Rabu, Maret 11, 2009

Barisan Kita

Oleh; Ardian

Kita adalah para tawanan. Kita menjadi rampasan perang negara kita sendiri. Ingatkah kalian kawan-kawanku yang ku tak sudi mengawani, bahwa perang telah selesai berkecamuk. Dan kita semua sudah menjadi tawanan kini. Tawanan oleh musuh yang kita angkat sediri menjadi pemandu kita. Bagaimana mungkin kita memilih pemandu yang menjadi musuh kita juga? Kita akan masuk lubang perangkap yang besar. Kita akan saling tuding dan saling makan. Tumbuhkan sendiri kanibalisme itu.
Hitung-hitunglah umur kita kini. Di depan kita telah berkacak pinggang sebuah raksasa dengan godam besar yang siap meremukkan tulang-tulangmu yang keras hingga lebur. Dan teman-teman yang juga menunggu giliran untuk dileburkan itu akan medengarkan pesan terakhirmu. Sebuah penyesalankah? Sebuah doakah? Sebuah penghujatankah? Atau sebuah kepasrahan tanpa pernah sekali pun mengeluarkan kata-kata yang sudah menjadi tiada arti itu?
***
Sebuah kertas itu pun robek. Entah siapa yang telah menulisnya. Tetapi orang tiada pernah terpikirkan untuk membukanya. Kertas itu sudah koyak. Beberapa kali ia digilas mobil. Berapa kali ia menjadi bungkus nasi sarapan pengemis-pengemis miskin. Tak ada orang yang mau membacanya. Ketrtas itu pun basah bersama hujan yang mengguyur tempat kertas itu tergeletak. Mandi lumpur kini ia. Sebuah manifesto mungkin, tapi tak kena siapa pun. Akhirnya hanya sebuah kertas yang tersia-siakan. Hanya kertas biasa yang terkena goresan tinta sehingga menjadi tulisan-tulisan yang lucu juga kelihatannya. Aku menjai geli melihatnya karena tulisan itu ditulis dengan sebuah pengharapan besar untuk dibaca oleh orang banyak. Sebagai penawar atas sebuah candu yang sudah menggerogoti tubuh, sebuah sindrome akut. Kini ia hanya bekas pemikiran yang tak pernah mempengaruhi orang lain. Hanya kertas tak berharga.
Di rumahnya sang penulis mengatur strategi baru untuk mempengaruhi kembali para manusia-manusia yang sudah bukan manusia lagi. Pemikiran yang sudah bulanan umurnya tak pernah tergubris oleh orang lain. Sebuah pengharapan sebenarnya ada dalam tulisan itu. Sebuah tulisan pemersatu untu kmenjadi seorang pemberontak segala kemunafikan yang telah sama-sama mereka beli bibitnya dan mereka tanam sendiri di pekarangannya.
Kemunafikan itu kini sudah tumbuh subur di pekarangan-pekarangan urmah. Bahkan sudah didewakan dan disembah-sembah oleh pemilikna. Sesajn berbakul-bakul tergeletak di depan pohon munafik itu. Entah bagaimana tumbuhnya, tapi satu yang perlu diingat bahwa tempat it adalah tempat ajaib yang banyak orang ingin memilikinya. Karena ia memiliki sebuah kelebihan yang tidak bisa dimiliki oleh daerah lain: tongkat dan batu dapat menjadi tanaman . Kesuburannya tak ada yang dapat menandingi.
Oleh karena it perang selalu berkecamuk di daerah itu. Tak ada kata damai dan tentram karena penghuninya pun tak menginginkan akan adanya kedamaian itu. Mereka lebih suka hidup dalam keributan-keributan kecil yang mereka peruncing sendiri sehingga menjadi pereistiwa besar yang harus diselesaikan dengan senjata. Karena senjata menunjukkan kejantanan dan juga kebetinaan.

Comments :

0 komentar to “Barisan Kita”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine