Senin, April 13, 2009

Tentang Bulan yang Masuk Ke dalam Kolam

Mengecap pahit Situ Gintung
Makanlah. Ia menderap luka itu dengan langkah-langkahnya. Sebelum subuh? Pertanyaan itu kembali bergema. Aku tak hendak keluar. Mereka belum lagi terjaga. Namun, ini adalah perintah. Subuh telah menguap pada ranting-ranting pohon. Kenapa tak kau kantungi matahari? Sebelum itu, kupu-kupu telah lebih dulu hinggap di pelupuk mata rembulan. Bintang masuk dalam kolam. Ia tak muat di dalam. Sebentar saja. Malam dan subuh berseteru menjambak-jambak rencana. Jangan biarkan bintang itu masuk. Aku adalah sutradaranya. Kau selalu tak mau kalah!
Sepi menggarap tubuh malam. Lafazkan aku syair-syair Elliot. Aku tak pernah menghafalnya. Ada dingin yang menyergap. Kalau begitu tuangkan kopi sebagai teman jaga kita. Air sudah jatuh ke danau. Kenapa tak kau timba? Di sana ada rembulan. Ah....
Ceritakan aku tentang bulan yang ingin memotong tubuhnya sendiri itu. Kapan aku pernah mengatakan? Sebagai dongeng pengantar tidurku. Tapi kita harus berjaga. Aku tak akan rebah. Anak kecil tak boleh dengar. Kalau begitu ceritakan aku tentang air yang ingin naik itu. Tapi itu adalah satu rangkaian. Kalau begitu ceritakan saja seluruhnya biar orang juga mendengarnya. Kenapa kau berkeras? Kenapa kau selalu bertanya? Kenapa tak cerita saja? Kenapa kita harus mengacau malam dengan cerita-cerita? Kenapa sampai air itu naik!? Kenapa kau ingin tahu? Kenapa aku tak boleh tahu? Kenapa harus muncul begitu banyak kenapa dalam percakapan kita? Kenapa aku tak boleh tahu? Karena tak semua kenyataan harus diketahui. Kenapa kau tak sembunyikan saja sebelumnya? Karena ia bukan lagi sebagai rahasia. Kalau begitu mulakanlah.
Angin melayap di kegelapan.
Syahdan kolam itu dimasuki rembulan yang bersembunyi dari penyihir. Ia menantang kutukan. Tapi kutukan itu mengejarnya hinggga ia harus berlari ke bumi? Tapi, mengapa ke kolam itu? Ia sudah tidak bisa bersembunyi. Ceritakan aku kenapa? Apa semua kisah mesti memiliki sejarahnya? Karena semua adalah bagian dari sejarah. Tapi aku bukanlah seorang arkeolog. Bukankah kau sejarawan? Aku menulis cerita. Kau tak harus sebagai penyair. Kalau begitu aku akan memotret kata-katamu. Muntahkanlah biar ia nampak.
Kata-kata itu keluar meluncur sendiri. Masnawi. Rummi. Sebuah rencana.
Air di kolam itu terus berenang menjauh. Bulan ingin memasukkan tubuhnya ke dalam kolam. Tapi kolam tak sebesar tubuhnya. Kenapa bulan memaksa? Bulan tidak memaksa. Tapi rembulan jahat. Kenapa kau menuduhnya? Aku tak menuduh. Lalu? Hanya mengatakan pendapatku. Senandika? Boleh, jika kau mau. Lalu, bagaimana bulan itu mencukur tembok? Ah, tidurlah.
Masuklah. Selimut itu sudah mengais-ngais kakinya. Kaki polos itu berjingkat-jingkat bertelekan pada angin.
Aku ingin kau menyenandungkan lullabi. Tapi kita masih harus berjaga. Kurasa cukup untuk hari ini. Matahari telah mengintai dari ketiak gunung. Tak ada yang mesti dijaga lagi. Rembulan bisa saja berdiri, naik, lalu pergi dari kolam itu. Ia sudah mati. Ia beku kedinginan. Setelah dingin ia akan mencair. Dan lesap dari hadapan kita. Kau terlalu berprasangka. Ayo nyanyikan aku lullabimu. Tak ada untuk hari ini. Sebelum bulan muncul esok hari. Tapi rembulan sudah redup. Ia tak redup. Ia masuk ke dalam kolam. Sinarnya dihisap habis sang kolam. Kita masih punya senter. Senter tak cukup menyinari. Aku punya aki penyinar asa-asaku. Tapi kita butuh sejuta aki untuk membangunkan rembulan? Kalau begitu pecahkan saja matahari. Ia terlalu rakus memakan sinar. Ia begitu kuat. Lagipula tak ada Obelix. Kenapa kau memanggil orang-orang Romawi? Ia tak begitu kuat untuk membopong rembulan naik dari kolam. Kalau begitu panggilkan aku orang-orang Inca atau hantu pelaut Flying Dutchman. Kita tak sedang menjadi perompak, bukan? Tapi kau membuatku mengingat seseorang. Kau masih saja melankolik.
Ah, jangan terlalu banyak membual. Kenyataan tak pernah selesai hanya sampai di mulut. Ia muncul dan nampak di hadapan kita. Tepat di depan kita. Sehingga kita percaya bahwa itulah kenyataan. Dan ketika kenyataan telah datang? Kita tak bisa lagi berbuat apa-apa. Lalu? Kita akan termakan oleh alasan-alasan yang kita buat sendiri. Aku tak ingin itu. Kalau begitu, tidurlah.
Lihatlah air di sana telah menyusut. Lihat. Air kolam sudah menyusut. Ia memperkeras intonasi suaranya. Rembulan itu terlalu haus. Tidak, ia tak meminumnya. Ia hanya mengalirkannya. Mengapa orang-orang berlarian. Karena bulan memasukkan air itu ke tiap-tiap rumah di Situ Gintung.
Sekarang aku mau tidur. Aku belum selesai. Aku tak ingin bertanya lagi. Kenapa? Kenapa kau bertanya? Kenapa kau tak mau mendengar ceritaku. Sudahlah aku masih kecil. Tapi kau harus tahu. Demi masa depanku pasti? Ya. Aku sudah mengubur masa depanku saat air itu menyeret orang tuaku. Cahyani!

Comments :

0 komentar to “Tentang Bulan yang Masuk Ke dalam Kolam”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine