan sebagai prolog? Dalam setiap doa seorang hamba kepada Tuahnnya, pujian kepada Tuhan biasa diucapkan pendoa. Kembali kita ambil contoh orang Islam. Orang Islam biasa memulai doanya dengan ucapan alhamdulillah yang notabene merupakan pujian kepada Allah. Selanjutnya pendoa mengucapkan pujian-pujian lain dan terima kasih pendoa atas segala yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebuah awal yang mirip basa-basi. Barulah kemudian pendoa mengeluarkan keluhannya dan segala permohonan yang diinginkannya. Rupanya Chairil menghafal tata cara berdoa seperti ini yang merupakan cara berdoa konvensional dan berlaku bagi semua makhluk (manusia) di dunia. Ini dimaksud agar terjalin sinergitas dan kedekatan antara Tuhan dengan hambanya.

Tetapi, benar-benar ingatkah aku lirik pada Tuhannya? Manusia tidak pernah luput dari salah dan dosa. Begitu pula aku lirik. Ia pun pernah melakukan kesalahan yang menurutnya seakan-akan membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Bahkan cahaya Tuhan yang panas suci memancar hanya tinggal kerdip lilin saja pada aku lirik. Tertutup oleh dosa yang telah diperbuatnya itu.

Chairil sadar bahwa akibat dosanya itu ia seakan merasa bahwa ia sudah hilang bentuk dan remuk. Ia tak mengenali dirinya lagi.

Akibat dari perbuatannya itu, ia merasa bahwa dirinya telah jauh dari Tuhannya. Aku mengembara di negeri asing kata Chairil melalui aku lirik, mengenang perbuatannya itu. Asing, karena apa yang dikerjakannya itu bertentangan dengan apa yang sudah diperintahkan Tuhannya.

Akan tetapi, bila sudah begitu, apakah aku lirik akan terus mengurung diri dalam kubangan dosanya? Tidak! Ia harus kembali kepada Tuhannya karena tidak ada tempat berpaling lagi jika bukan padaNya. Oleh karena itu, di akhir puisinya, Chairil menuliskan Di pintuMu aku mengetuk// Aku tidak bisa berpaling.

Memang seperti kita ketahui selama hidupnya, Chairil Anwar dikenal sebagai seorang sastrawan yang bohemian. Artinya, hidupnya terkesan hura-hura. Sehingga dari kehidupannya itu ia merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan yang membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Inilah yang melatarbelakangi munculnya sajak Chairil Anwar berjudul “Doa” ini.

Sabtu, Mei 02, 2009

PENGGUNAAN BAHASA ETNIS MELAYU DENGAN ETNIS LAINNYA DI LINGKUNGAN MELAYU TENGAH, AMPENAN

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

LATAR BELAKANG

Bahasa Melayu merupakan bahasa rumpun Austronesia yang memiliki sejarah panjang. Jika dirunut pada bukti tertulis di Nusantara (untuk menyebut Indonesia dan beberapa wilayah lainnya), bahasa Melayu sudah mulai dipakai sebagai bahasa pengantar di Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lain di Jawa pada abad ke-7 M. Hal ini dibuktikan dengan adanya bukti linguistik berupa prasasti-prasasti yang ada di sekitar wilayah tersebut (Masinambow dan Paul Henen, 2002: 15 juga Collins, 2005). Munculnya abad ke-7 M tentunya disebabkan karena budaya bahasa tulis di Nusantara masih belum dikenal sehingga kita masih dapat berasumsi bahwa bahasa Melayu sudah berkembang jauh sebelum munculnya prasasti tersebut.

Selanjutnya oleh bangsa Portugis dan Belanda yang datang kemudian, bahasa Melayu kembali dipilih untuk digunakan sebagai bahasa komunikasi mereka dengan masyarakat sehingga ini ikut juga membantu proses persebaran bahasa Melayu ke wilayah-wilayah lain di Nusantara. Rata-rata persebarannya bersamaan dengan persebaran perdagangan dan perkembangan daerah pesisir sebagai wilayah atau pusat perdagangan. Karenanya, penyebaran itu juga tidak bisa dilepaskan dari peran serta pedagang-pedagang Melayu yang berniaga menyeberangi berbagai pulau di Nusantara sambil menyebarkan pula bahasa mereka. Kondisi inilah yang membuat bahasa Melayu berkembang luas di masyarakat. Bahkan melebihi cakupan persebaran bahasa Jawa yang hanya berkisar di Pulau Jawa saja.

Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Melayu meraih dominasi sebagai bahasa perdagangan. Hal ini terbukti dengan adanya dialek-dialek bahasa Melayu seperti Melayu Jakarta di Jakarta, dialek bahasa Melayu Loloan di Bali, dialek bahasa Melayu Ampenan di Lombok, dialek bahasa Melayu di Manggarai, dialek bahasa Melayu Sambas dan Ketapang di pesisir Kalimantan Barat dan masih banyak lagi dialek bahasa Melayu lainnya yang tersebar di seluruh Nusantara (Evi Novianti dalam www.borneotribune.com: 2009).

Sebagaimana penjelasan di atas, daerah pesisir Ampenan juga mendapat imbas persebaran bahasa Melayu, sehingga di sana pula terdapat dialek bahasa Melayu Ampenan. Ini dapat dilihat salah satunya di Lingkungan Melayu Tengah yang merupakan bagian dari Kampung Melayu.

Masyarakat di wilayah Kampung Melayu yang mayoritas dihuni oleh masyarakat etnis Sasak, ternyata tidak berarti dengan mudahnya etnis Sasak tersebut mampu menggunakan bahasa mereka sebagai bahasa pengantar dalam masyarakat tutur di lingkungan tersebut. Justru yang berkembang di wilayah tersebut adalah bahasa Melayu (Banjar dan Palembang). Mengapa hal tersebut dapat terjadi, tentunya tidak pula bisa dilepaskan dari kedekatan antara Lingkungan Melayu Tengah itu dengan pusat aktivitas masyarakat pada waktu bahasa itu mulai muncul dan berkembang di wilayah ini, yaitu ketika di wilayah ini masih terdapat pelabuhan yang dikenal dengan nama Pelabuhan Ampenan. Situasi ini pula memunculkan hadirnya beragam etnis di daerah itu.

Sudah tentu dengan keberagaman etnis itu lantas menyebabkan masyarakat heterogen dari segi budaya, termasuk di dalamnya bahasa. Hal demikian tidak dapat dihindarkan. Foley (dalam Mahsun, 2005: 228) menyebutkan bahwa secara alamiah kontak antardua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang berbeda akan selalu termanifestasi dalam wujud perubahan bahasa. Perubahan tersebut dapat berupa adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau keduanya saling melakukan proses yang sama.

Kondisi tersebutlah yang menimpa masyarakat etnis di wilayah Kampung Melayu, Ampenan tersebut. Sehingga komunitas masyarakat yang multietnis harus melakukan beberapa adosi dan adaptasi atau kedua proses itu dilakukan bersamaan oleh mereka sehingga dicapailah suatu kepadanan yang dijadikan lingua franca. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan membicarakan hal tersebut lebih dalam. Fokus penulis adalah mengenai penggunaan bahasa etnis Melayu dengan etnis lainnya di Kampung Melayu. Sampel yang menjadi daerah penelitian penulis adalah Lingkungan Melayu Tengah, Ampenan yang masih termasuk dalam Kampung Melayu tersebut.

RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi landasan penulisan makalah ini adalah bagaimanakah penggunaan bahasa etnis Melayu dengan etnis lainnya di Lingkungan Melayu Tengah, Ampenan?

TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan penggunaan bahasa etnis Melayu dengan etnis lainnya di Lingkungan Melayu Tengah, Ampenan.

TINJAUAN PUSTAKA

James T. Collins dalam bukunya Bahasa Melayu Bahasa Dunia (2005) pernah melakukan penelitian tentang persebaran bahasa Melayu yang ada di dunia, termasuk persebaran bahasa Melayu di Asia Tengara. Dari buku itu diketahui awal perkembangan bahasa Melayu di Indonesia dimulai dari pulau Sumatra, yaitu di Palembang yang diperlihatkan dengan adanya bukti linguistik berupa prasasti-prasasti bertarikh abad ke-7 M (tarikh tertua tentang bahasa Melayu waktu itu) di Kerajaan Sriwijaya. Hanya saja, kelemahan buku ini, penelitian Collins tidak mencantumkan—setidaknya beberapa contoh—bagaimana penggunaaan bahasa-bahasa Melayu yang ada di masyarakat yang beragam di dunia itu. Hal itu ditambah pula dengan masih umumnya bahasa Melayu yang dijadikan kajian teliti sehingga fokus kajian menyebar ke segala benua dan kurang mendapat penjabaran.

Penelitian itu disempurnakan oleh Masinambow dkk. (lihat Masinambow dan Paul Haenen, 2002) yang juga pernah melakukan penelitian yang sama pada tahun 1987 bekerja sama dengan Toyota Fuondation. Penelitian itu melihat bahasa Melayu dalam halnya sebagai awal sejarah bahasa Indonesia dan sebagai bahasa daerah. Sampel penelitan yang diambil adalah masyarakat pada sensus 1980. Dalam penelitian ini hanya dibahas bagaimana persebaran dan penggunaan bahasa Melayu di daerah yang persebarannya cukup besar. Namun, karena cakupannya yang begitu luas, masalah yang diungkap juga belum begitu maksimal. Sehingga masih terdapat ruang kosong dalam penelitian tersebut dalam hal penggunaan bahasa Melayu di daerah-daerah yang lain.

Oleh Sumarsono (1993), penelitian-penelitian terdahulu diperbaiki. Ia mengambil sampel yang lebih sedikit cakupan penelitiannya. Selain itu, ia tidak menggunakan sumber penelitian di wilayah-wilayah yang sudah begitu dikenal sebagai penutur bahasa Melayu seperti di Sumatera atau Kalimantan. Sumarsono mengambil penelitiannya tentang penggunaan bahasa Melayu di Loloan. Didapatkan suatu simpulan dari penelitian tersebut adalah bahasa Melayu di wilayah Loloan, Bali masuk dan menyebar dari daerah pesisir wilayah Bali. Penggunaannya pun masih hingga saat ini. Yang menarik adalah bagaimana mereka mendapatkan dan menggunakan bahasa Melayu yang dikuasai dengan etnis-etnis lain dalam berkomunikasi di masyarakat.

KERANGKA TEORI

Tulisan ini akan memfokuskan kajian tentang etnolinguistik, dalam hal ini penggunaan bahasa lintas etnis. Oleh karena itu, teori yang digunakan pun tidak akan jauh dari pembahasan mengenai etnolinguistik ini. Secara sederhana, etnolinguistik dapat dianggit sebagai kajian linguistik yang menyelidiki hubungan bahasa dan kebudayaan. Sehingga penulis akan memfokuskan tulisan ini seputar bahasa dan kebudayaan, yaitu bagaimana bahasa etnis Melayu di lingkungan Melayu Tengah digunakan. Tidak hanya oleh etnis Melayu itu jika berkomunikasi dengan sesama etnis mereka sendiri, tetapi juga dengan etnis lain di masyarakat tersebut.

Bagaimana hubungan bahasa dan kebudayaan misalnya dapat dilihat pada hasil penelitian Mahsun yang ia sampaikan pada pengukuhan gelar guru besarnya di Universitas Mataram 24 Januari 2009 lalu mengenai relevansi bahasa etnis Sasak, Samawa, dan Mbojo dengan kebiasaan hidup masing-masing masyarakat tersebut. Menurut Mahsun etnis Samawa memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan waktu, etnis Mbojo memiliki keterikatan dengan dimensi ruang, sementara etnis Sasak memiliki keterikatan dengan fenomena seribu masjid, seribu pencuri, dan seribu tuan guru yang oleh Mahsun dirangkumkan dengan teori penolakan kultur-nya (periksa Mahsun: 2009).

Syukur (1983: 73) mengatakan dalam setiap masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language code) dan cara-cara berbicara yang bisa dipakai oleh anggota-anggota masyarakat itu, yang merupakan repertoir komunikatif (communicative repertoir) masyarakat itu. Gumperz (dalam Syukur 1983) menambahkan bahwa variasi ini mencakup semua varietas dialek dan style yang digunakan dalam populasi sosial tertentu, dan faktor-faktor yang mengarahkan pada seleksi dari salah satu varietas itu.

Dengan demikian akan muncul suatu variasi baru dalam bahasa suatu masyarakat yang memiliki etnis yang beragam. Karena masing-masing masyarakat etnis membawa kode bahasa mereka masing-masing. Lalu, bagaimana membuat mereka bersatu?
Syukur mengatakan:

Dengan adanya berbagai varietas bahasa di dalam repertoir komunikatif masyarakat, dan berbagai subvariasi yang tersedia bagi subkelompok dan individu, para penutur haruslah memilih kode dan strategi interaksi untuk digunakan dalam konteks yang spesifik (1983:75).

Dari penjelasan Syukur tersebut disimpulkan bahwa harus ada pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat penutur bahasa yang heterogen tersebut. Dalam hal masyarakat Lingkungan Melayu Tengah yang multietnis, bahasa Melayu-lah yang digunakan. Karena bahasa ini mampu menyatukan berbagai etnis yang ada. Catatan tambahan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa perdagangan pada waktu itu. Jadi sudah begitu menyebar di masyarakat.

Selain itu, terdapat perbedaan-perbedaan penggunaan bahasa yang digunakan masyarakat etnis Melayu dalam berkomunikasi dengan masyarakat etnis lain di lingkungan tersebut. Misalnya saja jika berkomunikasi dengan masyarakat etnis Sasak mereka memiliki kecenderungan menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Sasak, tetapi dengan masyarakat etnis Cina, mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu atau bahasa Cina, misalnya. Semua itu dipengaruhi oleh faktor budaya dan bahasa yang berlaku di masyarakat itu. Untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam bagian Pembahasan.

PEMBAHASAN
Sebelum kita masuk dalam pembahasan penggunaan bahasa lintas etnis ini, penulis perlu memaparkan kondisi daerah objek penelitian penulis.

Sejarah Perkembangan Bahasa Melayu di Lingkungan Melayu Tengah

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dahulu Ampenan adalah Kota Pelabuhan. Hal ini tidak menutup peluang bagi kota tersebut mengundang secara tidak langsung pedagang-pedagang Nusantara untuk mencoba berniaga di sana. Layaknya sebuah kota yang menjadi pusat aktivitas dan perdagangan masyarakat maka bermunculanlah dari berbagai daerah pedagang-pedagang. Mulai dari pedagang keturunan Melayu, Cina, Arab, Bugis, Jawa dan daerah-daerah lainnya. Semua membawa serta bahasa tutur asli mereka. Sehingga sulit pula berkomunikasi dengan bahasa masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan bahasa pemersatu untuk berkomunikasi baik dengan sesama pedagang, maupun dengan pembeli dan suku asli daerah tempat mereka berdagang. Untuk menyatukan komunikasi dalam perdagangan tersebut kemudian disepakati penggunaan bahasa Melayu. Pertimbangan penggunaan bahasa Melayu adalah karena pada waktu itu bahasa Melayu merupakan bahasa niaga yang secara tidak langsung membuat banyak di antara pedagang tersebut menguasainya. Meskipun dalam komunikasi mereka masih tidak bisa dilepaskan dengan aksen-aksen dan beberapa kosakata bahasa asli mereka. Pedagang dari etnis Arab menggunakan bahasa Melayu Arab-nya, pedagang dari etnis Banjar dengan bahasa Melayu Banjar-nya, begitu pula dengan pedagang dari etnis Cina dengan bahasa Melayu Cina-nya (dalam masyarakat Melayu, bahasa Melayu yang digunakan oleh etnis Cina ini dinamakan dengan nama bahasa Melayu Rendah).

Kemudian dengan berkembangnya perdagangan di Ampenan ini, pedagang-pedagang ini juga secara perlahan-lahan ikut mendiami wilayah ini, termasuk Kampung Melayu. Di Kampung Melayu inilah bahasa Melayu terus berkembang dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu, tanpa campuran dengan bahasa lain.

Namun, keberagaman etnis yang menghuni Kampung Melayu ini ternyata tidak bisa diakomodasi oleh bahasa Melayu murni saja, sehingga mulailah dilakukan adopsi dan adaptasi bahasa-bahasa etnis di Kampung Melayu ini. Bahasa Melayu yang beragam ini memunculkan proses pijinisasi, yaitu campuran adopsi dan adaptasi bahasa Melayu, bahasa Sasak, bahasa Arab, bahasa Cina, dan beberapa kosakata bahasa yang mereka buat sendiri. Hal ini disebabkan oleh etnis Arab yang membawa pulang pengaruh bahasa di wilayah Batavia (Jakarta) setelah pulang berdagang dari wilayah itu. Namun, ternyata bahasa Melayu pijin ini menjadi terus berkembang sehingga menjadi jenis kreol di wilayah ini.

Sehingga secara tidak disadari sudah terbentuk bahasa Melayu pijin (mengutip istilah Sumarsono, 2005) di wilayah ini oleh kedatangan pedagang-pedagang tersebut. Selanjutnya menurut Sumarsono bahasa Pijin adalah salah satu jenis lingua franca yang disebabkan oleh penutur dengan latar belakang bahasa ibu yang berbeda, yang pada saat tertentu oleh kebutuhan sesaat memerlukan alat komunikasi, yaitu satu bahasa yang dijadikan dasar. Dasar inilah yang kemudian diubah, dikurangi, disederhanakan, dan ditambah dengan unsur-unsur dari bahasa-bahasa lain yang ikut terlibat (2005: 145-146 bandingkan dengan Chaer & Leonie Agustina, 2004: 131-132). Sedangkan Kreol adalah perkembangan lebih lanjut dari pijin, yakni setelah pijin itu memiliki penutur aslinya (Chaer & Leonie Agustina, 2004). Sehingga dapat disimpulkan bahwa di Lingkungan Melayu Tengah ini sudah berkembang bahasa Melayu pijin yang menurut penjelasan Chaer dan Leonie Agustina tersebut secara berangsur-angsur memiliki penuturnya sendiri sehingga pijin pun berubah menjadi kreol.

Setakat ini, bahasa Melayu kreol inilah yang menjadi begitu dominan di sekitar wilayah pantai Ampenan (yang dahulu juga merupakan daerah di sekitar pelabuhan Ampenan) sehingga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi masyarakat tersebut.

Ampenan dan Kampung Melayu

Menurut situs wikipedia.com (diunduh tanggal 25 April 2009), Ampenan adalah sebuah kecamatan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Daerah ini dahulunya merupakan pusat kota di Pulau Lombok. Di sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok (laut yang menghubungkan Pulau Lombok dengan Pulau Bali). Di kecamatan ini terdapat peninggalan kota tua karena dahulunya merupakan pelabuhan utama daerah Lombok. Di sini terdapat banyak kampung yang merupakan perwujudan dari berbagai suku bangsa di Indonesia di antaranya Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Arab, Kampung Bali dan lain-lain, sehingga masyarakat yang ada di sini bersifat heterogen dan rukun.
Kampung Melayu merupakan kampung yang terdapat di Kelurahan Ampenan Tengah. Sesuai garis politiknya, Kampung Melayu ini dibagi lagi menjadi tiga wilayah, yaitu Lingkungan Melayu Timur, Lingkungan Melayu Tengah, dan Lingkungan Melayu Bangsal. Pembagian ini didasarkan atas letak geografis mereka (untuk Lingkungan Melayu Timur dan Tengah) dalam lingkup Kampung Melayu tersebut. Khusus untuk Lingkungan Melayu Bangsal penamaannya disebabkan dahulu di wilayah tersebut terdapat bangsal yang dijadikan gudang dan pabrik oleh Pemerintah Kolonial Belanda (sisa bangunannya masih dapat ditemukan di sekitar wilayah ini).

Kondisi Masyarakat

Masyarakat di Lingkungan Melayu Tengah terdiri dari masyarakat yang multietnis. Di dalamnya terdapat masyarakat etnis yang mampu hidup rukun dan bekerja sama dengan baik. Etnis-etnis tersebut adalah etnis Sasak sebagai etnis mayoritas dengan persentase masyarakatnya 43 %, etnis Arab (20 %), etnis Banjar (15 %), etnis Palembang (10 %), etnis Jawa (5 %), etnis Cina (2 %), dan etnis lain (5%) yang menghuni daerah tersebut.

Ada keunikan tersendiri pada etnis Arab dan etnis Cina. Kedua etnis ini cenderung memilih untuk hidup berkelompok dengan sesama etnis mereka. Kecenderungan ini mungkin disebabkan karena etnis mereka yang merupakan etnis pendatang (luar Nusantara). Meskipun demikian, terdapat perbedaan juga antara pola interaksi masyarakat etnis Arab dengan etnis Cina dalam berinteraksi dengan masyarakat etnis yang lain. Walaupun hidup berkelompok, masyarakat etnis Arab masih dapat bergaul dengan masyarakat etnis yang lain. Sementara masyarakat etnis Cina melakukan isolasi total terhadap etnis-etnis yang berkembang di sekitarnya, kecuali beberapa orang di antara mereka. Perbedaan ini dapat disimpulkan disebabkan oleh faktor agama. Masyarakat etnis Arab meskipun merupakan etnis pendatang masih melakukan interaksi dengan masyarakat etnis lain didasarkan adanya kesamaan agama. Interaksi mungkin saja diawali dari pertemuan-pertemuan di masjid atau pertemuan-pertemuan pada acara keagamaan yang berkembang menjadi saling tegur sapa dan saling mengunjungi yang selanjutnya menimbulkan keakraban di antara masing-masing etnis satu agama ini. Hal demikian tidak dapat dilakukan oleh etnis Cina, selain berbeda etnis mereka juga berbeda jauh dalam agama. Sehingga pilihan terbaik bagi mereka adalah mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat. Pengecualian terhadap etnis ini adalah bagi mereka yang juga beragama sama dengan masyarakat mayoritas, yaitu Islam. Sehingga interaksi di ruang keagamaan menimbulkan kedekatan di antara mereka.

Masyarakat etnis Sasak, yang menjadi mayoritas dalam institusi sosial yang ada seharusnya mampu hidup dominan di lingkungan ini. Dominasi ini dapat ditunjukkan dengan dominasi aneka budaya kemasyarakatan seperti bahasa, kesenian, atau pola keteraturan masyarakatnya. Akan tetapi, hal itu tidak dapat dilakukan oleh masyarakat etnis Sasak. Meskipun merupakan mayoritas, masyarakat etnis Sasak masihlah menjadi minoritas dalam hal sumbangsih budaya dan pola-pola interaksi sosial. Tetapi budaya hidup komunal yang mereka miliki membuat mereka masih mampu bertahan dalam gempuran budaya-budaya yang berkembang dalam masyarakat heterogen tersebut.

Dominasi etnis Melayu dalam kebudayaan tidak bisa dibendung oleh budaya etnis Sasak. Sehingga berbeda dengan pendapat Mahsun (2009) yang mengeluarkan teori penolakan kultural untuk etnis Sasak sebagai bentuk penolakan mereka terhadap dominasi bahasa etnis luar (seperti etnis Bali dan Jawa), penulis mendapatkan masyarakat Sasak di wilayah ini justru takluk oleh kuasa budaya etnis Melayu. Tidak hanya dari segi bahasa yang menggunakan bahasa Melayu, tetapi juga segi-segi lainnya. Misalnya fenomena kawin curi yang “dilegalkan” dalam masyarakat Sasak tidak berlaku di wilayah ini. Karena tata cara adat kebiasaan prosesi perkawinan di Kampung Melayu ini tidak menunjukkan cara kawin curi, melainkan dengan melamar. Dan kesenian yang mengiringinya pun bukan gendang beleq atau kecimol sesuai adat Sasak, tetapi menggunakan hadrah, sesuai adat Banjar.

Dengan itu, masyarakat etnis Melayu, yaitu etnis Banjar dan etnis Palembang, memanfaatkan dominasi bahasa mereka untuk kemudian semakin menguasai dominasi budaya di wilayah ini. Hal ini dapat terlihat dari pengaruh-pengaruh yang diberikan hingga saat ini, seperti sumbangan bahasa Melayu, kesenian tarian hadrah, bancaan (syukuran untuk mendoakan seorang anak yang hanya dihadiri oleh sesama kanak-kanak saja), dan minuman yang diberi nama air pokak, yaitu minuman campuran air jahe, kayu manis, dan gula merah yang biasa disajikan ketika tahlilan atau acara syukuran.

Masyarakat etnis Jawa dan etnis-etnis lainnya di wilayah ini memilih mengambil posisi selayaknya masyarakat pendatang. Etnis ini tidak ikut campur ihwal budaya. Sehingga mereka pun tidak begitu banyak berperan dalam memberikan pengaruh terhadap budaya masyarakat.

Penggunaan Bahasa Melayu di Lingkungan Melayu Tengah

Pada hakikatnya, sebagai bahasa lingua franca, bahasa Melayu digunakan oleh sebagian besar masyarakat yang ada di Lingkungan Melayu Tengah ini. Tidak peduli mereka adalah etnis Melayu maupun etnis di luar itu (Sasak, Jawa, dan etnis lainnya). Karena bahasa ini sudah disepakati oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai bahasa dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Hanya saja, seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahasa Melayu memiliki dua variasi yang penggunaannya berbeda antara variasi yang satu dengan variasi yang lain, yaitu variasi bahasa Melayu dan variasi bahasa Melayu yang sudah menjadi kreol.

Variasi bahasa Melayu maksudnya variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat Lingkungan Melayu Tengah yang masih menggunakan bahasa Melayu dengan melakukan adopsi dan adaptasi dari beberapa kosakata etnis lain. Sementara variasi bahasa Melayu kreol adalah variasi bahasa Melayu yang meskipun masih berupa bahasa Melayu, tetapi sudah banyak terpengaruh bahasa-bahasa etnis lainnya sehingga ciri bahasa Melayu itu menjadi kabur, hanya saja masyarakatnya masih mengakui itu sebagai bahasa Melayu oleh karena itu bahas itu masih penulis namakan bahasa Melayu kreol.
Variasi-variasi ini dipengaruhi oleh faktor usia dan kesopanan. Misalnya bahasa Melayu kreol ini hanya digunakan pada usia remaja atau mereka yang merasa berusia sebaya dengan lawan tuturnya.

Perbedaan kedua variasi ini dapat dilihat dalam contoh di bawah ini.

Contoh 1
Misalnya:
A: Cik, ade uang di sane? Boleh pinjem lime ribu dulu buat belanje anak-anak sekolah?
B: Ade. Ayo, die suru(h,k) kemari ambil.

Artinya harfiahnya:
A: Bi, apakah bibi punya uang? Bolehkah saya memnijam uang lima ribu untuk belanja anak-anak?
B: Ada. Suruhlah dia mengambilnya.


Contoh 2
Misalnya: Artinya:
A: Hep, ade pulus ndak? Ana pinjem. A: Kawan, kamu punya uang tidak?Saya pinjam.
B: Kam? B: Berapa?
A: Amsalep. Buat beli dohan. A: Lima ribu. Untuk beli rokok.

….
Contoh 1 merupakan manifestasi variasi bahasa Melayu dan Contoh 2 merupakan contoh variasi bahasa Melayu kreol. Dari kedua contoh itu dapat dibedakan bagaiamana perbedaan variasi bahasa Melayu dan variasi bahasa Melayu kreol.

Tetapi, dalam penggunaannya di masyarakat, bahasa Melayu lebih banyak dan lebih luas digunakan oleh masyarakat. Sementara bahasa Melayu kreol (untuk membedakannya dengan bahasa Melayu) hanya digunakan di kalangan remaja dan untuk orang yang (dianggap) berusia sebaya dengan penuturnya saja.

Penggunaan Bahasa Antaretnis Melayu di Lingkungan Melayu Tengah

Dalam penggunaannya pada masyarakat pakai bahasa Melayu di Lingkungan Melayu Tengah, masyarakat etnis Melayu yang terdiri dari etnis Banjar dan etnis Palembang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi mereka sehari-hari. Pemakaian bahasa Melayu ini baik ketika berkomunikasi dengan sesama etnis Melayu (sesama etnis Banjar atau sesama etnis Palembang), maupun antarkedua etnis tersebut (etnis Banjar dengan Palembang).

Karena merupakan penutur bahasa Melayu, kedua etnis ini dalam berkomunikasi pun masih menggunakan bahasa Melayu. Perbedaan bahasa Melayu yang mereka gunakan tidak jauh berbeda disebabkan karena mungkin bahasa Melayu yang mereka kuasai sudah banyak berubah seiring lamanya mereka meninggalkan daerah asal mereka dan mendiami wilayah Kampung Melayu ini.

Penggunaan bahasa Melayu ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

A: Saban hari kau main bole, mandi pante. Kau pulang kalo sudah Magrib.
B: Mak ini sukanya ribut. Malu didenger same orang.
A: Biar! Aku Mak kau. Kau denger aku. Jangan suka bantah.


Apabila diindonesiakan, akan didapat arti sebagai berikut.
A: Tiap hari kamu pergi bermain sepak bola dan mandi di pantai. Kamu baru pulang kalau sudah Magrib tiba.
B: Ibu suka sekali ribut. Malu didengar oleh orang.
A: Biar! Saya ibumu. Kamu harus dengar saya. Jangan suka membantah.


Kutipan di atas adalah percakapan antara anak dan ibunya. Kutipan itu diambil ketika si anak dimarahi oleh ibunya karena pulang terlambat.
Dalam keluarga tertentu, yaitu keluarga yang masih bisa menguasai bahasa Melayu Banjar dan bahasa Melayu Palembang dengan baik, mereka terkadang memiliki kosakata khusus yang tidak dimiliki dan digunakan oleh masyarakat lain. Kosakata ini adalah kosakata yang memang asli berasal dari daerah asal bahasa mereka tersebut. Satu contoh yang sering penulis curi dengar dikeluarkan adalah puki maknye. Untuk kesopanan, penulis tidak mencantumkan artinya. Sebab, jika diartikan kalimat ini memiliki nilai sarkastis yang buruk.

Penggunaan Bahasa Etnis Melayu dengan Bahasa Etnis Lain di Lingkungan Melayu Tengah
Jika antarsesama etnis Melayu (Banjar dan Palembang) mereka menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi, tidak demikian halnya jika etnis ini berkomunikasi dengan etnis lain. Komunikasi dilakukan tergantung dengan siapa mereka berkomunikasi.

Jika lawan komunikasi mereka tersebut adalah masyarakat Sasak atau Arab (dua masyarakat etnis mayoritas), ada kemungkinan yang digunakan adalah bahasa Melayu dengan pertimbangan untuk kesopanan. Tetapi, jika lawan bicaranya tersebut tidak mengerti bahasa Melayu, maka kemungkinan kedua akan digunakan bahasa Indonesia. Jika dengan masyarakat Sasak, kemungkinan lainnya mereka akan menggunakan bahasa Sasak, dengan catatan bahwa masyarakat etnis Melayu ini bisa menggunakan bahasa Sasak. Begitu pula halnya jika dengan etnis Arab. Tetapi kemungkinan itu lebih kecil dibandingkan dengan etnis Sasak. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh faktor kedekatan mereka yang tidak berasal dari satu nenek moyang (etnis Arab adalah etnis pendatang) dan penguasaan bahasa yang kurang.

Dalam kutipan ini digunakan bahasa Melayu.

A : Kapan kau pulang?
B : Kemarin, Cik.


Beberapa kemungkinan yang akan muncul dalam komunikasi jika etnis tersebut berkomunikasi dengan etnis Arab atau Sasak adalah sebagai berikut.

Jika dengan etnis Arab Jika dengan etnis Sasak
A : Kapan kau rejak? A : Kapan uleq?/ Piran meq uleq?
B : kemarin, Cik (Bi). B : Wiq/ rubin/kemaren.


Sementara bila komunikasi tersebut dialihbahasakan kembali menjadi bahasa Indonesia, akan diperoleh hasil sebagai berikut.

A: Kapan pulang/ datang?
B: kemarin, Bi.


Khusus untuk masyarakat Sasak, mereka bisa saja tidak menggunakan bahasa Melayu ketika berkomunikasi antarsesama Sasak mereka. Sementara bahasa etnis Arab tidak demikian. Karena kebanyakan mereka adalah suku pendatang yang lahir dan besar di wilayah ini, kemungkinan mereka menguasai bahasa Arab cukup kecil. Oleh karena itu, jika berkomunikasi antarsesama mereka menggunakan bahasa Melayu dengan tambahan kosakata bahasa Arab adosi dan adaptif.
Sementara jika dengan etnis Jawa, kemungkinan besar mereka akan menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, meskipun demikian, masih terdapat sisipan kosakata Melayu di dalam penggunaan bahasa Indonesia tersebut.
Misalnya dalam kutipan berikut.

A : Sekolah di mana sekarang, Rahman?
B : Kuliah, Om, di Unram.
A : Ambil jurusan ape kau?
B : Jurusan Teknik.
….


Kutipan di atas adalah percakapan antara A yang merupakan etnis Jawa dengan B yang etnis Melayu. Meskipun mencoba berbahasa Indonesia, A tetap masih terpengaruh oleh bahasa Melayu yang sudah melekat di wilayah itu sehingga ia secara tidak menyadari menggunakan “Ambil jurusan ape kau”. Tulisan yang tercetak miring merupakan kosakata Melayu yang tidak sengaja digunakan oleh A.

Lain halnya jika masyarakat etnis bahasa Melayu ini bertemu dengan masyarakat etnis Cina. Kemungkinan untuk mengunakan bahasa Melayu teramat kecil kecuali ia sudah terbiasa bergaul dengan masyarakat luar. Tidak tertutup dalam komunitas mereka saja. Seperti penjelasan sebelumnya, komunitas ini selalu mengisolasi diri dari pergaulan etnis lainnya. Ini mereka buktikan dengan mendiami pinggir wilayah Kampung Melayu ini. Sehingga kemungkinan untuk bergaul dengan komunitas masyarakat yang ada sangat kecil. Dengan demikian, penguasaan mereka terhadap bahasa Melayu juga sangat kecil. Kecuali jika mereka bersekolah dengan masyarakat lain yang sebagaian besarnya penutur bahasa Melayu. Ia harus menyesuaikan diri dengan bahasa Melayu itu. Sehingga dengan tidak disadari ia sudah mampu menuturkan bahasa Melayu itu.

Namun, masyarakat etnis Cina tetap menggunakan bahasa Cina atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi antarsesama etnis mereka. Semua itu tergantung dari pemakaiannya dan tergantung pembiasaan keluarga mereka.

SIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.

a. Persebaran bahasa Melayu begitu luas menyebar sampai ke wilayah Barat dan Timur Indonesia. Bahkan persebarannya itu sampai juga ke wilayah Ampenan di Lombok, khususnya Lingkungan Melayu Tengah yang masih menjadi bagian Kampung Melayu yang hingga kini menggunakan bahasa Melayu itu sebagai lingua franca mereka.

b. Penggunaan bahasa Melayu di lingkungan antaretnis Melayu di Lingkungan Melayu Tengah masih berjalan hingga kini.

c. Penggunaan bahasa etnis Melayu dengan bahasa etnis lain di Lingkungan Melayu Tengah berbeda-beda, hal ini tergantung etnis lawan bicara masyarkat etnis Melayu tersebut. Misalnya, ketika berhadapan dengan etnis-etnis yang sudah mapan di daerah tersebut seperti etnis Sasak dan etnis Arab, mereka menggunakan bahasa Melayu yang sudah mengalami proses Pijinisasi. Sedangkan jika berhadapan dengan masyarakat etnis yang jumlahnya sedikit dan belum begitu kuat campur tangan budayanya di daerah ini seperti etnis Jawa dan etnis Cina, mereka menggunakan bahasa Melayu dan atau bahasa Indonesia (sebagai bahasa pemersatu).


BIBLIOGRAFI
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Collins, James T.. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat (Alih bahasa Alma Evita Almanar). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: tahapan strategi, metode, dan tekniknya (edisi revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
_______. 2009. Linguistik dan Studi tentang Kemanusiaan: Orasi Ilmiah dalam Rangka Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Linguistik. Universitas Mataram.
Masinambow, E. K. M. dan Paul Haenen. 2002. Bahasa Indoensia dan Bahasa Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Novianti, Evi. 2009. Ada Portugis di Indonesia. Diunduh tanggal 25 April 2009. di situs www.borneotribune.com/pendidikan/ada-protugis-di-indonesia/html.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
¬¬_______. 2005. Sosiolinguistik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, Abd..1983. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine