Jumat, Maret 06, 2009

Laskar Pelangi dan Makna Profesionalisme Guru

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan*)

Guru kini kerap menjadi perbincangan menarik di media. Isu sertifikasi guru juga menambah hangatnya pembicaraan ini. Namun, isu sertifikasi guru sendiri hanya membahas ranah yang rawan bagi guru, tunjangan guru. Isu profesionalisme yang seharusnya menjadi permasalahan utama menjadi tersingkirkan. Memang kita harus memaklumi hal tersebut. Bagaimana bisa profesional jika guru sendiri tidak mendapat penghidupan yang layak?
Namun perlu diingat. Bagaimanapun, guru adalah seorang pengajar. Ia memiliki tanggung jawab yang besar di mata manusia Indonesia. Ini belum dimasukkan pandangan orang tua yang menganggap bahwa guru adalah orang yang bertugas mendidik dan mengajarkan anak. Sementara orang tua hanya bertugas melahirkan dan membesarkannya saja.
Pemahaman tentang profesional yang dimaksud dalam UU Nomor 14 tahun 2005 juga masih simpang-siur. Bagaimana profesionalisme bisa diukur dengan lembaran ijazah atau sertifikat? Sementara dedikasi dan lama mengajar masuk dalam hitungan belakang?
Seorang guru lulusan SPG pernah mempertanyakan masalah ini. “Saya lulusan SPG. Dari namanya saja sudah jelas saya memang dididik untuk menjadi guru. Lalu, untuk apa saya harus melanjutkan pendidikan saya lagi agar profesional? Sementara saya sudah tua.” Guru itu berusia sekitar 50-an tahun. Jika menghitung usia seorang pegawai negeri sipil, ia hanya memiliki jatah sekitar sepuluh tahun saja untuk mengabdikan diri. Akankah hal demikian masih kita paksakan untuk seorang guru yang sudah mendedikasikan dirinya demi pendidikan selama hampir separuh hidupnya?
Permasalahan guru yang cukup kompleks ini akhirnya menyebabkan guru harus memilih. Di satu sisi pemerintah mengharapkan guru menjadi seorang profesional. Sedangkan guru juga menginginkan kelayakan hidup (ekonomi terjamin). Guru pun akhirnya memilih menghadiri seminar-seminar. Tujuannya jelas, mengumpulkan sertifikat sebanyak-banyaknya agar lulus sertifikasi sehingga menjadi “profesional”. Akhirnya dalam pandangan guru, profesional adalah mengumpulkan sertifikat sebanyak-banyaknya, bukan mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada muridnya.
Mendekati ujian nasional yang akan dilakukan April ini, profesionalisme kembali dituntut. Benarkah guru benar-benar profesional dari kaca mata dedikasinya mengabdi? Pertanyaan itu patut muncul. Mengingat kini—masa mendekati UAN—kerap terjadi siswa diminta untuk ikut les/ belajar tambahan di luar jam belajar wajib. Tujuannya jelas untuk mendongkrak nilai siswa agar mampu lulus dalam ujian nanti. Hanya saja, di sejumlah sekolah, siswa diharuskan membayar iuran les tersebut. Semua itu dengan alasan membayar guru yang mengajar les tersebut. Dalam hal ini, beberapa keberatan dapat kita ajukan. Namun, yang paling mendasar adalah, jika memang guru dituntut untuk profesional, mengapa harus memungut bayaran dari siswa?
Bercermin Pada Laskar Pelangi
Dari sinilah kita harus beranjak memulai pembicaraan kita tentang makna profesionalisme. Penulis ingin mengajak pembaca sekali lagi membuka kembali sebuah novel yang terbit pada tahun 2005 lalu yang kini tengah booming filmnya. Laskar Pelangi. Sebuah novel yang memberikan gambaran tentang kondisi pendidikan di daerah terpencil. SD Muhammadiyah Gantong salah satu daerah di Bangka Belitung pernah menjadi saksi bagaimana guru-guru dan murid-muridnya bahu-membahu mempertahankan nilai-nilai pendidikan di bawah keterbatasan yang sangat memilukan.
Andrea Hirata, penulis novel ini, tidak hanya sekadar bercerita. Ia menampilkan potret nyata pendidikan tahun 1970-an. Suatu masa saat pendidikan harus berjuang sendiri mengutip hidupnya tanpa bisa berharap banyak pada negara. Sebab pada masa itu, negara sendiri sedang dalam masa krisis dan pergantian pemerintahan. Pancaroba politik.
Tetapi keadaan tersebut tidak membuatnya harus merendahkan diri menjadi hina. Malah kita harus memberikan pujian bagi mereka karena orang-orang yang berkecimpung di dalamnya cerminan orang-orang perkasa.
Laskar Pelangi sebenarnya ingin memberikan pandangan tentang guru saat ini agar tetap berdedikasi. Andrea menginginkan guru Indonesia muncul di tengah masyarakat sebagai pelita. Memberikan sinarnya untuk dapat diteladani. Sehingga akan nampak nyata slogan bagi guru: digugu dan ditiru.
Bu Muslimah Hafsari adalah perlambangan guru idaman Andrea—yang juga diidamkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan polosnya Andrea menggambarkan sosok Bu Mus tersebut dalam novelnya sebagai …seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spritual dalam pendidikan. (hal. 30)
Sebelumnya, Andrea menampilkan kehidupan Bu Mus yang hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) namun bertekad untuk terus mengobarkan pendidikan. Lanjut Andrea,
Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktek Olahraga. Setelah seharian mengajar, ia melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya. (hal. 29)
Dan itu –menurut penuturan Andrea Hirata—dilakukan Ibu Mus pada usia 16 tahun dengan gaji hanya 15 kg beras setiap bulannya!
Tetapi, betapa mengagumkannya efek yang diberikan oleh guru tersebut bagi muridnya. Ia mampu menginspirasi seorang anak pedalaman untuk terus bersekolah sehingga mampu mengjejakkan kakinya di salah satu tempat peradaban pendidikan terbaik dunia. Dialah penulis novel Laskar Pelangi tersebut!
Yang mengherankan kini, sikap profesionalisme justru muncul dari seorang guru yang bukan lulusan LPTK. Inilah gambaran nyata pahlawan tanpa tanda jasa. Sementara guru Indonesia, di tengah kemewahan fasilitas yang ada, masih terus juga menggemborkan tunjangan pendidikan. Sehingga murid-murid pun terabaikan oleh seminar-seminar kecil untuk mendongkrak poin sertifkasi sang guru. Juga memungut bayaran untuk sekadar mendidik murid agar lulus dalam ujian nasional mereka.
Sehingga patut bagi kita bercermin pada Ibu Mus dan Pak Harfan bagaimana menggembleng pribadi guru menjadi profesional, bukan karena mengharapkan materi, tetapi demi dedikasi terhadap negara. Kini, Bu Muslimah sudah mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya selama ini. Meski tidak seberapa. Namun setidaknya, satyalencana yang disematkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tubuhnya telah menjadi gambaran pemerintah untuk menghargai setiap dedikasi sang guru memajukan pendidikan Indonesia.

(Penulis, Mahasiswa Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah FKIP Unram)

Comments :

0 komentar to “Laskar Pelangi dan Makna Profesionalisme Guru”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine