Sabtu, Mei 02, 2009

PENGGUNAAN BAHASA ETNIS MELAYU DENGAN ETNIS LAINNYA DI LINGKUNGAN MELAYU TENGAH, AMPENAN

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

LATAR BELAKANG

Bahasa Melayu merupakan bahasa rumpun Austronesia yang memiliki sejarah panjang. Jika dirunut pada bukti tertulis di Nusantara (untuk menyebut Indonesia dan beberapa wilayah lainnya), bahasa Melayu sudah mulai dipakai sebagai bahasa pengantar di Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lain di Jawa pada abad ke-7 M. Hal ini dibuktikan dengan adanya bukti linguistik berupa prasasti-prasasti yang ada di sekitar wilayah tersebut (Masinambow dan Paul Henen, 2002: 15 juga Collins, 2005). Munculnya abad ke-7 M tentunya disebabkan karena budaya bahasa tulis di Nusantara masih belum dikenal sehingga kita masih dapat berasumsi bahwa bahasa Melayu sudah berkembang jauh sebelum munculnya prasasti tersebut.

Selanjutnya oleh bangsa Portugis dan Belanda yang datang kemudian, bahasa Melayu kembali dipilih untuk digunakan sebagai bahasa komunikasi mereka dengan masyarakat sehingga ini ikut juga membantu proses persebaran bahasa Melayu ke wilayah-wilayah lain di Nusantara. Rata-rata persebarannya bersamaan dengan persebaran perdagangan dan perkembangan daerah pesisir sebagai wilayah atau pusat perdagangan. Karenanya, penyebaran itu juga tidak bisa dilepaskan dari peran serta pedagang-pedagang Melayu yang berniaga menyeberangi berbagai pulau di Nusantara sambil menyebarkan pula bahasa mereka. Kondisi inilah yang membuat bahasa Melayu berkembang luas di masyarakat. Bahkan melebihi cakupan persebaran bahasa Jawa yang hanya berkisar di Pulau Jawa saja.

Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Melayu meraih dominasi sebagai bahasa perdagangan. Hal ini terbukti dengan adanya dialek-dialek bahasa Melayu seperti Melayu Jakarta di Jakarta, dialek bahasa Melayu Loloan di Bali, dialek bahasa Melayu Ampenan di Lombok, dialek bahasa Melayu di Manggarai, dialek bahasa Melayu Sambas dan Ketapang di pesisir Kalimantan Barat dan masih banyak lagi dialek bahasa Melayu lainnya yang tersebar di seluruh Nusantara (Evi Novianti dalam www.borneotribune.com: 2009).

Sebagaimana penjelasan di atas, daerah pesisir Ampenan juga mendapat imbas persebaran bahasa Melayu, sehingga di sana pula terdapat dialek bahasa Melayu Ampenan. Ini dapat dilihat salah satunya di Lingkungan Melayu Tengah yang merupakan bagian dari Kampung Melayu.

Masyarakat di wilayah Kampung Melayu yang mayoritas dihuni oleh masyarakat etnis Sasak, ternyata tidak berarti dengan mudahnya etnis Sasak tersebut mampu menggunakan bahasa mereka sebagai bahasa pengantar dalam masyarakat tutur di lingkungan tersebut. Justru yang berkembang di wilayah tersebut adalah bahasa Melayu (Banjar dan Palembang). Mengapa hal tersebut dapat terjadi, tentunya tidak pula bisa dilepaskan dari kedekatan antara Lingkungan Melayu Tengah itu dengan pusat aktivitas masyarakat pada waktu bahasa itu mulai muncul dan berkembang di wilayah ini, yaitu ketika di wilayah ini masih terdapat pelabuhan yang dikenal dengan nama Pelabuhan Ampenan. Situasi ini pula memunculkan hadirnya beragam etnis di daerah itu.

Sudah tentu dengan keberagaman etnis itu lantas menyebabkan masyarakat heterogen dari segi budaya, termasuk di dalamnya bahasa. Hal demikian tidak dapat dihindarkan. Foley (dalam Mahsun, 2005: 228) menyebutkan bahwa secara alamiah kontak antardua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang berbeda akan selalu termanifestasi dalam wujud perubahan bahasa. Perubahan tersebut dapat berupa adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau keduanya saling melakukan proses yang sama.

Kondisi tersebutlah yang menimpa masyarakat etnis di wilayah Kampung Melayu, Ampenan tersebut. Sehingga komunitas masyarakat yang multietnis harus melakukan beberapa adosi dan adaptasi atau kedua proses itu dilakukan bersamaan oleh mereka sehingga dicapailah suatu kepadanan yang dijadikan lingua franca. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan membicarakan hal tersebut lebih dalam. Fokus penulis adalah mengenai penggunaan bahasa etnis Melayu dengan etnis lainnya di Kampung Melayu. Sampel yang menjadi daerah penelitian penulis adalah Lingkungan Melayu Tengah, Ampenan yang masih termasuk dalam Kampung Melayu tersebut.

RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi landasan penulisan makalah ini adalah bagaimanakah penggunaan bahasa etnis Melayu dengan etnis lainnya di Lingkungan Melayu Tengah, Ampenan?

TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan penggunaan bahasa etnis Melayu dengan etnis lainnya di Lingkungan Melayu Tengah, Ampenan.

TINJAUAN PUSTAKA

James T. Collins dalam bukunya Bahasa Melayu Bahasa Dunia (2005) pernah melakukan penelitian tentang persebaran bahasa Melayu yang ada di dunia, termasuk persebaran bahasa Melayu di Asia Tengara. Dari buku itu diketahui awal perkembangan bahasa Melayu di Indonesia dimulai dari pulau Sumatra, yaitu di Palembang yang diperlihatkan dengan adanya bukti linguistik berupa prasasti-prasasti bertarikh abad ke-7 M (tarikh tertua tentang bahasa Melayu waktu itu) di Kerajaan Sriwijaya. Hanya saja, kelemahan buku ini, penelitian Collins tidak mencantumkan—setidaknya beberapa contoh—bagaimana penggunaaan bahasa-bahasa Melayu yang ada di masyarakat yang beragam di dunia itu. Hal itu ditambah pula dengan masih umumnya bahasa Melayu yang dijadikan kajian teliti sehingga fokus kajian menyebar ke segala benua dan kurang mendapat penjabaran.

Penelitian itu disempurnakan oleh Masinambow dkk. (lihat Masinambow dan Paul Haenen, 2002) yang juga pernah melakukan penelitian yang sama pada tahun 1987 bekerja sama dengan Toyota Fuondation. Penelitian itu melihat bahasa Melayu dalam halnya sebagai awal sejarah bahasa Indonesia dan sebagai bahasa daerah. Sampel penelitan yang diambil adalah masyarakat pada sensus 1980. Dalam penelitian ini hanya dibahas bagaimana persebaran dan penggunaan bahasa Melayu di daerah yang persebarannya cukup besar. Namun, karena cakupannya yang begitu luas, masalah yang diungkap juga belum begitu maksimal. Sehingga masih terdapat ruang kosong dalam penelitian tersebut dalam hal penggunaan bahasa Melayu di daerah-daerah yang lain.

Oleh Sumarsono (1993), penelitian-penelitian terdahulu diperbaiki. Ia mengambil sampel yang lebih sedikit cakupan penelitiannya. Selain itu, ia tidak menggunakan sumber penelitian di wilayah-wilayah yang sudah begitu dikenal sebagai penutur bahasa Melayu seperti di Sumatera atau Kalimantan. Sumarsono mengambil penelitiannya tentang penggunaan bahasa Melayu di Loloan. Didapatkan suatu simpulan dari penelitian tersebut adalah bahasa Melayu di wilayah Loloan, Bali masuk dan menyebar dari daerah pesisir wilayah Bali. Penggunaannya pun masih hingga saat ini. Yang menarik adalah bagaimana mereka mendapatkan dan menggunakan bahasa Melayu yang dikuasai dengan etnis-etnis lain dalam berkomunikasi di masyarakat.

KERANGKA TEORI

Tulisan ini akan memfokuskan kajian tentang etnolinguistik, dalam hal ini penggunaan bahasa lintas etnis. Oleh karena itu, teori yang digunakan pun tidak akan jauh dari pembahasan mengenai etnolinguistik ini. Secara sederhana, etnolinguistik dapat dianggit sebagai kajian linguistik yang menyelidiki hubungan bahasa dan kebudayaan. Sehingga penulis akan memfokuskan tulisan ini seputar bahasa dan kebudayaan, yaitu bagaimana bahasa etnis Melayu di lingkungan Melayu Tengah digunakan. Tidak hanya oleh etnis Melayu itu jika berkomunikasi dengan sesama etnis mereka sendiri, tetapi juga dengan etnis lain di masyarakat tersebut.

Bagaimana hubungan bahasa dan kebudayaan misalnya dapat dilihat pada hasil penelitian Mahsun yang ia sampaikan pada pengukuhan gelar guru besarnya di Universitas Mataram 24 Januari 2009 lalu mengenai relevansi bahasa etnis Sasak, Samawa, dan Mbojo dengan kebiasaan hidup masing-masing masyarakat tersebut. Menurut Mahsun etnis Samawa memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan waktu, etnis Mbojo memiliki keterikatan dengan dimensi ruang, sementara etnis Sasak memiliki keterikatan dengan fenomena seribu masjid, seribu pencuri, dan seribu tuan guru yang oleh Mahsun dirangkumkan dengan teori penolakan kultur-nya (periksa Mahsun: 2009).

Syukur (1983: 73) mengatakan dalam setiap masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language code) dan cara-cara berbicara yang bisa dipakai oleh anggota-anggota masyarakat itu, yang merupakan repertoir komunikatif (communicative repertoir) masyarakat itu. Gumperz (dalam Syukur 1983) menambahkan bahwa variasi ini mencakup semua varietas dialek dan style yang digunakan dalam populasi sosial tertentu, dan faktor-faktor yang mengarahkan pada seleksi dari salah satu varietas itu.

Dengan demikian akan muncul suatu variasi baru dalam bahasa suatu masyarakat yang memiliki etnis yang beragam. Karena masing-masing masyarakat etnis membawa kode bahasa mereka masing-masing. Lalu, bagaimana membuat mereka bersatu?
Syukur mengatakan:

Dengan adanya berbagai varietas bahasa di dalam repertoir komunikatif masyarakat, dan berbagai subvariasi yang tersedia bagi subkelompok dan individu, para penutur haruslah memilih kode dan strategi interaksi untuk digunakan dalam konteks yang spesifik (1983:75).

Dari penjelasan Syukur tersebut disimpulkan bahwa harus ada pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat penutur bahasa yang heterogen tersebut. Dalam hal masyarakat Lingkungan Melayu Tengah yang multietnis, bahasa Melayu-lah yang digunakan. Karena bahasa ini mampu menyatukan berbagai etnis yang ada. Catatan tambahan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa perdagangan pada waktu itu. Jadi sudah begitu menyebar di masyarakat.

Selain itu, terdapat perbedaan-perbedaan penggunaan bahasa yang digunakan masyarakat etnis Melayu dalam berkomunikasi dengan masyarakat etnis lain di lingkungan tersebut. Misalnya saja jika berkomunikasi dengan masyarakat etnis Sasak mereka memiliki kecenderungan menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Sasak, tetapi dengan masyarakat etnis Cina, mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu atau bahasa Cina, misalnya. Semua itu dipengaruhi oleh faktor budaya dan bahasa yang berlaku di masyarakat itu. Untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam bagian Pembahasan.

PEMBAHASAN
Sebelum kita masuk dalam pembahasan penggunaan bahasa lintas etnis ini, penulis perlu memaparkan kondisi daerah objek penelitian penulis.

Sejarah Perkembangan Bahasa Melayu di Lingkungan Melayu Tengah

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dahulu Ampenan adalah Kota Pelabuhan. Hal ini tidak menutup peluang bagi kota tersebut mengundang secara tidak langsung pedagang-pedagang Nusantara untuk mencoba berniaga di sana. Layaknya sebuah kota yang menjadi pusat aktivitas dan perdagangan masyarakat maka bermunculanlah dari berbagai daerah pedagang-pedagang. Mulai dari pedagang keturunan Melayu, Cina, Arab, Bugis, Jawa dan daerah-daerah lainnya. Semua membawa serta bahasa tutur asli mereka. Sehingga sulit pula berkomunikasi dengan bahasa masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan bahasa pemersatu untuk berkomunikasi baik dengan sesama pedagang, maupun dengan pembeli dan suku asli daerah tempat mereka berdagang. Untuk menyatukan komunikasi dalam perdagangan tersebut kemudian disepakati penggunaan bahasa Melayu. Pertimbangan penggunaan bahasa Melayu adalah karena pada waktu itu bahasa Melayu merupakan bahasa niaga yang secara tidak langsung membuat banyak di antara pedagang tersebut menguasainya. Meskipun dalam komunikasi mereka masih tidak bisa dilepaskan dengan aksen-aksen dan beberapa kosakata bahasa asli mereka. Pedagang dari etnis Arab menggunakan bahasa Melayu Arab-nya, pedagang dari etnis Banjar dengan bahasa Melayu Banjar-nya, begitu pula dengan pedagang dari etnis Cina dengan bahasa Melayu Cina-nya (dalam masyarakat Melayu, bahasa Melayu yang digunakan oleh etnis Cina ini dinamakan dengan nama bahasa Melayu Rendah).

Kemudian dengan berkembangnya perdagangan di Ampenan ini, pedagang-pedagang ini juga secara perlahan-lahan ikut mendiami wilayah ini, termasuk Kampung Melayu. Di Kampung Melayu inilah bahasa Melayu terus berkembang dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu, tanpa campuran dengan bahasa lain.

Namun, keberagaman etnis yang menghuni Kampung Melayu ini ternyata tidak bisa diakomodasi oleh bahasa Melayu murni saja, sehingga mulailah dilakukan adopsi dan adaptasi bahasa-bahasa etnis di Kampung Melayu ini. Bahasa Melayu yang beragam ini memunculkan proses pijinisasi, yaitu campuran adopsi dan adaptasi bahasa Melayu, bahasa Sasak, bahasa Arab, bahasa Cina, dan beberapa kosakata bahasa yang mereka buat sendiri. Hal ini disebabkan oleh etnis Arab yang membawa pulang pengaruh bahasa di wilayah Batavia (Jakarta) setelah pulang berdagang dari wilayah itu. Namun, ternyata bahasa Melayu pijin ini menjadi terus berkembang sehingga menjadi jenis kreol di wilayah ini.

Sehingga secara tidak disadari sudah terbentuk bahasa Melayu pijin (mengutip istilah Sumarsono, 2005) di wilayah ini oleh kedatangan pedagang-pedagang tersebut. Selanjutnya menurut Sumarsono bahasa Pijin adalah salah satu jenis lingua franca yang disebabkan oleh penutur dengan latar belakang bahasa ibu yang berbeda, yang pada saat tertentu oleh kebutuhan sesaat memerlukan alat komunikasi, yaitu satu bahasa yang dijadikan dasar. Dasar inilah yang kemudian diubah, dikurangi, disederhanakan, dan ditambah dengan unsur-unsur dari bahasa-bahasa lain yang ikut terlibat (2005: 145-146 bandingkan dengan Chaer & Leonie Agustina, 2004: 131-132). Sedangkan Kreol adalah perkembangan lebih lanjut dari pijin, yakni setelah pijin itu memiliki penutur aslinya (Chaer & Leonie Agustina, 2004). Sehingga dapat disimpulkan bahwa di Lingkungan Melayu Tengah ini sudah berkembang bahasa Melayu pijin yang menurut penjelasan Chaer dan Leonie Agustina tersebut secara berangsur-angsur memiliki penuturnya sendiri sehingga pijin pun berubah menjadi kreol.

Setakat ini, bahasa Melayu kreol inilah yang menjadi begitu dominan di sekitar wilayah pantai Ampenan (yang dahulu juga merupakan daerah di sekitar pelabuhan Ampenan) sehingga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi masyarakat tersebut.

Ampenan dan Kampung Melayu

Menurut situs wikipedia.com (diunduh tanggal 25 April 2009), Ampenan adalah sebuah kecamatan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Daerah ini dahulunya merupakan pusat kota di Pulau Lombok. Di sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok (laut yang menghubungkan Pulau Lombok dengan Pulau Bali). Di kecamatan ini terdapat peninggalan kota tua karena dahulunya merupakan pelabuhan utama daerah Lombok. Di sini terdapat banyak kampung yang merupakan perwujudan dari berbagai suku bangsa di Indonesia di antaranya Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Arab, Kampung Bali dan lain-lain, sehingga masyarakat yang ada di sini bersifat heterogen dan rukun.
Kampung Melayu merupakan kampung yang terdapat di Kelurahan Ampenan Tengah. Sesuai garis politiknya, Kampung Melayu ini dibagi lagi menjadi tiga wilayah, yaitu Lingkungan Melayu Timur, Lingkungan Melayu Tengah, dan Lingkungan Melayu Bangsal. Pembagian ini didasarkan atas letak geografis mereka (untuk Lingkungan Melayu Timur dan Tengah) dalam lingkup Kampung Melayu tersebut. Khusus untuk Lingkungan Melayu Bangsal penamaannya disebabkan dahulu di wilayah tersebut terdapat bangsal yang dijadikan gudang dan pabrik oleh Pemerintah Kolonial Belanda (sisa bangunannya masih dapat ditemukan di sekitar wilayah ini).

Kondisi Masyarakat

Masyarakat di Lingkungan Melayu Tengah terdiri dari masyarakat yang multietnis. Di dalamnya terdapat masyarakat etnis yang mampu hidup rukun dan bekerja sama dengan baik. Etnis-etnis tersebut adalah etnis Sasak sebagai etnis mayoritas dengan persentase masyarakatnya 43 %, etnis Arab (20 %), etnis Banjar (15 %), etnis Palembang (10 %), etnis Jawa (5 %), etnis Cina (2 %), dan etnis lain (5%) yang menghuni daerah tersebut.

Ada keunikan tersendiri pada etnis Arab dan etnis Cina. Kedua etnis ini cenderung memilih untuk hidup berkelompok dengan sesama etnis mereka. Kecenderungan ini mungkin disebabkan karena etnis mereka yang merupakan etnis pendatang (luar Nusantara). Meskipun demikian, terdapat perbedaan juga antara pola interaksi masyarakat etnis Arab dengan etnis Cina dalam berinteraksi dengan masyarakat etnis yang lain. Walaupun hidup berkelompok, masyarakat etnis Arab masih dapat bergaul dengan masyarakat etnis yang lain. Sementara masyarakat etnis Cina melakukan isolasi total terhadap etnis-etnis yang berkembang di sekitarnya, kecuali beberapa orang di antara mereka. Perbedaan ini dapat disimpulkan disebabkan oleh faktor agama. Masyarakat etnis Arab meskipun merupakan etnis pendatang masih melakukan interaksi dengan masyarakat etnis lain didasarkan adanya kesamaan agama. Interaksi mungkin saja diawali dari pertemuan-pertemuan di masjid atau pertemuan-pertemuan pada acara keagamaan yang berkembang menjadi saling tegur sapa dan saling mengunjungi yang selanjutnya menimbulkan keakraban di antara masing-masing etnis satu agama ini. Hal demikian tidak dapat dilakukan oleh etnis Cina, selain berbeda etnis mereka juga berbeda jauh dalam agama. Sehingga pilihan terbaik bagi mereka adalah mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat. Pengecualian terhadap etnis ini adalah bagi mereka yang juga beragama sama dengan masyarakat mayoritas, yaitu Islam. Sehingga interaksi di ruang keagamaan menimbulkan kedekatan di antara mereka.

Masyarakat etnis Sasak, yang menjadi mayoritas dalam institusi sosial yang ada seharusnya mampu hidup dominan di lingkungan ini. Dominasi ini dapat ditunjukkan dengan dominasi aneka budaya kemasyarakatan seperti bahasa, kesenian, atau pola keteraturan masyarakatnya. Akan tetapi, hal itu tidak dapat dilakukan oleh masyarakat etnis Sasak. Meskipun merupakan mayoritas, masyarakat etnis Sasak masihlah menjadi minoritas dalam hal sumbangsih budaya dan pola-pola interaksi sosial. Tetapi budaya hidup komunal yang mereka miliki membuat mereka masih mampu bertahan dalam gempuran budaya-budaya yang berkembang dalam masyarakat heterogen tersebut.

Dominasi etnis Melayu dalam kebudayaan tidak bisa dibendung oleh budaya etnis Sasak. Sehingga berbeda dengan pendapat Mahsun (2009) yang mengeluarkan teori penolakan kultural untuk etnis Sasak sebagai bentuk penolakan mereka terhadap dominasi bahasa etnis luar (seperti etnis Bali dan Jawa), penulis mendapatkan masyarakat Sasak di wilayah ini justru takluk oleh kuasa budaya etnis Melayu. Tidak hanya dari segi bahasa yang menggunakan bahasa Melayu, tetapi juga segi-segi lainnya. Misalnya fenomena kawin curi yang “dilegalkan” dalam masyarakat Sasak tidak berlaku di wilayah ini. Karena tata cara adat kebiasaan prosesi perkawinan di Kampung Melayu ini tidak menunjukkan cara kawin curi, melainkan dengan melamar. Dan kesenian yang mengiringinya pun bukan gendang beleq atau kecimol sesuai adat Sasak, tetapi menggunakan hadrah, sesuai adat Banjar.

Dengan itu, masyarakat etnis Melayu, yaitu etnis Banjar dan etnis Palembang, memanfaatkan dominasi bahasa mereka untuk kemudian semakin menguasai dominasi budaya di wilayah ini. Hal ini dapat terlihat dari pengaruh-pengaruh yang diberikan hingga saat ini, seperti sumbangan bahasa Melayu, kesenian tarian hadrah, bancaan (syukuran untuk mendoakan seorang anak yang hanya dihadiri oleh sesama kanak-kanak saja), dan minuman yang diberi nama air pokak, yaitu minuman campuran air jahe, kayu manis, dan gula merah yang biasa disajikan ketika tahlilan atau acara syukuran.

Masyarakat etnis Jawa dan etnis-etnis lainnya di wilayah ini memilih mengambil posisi selayaknya masyarakat pendatang. Etnis ini tidak ikut campur ihwal budaya. Sehingga mereka pun tidak begitu banyak berperan dalam memberikan pengaruh terhadap budaya masyarakat.

Penggunaan Bahasa Melayu di Lingkungan Melayu Tengah

Pada hakikatnya, sebagai bahasa lingua franca, bahasa Melayu digunakan oleh sebagian besar masyarakat yang ada di Lingkungan Melayu Tengah ini. Tidak peduli mereka adalah etnis Melayu maupun etnis di luar itu (Sasak, Jawa, dan etnis lainnya). Karena bahasa ini sudah disepakati oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai bahasa dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Hanya saja, seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahasa Melayu memiliki dua variasi yang penggunaannya berbeda antara variasi yang satu dengan variasi yang lain, yaitu variasi bahasa Melayu dan variasi bahasa Melayu yang sudah menjadi kreol.

Variasi bahasa Melayu maksudnya variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat Lingkungan Melayu Tengah yang masih menggunakan bahasa Melayu dengan melakukan adopsi dan adaptasi dari beberapa kosakata etnis lain. Sementara variasi bahasa Melayu kreol adalah variasi bahasa Melayu yang meskipun masih berupa bahasa Melayu, tetapi sudah banyak terpengaruh bahasa-bahasa etnis lainnya sehingga ciri bahasa Melayu itu menjadi kabur, hanya saja masyarakatnya masih mengakui itu sebagai bahasa Melayu oleh karena itu bahas itu masih penulis namakan bahasa Melayu kreol.
Variasi-variasi ini dipengaruhi oleh faktor usia dan kesopanan. Misalnya bahasa Melayu kreol ini hanya digunakan pada usia remaja atau mereka yang merasa berusia sebaya dengan lawan tuturnya.

Perbedaan kedua variasi ini dapat dilihat dalam contoh di bawah ini.

Contoh 1
Misalnya:
A: Cik, ade uang di sane? Boleh pinjem lime ribu dulu buat belanje anak-anak sekolah?
B: Ade. Ayo, die suru(h,k) kemari ambil.

Artinya harfiahnya:
A: Bi, apakah bibi punya uang? Bolehkah saya memnijam uang lima ribu untuk belanja anak-anak?
B: Ada. Suruhlah dia mengambilnya.


Contoh 2
Misalnya: Artinya:
A: Hep, ade pulus ndak? Ana pinjem. A: Kawan, kamu punya uang tidak?Saya pinjam.
B: Kam? B: Berapa?
A: Amsalep. Buat beli dohan. A: Lima ribu. Untuk beli rokok.

….
Contoh 1 merupakan manifestasi variasi bahasa Melayu dan Contoh 2 merupakan contoh variasi bahasa Melayu kreol. Dari kedua contoh itu dapat dibedakan bagaiamana perbedaan variasi bahasa Melayu dan variasi bahasa Melayu kreol.

Tetapi, dalam penggunaannya di masyarakat, bahasa Melayu lebih banyak dan lebih luas digunakan oleh masyarakat. Sementara bahasa Melayu kreol (untuk membedakannya dengan bahasa Melayu) hanya digunakan di kalangan remaja dan untuk orang yang (dianggap) berusia sebaya dengan penuturnya saja.

Penggunaan Bahasa Antaretnis Melayu di Lingkungan Melayu Tengah

Dalam penggunaannya pada masyarakat pakai bahasa Melayu di Lingkungan Melayu Tengah, masyarakat etnis Melayu yang terdiri dari etnis Banjar dan etnis Palembang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi mereka sehari-hari. Pemakaian bahasa Melayu ini baik ketika berkomunikasi dengan sesama etnis Melayu (sesama etnis Banjar atau sesama etnis Palembang), maupun antarkedua etnis tersebut (etnis Banjar dengan Palembang).

Karena merupakan penutur bahasa Melayu, kedua etnis ini dalam berkomunikasi pun masih menggunakan bahasa Melayu. Perbedaan bahasa Melayu yang mereka gunakan tidak jauh berbeda disebabkan karena mungkin bahasa Melayu yang mereka kuasai sudah banyak berubah seiring lamanya mereka meninggalkan daerah asal mereka dan mendiami wilayah Kampung Melayu ini.

Penggunaan bahasa Melayu ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

A: Saban hari kau main bole, mandi pante. Kau pulang kalo sudah Magrib.
B: Mak ini sukanya ribut. Malu didenger same orang.
A: Biar! Aku Mak kau. Kau denger aku. Jangan suka bantah.


Apabila diindonesiakan, akan didapat arti sebagai berikut.
A: Tiap hari kamu pergi bermain sepak bola dan mandi di pantai. Kamu baru pulang kalau sudah Magrib tiba.
B: Ibu suka sekali ribut. Malu didengar oleh orang.
A: Biar! Saya ibumu. Kamu harus dengar saya. Jangan suka membantah.


Kutipan di atas adalah percakapan antara anak dan ibunya. Kutipan itu diambil ketika si anak dimarahi oleh ibunya karena pulang terlambat.
Dalam keluarga tertentu, yaitu keluarga yang masih bisa menguasai bahasa Melayu Banjar dan bahasa Melayu Palembang dengan baik, mereka terkadang memiliki kosakata khusus yang tidak dimiliki dan digunakan oleh masyarakat lain. Kosakata ini adalah kosakata yang memang asli berasal dari daerah asal bahasa mereka tersebut. Satu contoh yang sering penulis curi dengar dikeluarkan adalah puki maknye. Untuk kesopanan, penulis tidak mencantumkan artinya. Sebab, jika diartikan kalimat ini memiliki nilai sarkastis yang buruk.

Penggunaan Bahasa Etnis Melayu dengan Bahasa Etnis Lain di Lingkungan Melayu Tengah
Jika antarsesama etnis Melayu (Banjar dan Palembang) mereka menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi, tidak demikian halnya jika etnis ini berkomunikasi dengan etnis lain. Komunikasi dilakukan tergantung dengan siapa mereka berkomunikasi.

Jika lawan komunikasi mereka tersebut adalah masyarakat Sasak atau Arab (dua masyarakat etnis mayoritas), ada kemungkinan yang digunakan adalah bahasa Melayu dengan pertimbangan untuk kesopanan. Tetapi, jika lawan bicaranya tersebut tidak mengerti bahasa Melayu, maka kemungkinan kedua akan digunakan bahasa Indonesia. Jika dengan masyarakat Sasak, kemungkinan lainnya mereka akan menggunakan bahasa Sasak, dengan catatan bahwa masyarakat etnis Melayu ini bisa menggunakan bahasa Sasak. Begitu pula halnya jika dengan etnis Arab. Tetapi kemungkinan itu lebih kecil dibandingkan dengan etnis Sasak. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh faktor kedekatan mereka yang tidak berasal dari satu nenek moyang (etnis Arab adalah etnis pendatang) dan penguasaan bahasa yang kurang.

Dalam kutipan ini digunakan bahasa Melayu.

A : Kapan kau pulang?
B : Kemarin, Cik.


Beberapa kemungkinan yang akan muncul dalam komunikasi jika etnis tersebut berkomunikasi dengan etnis Arab atau Sasak adalah sebagai berikut.

Jika dengan etnis Arab Jika dengan etnis Sasak
A : Kapan kau rejak? A : Kapan uleq?/ Piran meq uleq?
B : kemarin, Cik (Bi). B : Wiq/ rubin/kemaren.


Sementara bila komunikasi tersebut dialihbahasakan kembali menjadi bahasa Indonesia, akan diperoleh hasil sebagai berikut.

A: Kapan pulang/ datang?
B: kemarin, Bi.


Khusus untuk masyarakat Sasak, mereka bisa saja tidak menggunakan bahasa Melayu ketika berkomunikasi antarsesama Sasak mereka. Sementara bahasa etnis Arab tidak demikian. Karena kebanyakan mereka adalah suku pendatang yang lahir dan besar di wilayah ini, kemungkinan mereka menguasai bahasa Arab cukup kecil. Oleh karena itu, jika berkomunikasi antarsesama mereka menggunakan bahasa Melayu dengan tambahan kosakata bahasa Arab adosi dan adaptif.
Sementara jika dengan etnis Jawa, kemungkinan besar mereka akan menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, meskipun demikian, masih terdapat sisipan kosakata Melayu di dalam penggunaan bahasa Indonesia tersebut.
Misalnya dalam kutipan berikut.

A : Sekolah di mana sekarang, Rahman?
B : Kuliah, Om, di Unram.
A : Ambil jurusan ape kau?
B : Jurusan Teknik.
….


Kutipan di atas adalah percakapan antara A yang merupakan etnis Jawa dengan B yang etnis Melayu. Meskipun mencoba berbahasa Indonesia, A tetap masih terpengaruh oleh bahasa Melayu yang sudah melekat di wilayah itu sehingga ia secara tidak menyadari menggunakan “Ambil jurusan ape kau”. Tulisan yang tercetak miring merupakan kosakata Melayu yang tidak sengaja digunakan oleh A.

Lain halnya jika masyarakat etnis bahasa Melayu ini bertemu dengan masyarakat etnis Cina. Kemungkinan untuk mengunakan bahasa Melayu teramat kecil kecuali ia sudah terbiasa bergaul dengan masyarakat luar. Tidak tertutup dalam komunitas mereka saja. Seperti penjelasan sebelumnya, komunitas ini selalu mengisolasi diri dari pergaulan etnis lainnya. Ini mereka buktikan dengan mendiami pinggir wilayah Kampung Melayu ini. Sehingga kemungkinan untuk bergaul dengan komunitas masyarakat yang ada sangat kecil. Dengan demikian, penguasaan mereka terhadap bahasa Melayu juga sangat kecil. Kecuali jika mereka bersekolah dengan masyarakat lain yang sebagaian besarnya penutur bahasa Melayu. Ia harus menyesuaikan diri dengan bahasa Melayu itu. Sehingga dengan tidak disadari ia sudah mampu menuturkan bahasa Melayu itu.

Namun, masyarakat etnis Cina tetap menggunakan bahasa Cina atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi antarsesama etnis mereka. Semua itu tergantung dari pemakaiannya dan tergantung pembiasaan keluarga mereka.

SIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.

a. Persebaran bahasa Melayu begitu luas menyebar sampai ke wilayah Barat dan Timur Indonesia. Bahkan persebarannya itu sampai juga ke wilayah Ampenan di Lombok, khususnya Lingkungan Melayu Tengah yang masih menjadi bagian Kampung Melayu yang hingga kini menggunakan bahasa Melayu itu sebagai lingua franca mereka.

b. Penggunaan bahasa Melayu di lingkungan antaretnis Melayu di Lingkungan Melayu Tengah masih berjalan hingga kini.

c. Penggunaan bahasa etnis Melayu dengan bahasa etnis lain di Lingkungan Melayu Tengah berbeda-beda, hal ini tergantung etnis lawan bicara masyarkat etnis Melayu tersebut. Misalnya, ketika berhadapan dengan etnis-etnis yang sudah mapan di daerah tersebut seperti etnis Sasak dan etnis Arab, mereka menggunakan bahasa Melayu yang sudah mengalami proses Pijinisasi. Sedangkan jika berhadapan dengan masyarakat etnis yang jumlahnya sedikit dan belum begitu kuat campur tangan budayanya di daerah ini seperti etnis Jawa dan etnis Cina, mereka menggunakan bahasa Melayu dan atau bahasa Indonesia (sebagai bahasa pemersatu).


BIBLIOGRAFI
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Collins, James T.. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat (Alih bahasa Alma Evita Almanar). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: tahapan strategi, metode, dan tekniknya (edisi revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
_______. 2009. Linguistik dan Studi tentang Kemanusiaan: Orasi Ilmiah dalam Rangka Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Linguistik. Universitas Mataram.
Masinambow, E. K. M. dan Paul Haenen. 2002. Bahasa Indoensia dan Bahasa Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Novianti, Evi. 2009. Ada Portugis di Indonesia. Diunduh tanggal 25 April 2009. di situs www.borneotribune.com/pendidikan/ada-protugis-di-indonesia/html.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
¬¬_______. 2005. Sosiolinguistik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, Abd..1983. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Comments :

0 komentar to “PENGGUNAAN BAHASA ETNIS MELAYU DENGAN ETNIS LAINNYA DI LINGKUNGAN MELAYU TENGAH, AMPENAN”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine