Rabu, April 15, 2009

Panjat Pinang, Gaya Hidup Elit Politik Kita


Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Terkadang kita bisa melihat sesuatu yang besar dari sikap kita memandang sesuatu yang kecil. Kehidupan berbangsa dan bernegara elit-elit politik kita pada masa ini pun dapat kita lihat dari hal yang kecil.

Seorang anak dengan bertelanjang dada mendongak. Di atasnya tergantung secara melingkar beragam bungkusan-bungkusan menarik. Ada uang, baju, celana, sarung, mainan anak-anak, seragam sekolah dalam bungkusan itu, dan bungkusan-bungkusan lainnya. Ia tertarik untuk mengambilnya. Tapi untuk itu, ia mesti berhadapan dengan musuh yang begitu angkuh. Sebuah tiang. Sebenarnya tidak sulit jika yang dihadapi hanya sekadar tiang. Tetapi ini adalah tiang dengan tubuh yang habis dilumuri pelumas. Jika mencoba memanjatnya akan begitu sulit karena efek licin yang ditimbulkan oleh pelumas itu. Ia memandang sekitarnya. Teman-temannya yang lain telah banyak bertumbangan. Lebih jauh lagi teriakan-teriakan yang terdengar menyoraki namanya adalah lecutan baginya. Suara penonton itu adalah dukungan tulus mereka. Seolah sebagai pahlawan, ia mencoba memanjat. Dipeluknya tiang itu. Seperti pegulat ia bertarung hingga muncul garis-garis urat dari kulitnya yang kecokelatan dan belepotan. Ia mencoba mengambil ancang-ancang. Sekali hentak, ia dapat naik lebih tinggi. Tetapi, ketika sampai di tengah, ia tak dapat menahan tubuhnya yang terasa ditekan-tekan ke bawah oleh pelumas yang menempel pada tiang kayu angkuh itu. Ia terjatuh. Kemudian bergiliran lagi orang lain mencoba. Hingga lima orang setelahnya ternyata tidak bisa juga ada yang mampu menaklukkan tiang kayu itu.
Bergulat. Terjatuh. Bangun. Mencoba lagi. Namun jatuh lagi. Begitu sering kita menyaksikan hal demikian. Itu memang bagian yang tak akan pernah hilang dari panjat pinang sampai ada yang berhasil mendapatkan hadiah. Tepatnya sampai hadiah yang tergantung di puncak kayu pinang itu habis diambil.
Ya, begitulah permainan panjat pinang sulit, aneh, tetapi menyenangkan. Jika sudah keasyikan malah orang tidak berpikir lagi untuk mendapatkan hadiahnya, tetapi penasaran untuk menaklukkan kayu yang menjulang itu.
Dan mungkin dahulu di antara kita—saya dan Anda pembaca budiman—pernah mengalami atau paling tidak melihat permainan panjat pinang itu. Permainan ini cukup tenar dan meraih kejayaannya pada hari-hari mendekati tujuh belasan. Permainan masa kini seperti game-game berteknologi canggih, ponsel, atau internet tidak bisa mengalahkan kuatnya pengaruh yang ditawarkan oleh panjat pinang jika sudah memasuki “musimnya” itu. Saya sebut musim karena kebiasaan kita menggemari segala sesuatu secara musiman membuat kita sering mengelompokkannya menjadi musim-musim tertentu. Misalnya bermain layang-layang pada musim kemarau atau ketika angin sedang baik. Dan panjat pinang mendapatkan jatahnya pada saat perayaan tujuh belas agustusan, perayaan untuk memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia. Biasanya dalam hari itu, masyarakat mengadakan berbagai lomba-lomba sederhana dan merakyat. Dan yang mendapat perhatian paling banyak dari sekian lomba itu salah satunya panjat pinang.
Tetapi, saya justru tertarik melihat permainan panjat pinang ini bukan sebagai permainan semata. Saya melihat lebih kepada relevansinya dengan kehidupan politik elit-elit bangsa ini. Nnilai-nilai yang terkandung dalam panjat pinang ini relevan dengan suasana politik yang kini tengah kita alami. Apalagi kini sedang musimnya pesta demokrasi. Semua tempat seolah disulap menjadi “warung demokrasi”. Pembicaraan selalu menyerempet ke arah politik.
Mengenai relevansi antara panjat pinang dengan elit politik ini dapat kita lihat dari permainan tersebut dengan panggung kampanye pemilu. Kita analogikan saja kini panjat pinang adalah pemilu. Hadiahnya adalah kursi legislatif yang diincar para caleg. Kayu itu adalah jalan untuk meraih hadiahnya. Meskipun jalan itu memiliki tantangannya karena dilumuri minyak pelumas. Dan ketika tengah memanjat itu, orang bisa melakukannya sendiri secara lurus atau berlaku curang dengan menarik bahu temannya yang akan sampai pada hadiah yang diinginkan. Bisa juga mereka berkelompok dan bekerja sama. kemudian hadiahnya dibagi-bagi, meskipun hanya satu yang akan diakui sebagai pemenang. Dan begitu juga cara calon legislatif itu berusaha untuk menjadi pemenang agar meraih kursi legislatif. Mereka dapat saja dengan sportif bersaing. Tetapi tidak menutup cara-cara curang yang mencederai nilai-nilai moral etis seorang manusia, misalnya money politics, black campaign, atau menjelek-jelekkan calon legislatif lain. Sedangkan opsi ketiga tadi lebih dikenal sebagai koalisi dalam istilah politiknya. Dan saya rasa hal-hal di atas tidak akan jauh beda dengan pemilu presiden pada Juni nanti. Sejauh ini, hal demikian sudah bukan rahasia lagi bagi kita.
Hal lain lagi dari panjat pinang bagaimana sisi negatifnya dapat mengungkapkan kehidupan politik bangsa ini. Ketika mencoba memanjat, pastilah orang yang di atas akan menindih orang yang di bawahnya. Dan selalu yang di bawah adalah orang yang tersakiti. Begitulah pula kehidupan berpolitik kita kini. Para calon legislatif ketika terpilih akan menginjak yang di bawahnya yaitu rakyat yang notabene adalah pemilihnya. Dan tidak ada timbal balik rasional kecuali kesadaran kitan bahwa transaksi antara keduanya adalah perlambangan dari ketergantungan yang dalam istilah biologinya sering disebut sebagai simbiosis komensalisme.
Paparan analogi tersebut saya rasa cukup jelas menggambarkan bagaimana panjat pinang adalah juga bagian dari kehidupan bangsa ini. Nilai-nila yang terkandung di dalamnya secara tidak langsung sebenarnya mencerminkan sesuatu yang seharusnya darinya dapat kita pelajari banyak hal yang sebenarnya patut kita renungkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan lanjutkan kembali cerita di awal tulisan ini.
Kemudian dari sekian orang yang terjatuh itu berkumpullah mereka membentuk barisan meninggi. Yang tertua dan yang paling kekar badannya berada pada posisi paling bawah. Diikuti oleh yang lebih kecil hingga anak kecil yang mendapat jatah paling atas karena paling ringan. Dan tak berapa lama, kayu pinang, tiang yang angkuh itu berhasil ditundukkan. Hadiah mereka bagi rata. Itulah yang dinamakan kerja sama.
Namun, satu pesan tersirat yang sebenarnya ingin saya sampaikan dari epilog ini. Biar bagaimanapun bangsa ini diombang-ambingkan oleh masalah, dengan keluguannya ia masih percaya terhadap generasi mudanya. Bangsa ini tak pernah habis untuk memberikan kepercayaan kepada generasi muda untuk memimpin bangsa ini ke arah perubahan yang lebih baik.
Lihat saja panjat pinang!
Dan bahwa kerja sama itu harus dibangun oleh berbagai kalangan, dalam hal panjat pinang dari ukuran fisik yang besar sampai yang kecil dan usia dari yang tua hingga yang muda. Itu adalah koalisi terbaik dan kombinasi paling bijak.

Comments :

0 komentar to “Panjat Pinang, Gaya Hidup Elit Politik Kita”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine