Sabtu, April 11, 2009

Catatan 9 April 2009

prolog
Telah tercatat hari ini, di lembar-lembar zaman yang kita menyaksikan kata-kata mucrat. Telah tertempel kini di surat-surat suara, karangan bunga untuk kebajikan yang telah terkubur bersama kotak-kotak wadah suara itu nyemplung. Kini hanya ada pribadi-pribadi yang melanjutkan mimpi memperkaya diri sendiri.

Telah tercatat hari ini, dalam surat suara hati nurani. Kami menghitung satu huruf dari kata-kata yang keluar itu. Tasbih suci untuk bekal kami lima tahun menggadang mati. Tetapi, hujan liur dari bibir-bibir orang-orang suci menghapuskan catatan kami itu, di saat cat huruf itu masih basah. Sehingga raiblah catatan kami. Pun otak kami tak mau memikirkannya lagi. Sehingga tak bisa lagi kami akan menagih mereka bunga-bunga yang ingin mereka tanam di taman negeri kami. Dan langit masih bergeming. Kami tak bisa pasti.

Transaksi
Sementara orang yang bersemedi di bilik suara itu senantiasa menanti-nanti apakah benar suara yang ia jual dengan beras lima kilo akan terlunasi oleh dosanya yang telah pasti. Butir-butir beras terus masuk ke dalam perutnya, perut anak-anaknya. Perut. Cucunya yang tidak tahu itu—yang dapat nguping dengar suara negosiasinya dengan penjaja barter suara—beras. Beras-beras itu terus bertumbuh di dalam perutnya. Menjadi padi. Perut itu menjadi lumbung usahanya. Ia menjual setiap padi yang ia panen dari beras yang ia tanam di perutnya. Tetapi ia semakin kurus saja. Karena pajak setorannya harus ia bayarkan kepada dia si penjaja tadi.

Di bilik
Dan ketika ia membuka satu demi satu lembaran kertas putih itu. Ia melihat berbagai warna. Tak kenal ia siapa. Ia hanya disodorkan ratusan nama. Dengan satu buah senjata pulpen berwarna yang harus ia bubuhkan tintanya pada nama-nama berwarna. Kita tidak sedang tebak-tebakan warna. Bukan puzzle di taman kanak-kanak. Dan tak bisa sambil mata terpejam mendapat wangsit memilih yang paling benar. Sehingga ia membiarkan saja tangannya menunjuk semaunya.
Solitude.
Senandika.

Terlambat
Masih dibukakah pasar togel?
Ia terlambat karena mengantar istri yang tengah sakit. Di rumah sakit nyawa istrinya ia gadai. Demi datang ke kamar kecil tempat tisu WC-nya tersimpan. Tapi ia tidak boleh sembarang masuk lagi. Harus antri.
+ tapi aku mau beli togel?
- daftar dulu!
+ tapi aku terlambat. Dan aku buru-buru.
Orang terlambat tak boleh sentuh kertas ajaib. Besok saja pada undangan sekali lagi. Atau tunggu lima tahun lagi.
+ tapi aku sudah gadai istriku!
Mereka saling berpandang-pandang saja. Dan ia membiarkan kertas-kertas itu tertumpuk lagi. Meninggi. Tanpa sempat bersuara lagi. Ia pergi. Tanpa menoleh lagi pada kertas yang tertumpuk itu.

Istrinya meronta di ranjang. Meminum racun.
Sementara suaminya kembali bertanya-tanya kenapa ada hari seperti ini.

Insaf
Yang mesti dingatkan kepada kami adalah: setelah sembilan April dua ribu sembilan ini, kami tidak tahu apa-apa lagi kecuali dosa kami yang tidak memilih dengan setulus diri.

Kemenyan
Penghitungan.
Mari bakar kemenyan.

Ardian pada Sore Pemilu, 9 April 2009

Comments :

0 komentar to “Catatan 9 April 2009”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine