Rabu, April 29, 2009

Cahyani

Luruhkan semua yang tersiak. Biarkan saja masuk hingga ulu ini menancapkan sakit tertinggi pada tahta hati. Sampai kepada kaki-kakiku tertatih membabat asmamu yang berserak. Safari luka-lukaku.

/1/
Cahyani. Begitulah ia dinamakan oleh orang tuanya. Aku tak tahu mengapa ia bernama begitu. Dan saat kutanya dijawabnya juga dengan gelengan, “Itu urusan orang tuaku. Aku tidak ikut campur pada waktu itu.” Bagiku itu hanya kelakar saja. Karena bagaimana mungkin ia akan ikut turut mendiskusikan nama dirinya? Untuk memberikan wangsit pun ia tak mampu. Kecuali menangis dan memejamkan mata sebagai reaksi terkuat yang ia mampu lakukan waktu itu.

Tetapi matanya melotot saat aku menertawainya. “Bukan kelakar?” tanyaku. Kutatap wajahnya. Masih polos juga. “Baiklah,” ujarku,” Bisa kita alihkan pembicaraan lagi? Tentunya matamu jangan melihat seperti itu,” selorohku karena melihat ekspresi pada matanya tak juga mereda. Aku tahu itu bukan canda. Namun setiap orang bisa bekerja sama. Ia melunak.

Pupil matanya kembali selebar biasa. Aku mampu mengatur suasana. Saatnyakah? Sepertinya tidak. Aku harus mengulur waktu kembali. Menunggu rupanya menjadi musuhku. Momentum tak pernah hinggap. Dan akhirnya terampas oleh kejamnya suara bel waktu masuk yang berbunyi: Teet. Teeet. Teeeett!!!

Asaku sekarat. Harus menunggu esok hari. Tetapi tidak bisa. Aku harus cepat. Terlambat, sama dengan bunuh diri pelan-pelan. Siapa yang dapat menahan ambisi dirinya?

/2/
“Kita keluar saja dari pembicaraan ini. Aku ingin mengajakmu berbicara menurut alurku.”

Aku tak mampu menahan diriku untuk bicara langsung. Setelah delapan tahun tanpa mengenal kembali naluri masing-masing. Kucium baunya tak seperti dahulu. Ada kedewasaan yang aku takut untuk menyentuhnya.
“Tentang kisah yang sudah lama itu, aku ingin kita menyelesaikannya,” lanjutku.

Cahyani diam. Dahinya berkernyit seolah membayangkan matematika tersulit yang belum dapat ia pecahkan soalnya. Tapi aku tidak mau membiarkan waktuku terbuang lagi oleh entah. “Saat kelas 6 dulu,” kataku membuyarkan garis-garis kecil yang berderet di keningnya. Kau telah membuang cantikmu.

Ia menerawang. Mengatur sedikit napasnya. Kita sudah begitu jauh menyimpang.
“Kau masih mengingatnya?” Ia menghela napasnya. Jengah.
“Bukan hanya ingat, aku tak bisa melupakannya.”
“Mengapa tak melupakannya?”
“Seandainya bisa, ucapku. “Namun, kalaupun bisa, aku akan merugi.”
“Karena kehilanganku?”
“Seharusnya. Tetapi tidak. Kehilangan seseorang bagiku tidak akan mempengaruhi seratus orang yang aku cari. Tetapi dengan kehilanganmu, aku akan mengubur semua karya-karyaku.”
“Lakukan saja apa yang kamu mau.” Kalimat terakhir. Ia melambai ke arah seorang wanita berkaus hijau. “Temanku sudah datang. Datang saja malam ini. Itu pun jika kau mau.”

Kucoba mengurai kembali semua yang sudah terjadi. Tentang dia terhadapku. Tapi ini bukan tentang emosi—aku tak mau melankolik saat ini. Ah, dilematis. Aku tak bisa melupakan itu jika bertemu dia.

Harus. Satu kata yang memapahku untuk berjalan pulang dan menyusun rencana. Kata-kata terbaik yang harus aku katakan. Tentang mereka-mereka yang mendukungku. Atau tentang anak-anak kecil yang tertawa manis di hadapan kita—aku dan Cahyani. Kelak.

Tapi aku ingat dosa-dosaku. Dua hari aku menutup diri. Telepon darinya menggentayangiku. Aku coba pekak. Tak kusangka sedalam ini racun itu masuk.
Saat kelas enam dulu.
Saat itu.
Haruskah itu menjadi penyulutku untuk tiarap dari tujuku? Menghadapnya.

/3/
Setelah merasa yakin sembuh dari dosa-dosaku, aku kembali mencoba melafazkan namanya. Nama itu menggaung di ruang kamarku. Bersama kepengapan ia keluar melalui ventilasi. Dan akhirnya terbang bersama angin. Ia masih segar dalam tubuhku. Niatku mantap. Aku akan menemuinya. Akan kutuntaskan niatku yang tertunda dulu. Kali ini tiada kesalahan. Musti.

Pintu rumahnya seolah tiada hendak bertegur sapa denganku. Aku tak percaya pertanda. Kubuka sendiri gerbang pintunya. Aku rasa, pasir di rumahnya masih ingat wajahku. Setapak-setapak kakiku masuk mengeja sejengkal demi sejengkal pekarangan rumahnya. Cahyani. Haruskah takut? Aku sudah diujung tanduk. Tak ada pilihan. Aku tak bisa mundur. Kukuatkan diriku dengan menimbang-nimbang kisah Iskandar Zulkarnaen yang membakar perahunya ketika di Spanyol dahulu. Aku bukan pecundang yang lari dari perangku.

Baru saja tanganku hendak mengetuknya, pintu itu membukakan dirinya. Salam itu menerobos pintu tepat mengenai wajahnya. Di depanku, wajah Cahyani. Berhadap-hadapan. Aku dengannya. Tak ada yang bicara. Kami masih mampu membaca diri masing-masing…. Saling mengerti.

Dan sudah kuputuskan, ini menjadi pertemuanku yang terakhir dengannya. Ia menoleh padaku. Aku tak menghiraukannya. Angin itu pun lenyap. Darah kembali terasa hangat dalam aortaku. Berdesir. Aku melewatkan waktu. Dengan gontai kupijak aspal di jalan berdebu.
“Aku akan kawin.”
Aku menatapnya lebih dalam, serasa masih memiliki peluang.
“Jawa.”

Kata-kata itu seakan terus berdengung memenuhi kepalaku.
Luruh. Anak-anak yang tersenyum. Keriuhan yang menarik. Kata-kata yang dieja. Pencarian tanda-tanda. Aku masih membayangkannya. Buku-buku yang dibuka. Dan pertanyaan-pertanyaan lucu khas anak-anak. Aku menelan pahitnya.
Aku kehilangan momentum.

Kugali kembali dosa-dosaku. Kembali bersafari dengan luka-luka.
Saat itu.
Saat aku… menamparnya. Cahyani.
Tapi, bukan itu.
Aku ingin membicarakan tentang kita. Tentang rencana membuat rumah belajar untuk anak-anak yang mengemis di pasar. Ketika kau tuang koin ke kantung saku mereka. Seratus. Seratus…. Senyum yang mengembang dari bibir mereka.
“Terima kasih.”

Untuk Cahyani, mengenangnya. Mendoa bahagianya.
Ardian, April 2009

Comments :

0 komentar to “Cahyani”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine