Jumat, Maret 06, 2009

Kastil Kesunyian

Untuk kau yang bersendiri ini, aku datang. Andai kau tahu, setiap tarikan dari napas ini adalah pengharapan, dan sepatah kata yang keluar secara tersengal-sengal adalah ketidakpastian. Kita terlalu sibuk dalam teka-teki diri. Sehingga melupakan bahwa langkah diri telah semakin menjauhi orang-orang yang semula di belakangmu.

Aku menatap wanita itu lekat-lekat. Ia berdiri pada sebuah kastil kesunyian. Kakinya masih meraba-raba ujung ter-akhir batas kastil itu. Sementara di bawahnya itu, gunung dengan kaldera-nya menanti dengan pijaran yang me-nyakitkan. Ketika kutatap matanya, aku menentang zamrud yang mengkristalkan bias cahaya. “Aku adalah kebimbangan,” begitulah ia memulai dirinya.
“Kebimbangan adalah proses per-menungan. Bermenung mendekatkan pada hal yang menjelaskan. Bimbang-lah. Tetapi ceritakanlah padaku, rupa gerangan penyebab kebimbangan itu.”
“Puncak bimbang dalam diriku adalah belati yang semakin bertumbuh. Aku ingin memangkasnya hingga benar-benar hilang, tapi ia bukan rumput. Sementara aku khilaf menyadarinya, ia telah menjadi pedang yang begitu tajam. Teramat dalam tikamannya. Sehingga aku pun tak mampu lagi mencabutnya saat ia menghunjam.”
“Kau yakin belati itu tidak bisa me-lunak ketika kau tempa? Belati adalah besi. Besi pun mampu untuk memuaikan dirinya mengikuti mau si pandai besi. Tempalah ia menjadi yang kau mau hingga belati tadi menjadi segurat lion-tin cantik untuk kau kenakan.”
Ia menggeraikan rambut yang semu-la ia ikat. Sekuntum melati terjatuh dari rambut itu. Lalu perlahan mengikuti angin, ia lesap dalam kaldera. Di bawah, gunung tengah gelisah. Aku memandang heran pada rambut itu. Ia menangkap maksudku.
“Sanggulku telah rusak. Tetapi aku tidak bisa lari dari pengharapanku itu. Entahlah, mungkin aku terlalu berharap sehingga justru menggerogoti diriku terlalu dalam. Tanpa kusadari sanggul itu pun koyak oleh besarnya harap itu. Atau terlalu berharap pada penantian adalah sebuah kesalahan?”
Aku tidak menjawab. Terlalu sulit merangkum kata dalam pikirku untuk mengeluarkannya dalam bentuk simbol akustik. Lidahku seketika kelu. Maka aku tertunduk. Ia melanjutkan ceritanya.
“Aku berusaha untuk tetap tegar. Tetapi aku adalah kegagalan.” Kakinya melangkah semakin dekat dari ceruk. Kaki itu adalah permainan tapal batas. Beberapa kerikil telah terempas jatuh dan menghilang dalam kaldera di bawah kastil.
“Kita adalah produk dari kegagalan. Manusia adalah kelinci dari sebuah eks-perimen dan ketidakpastian. Hanya saja, kegagalan kita itu selalu mungkin untuk buyar. Oleh karena itu, kuharap kau mau mendengarkan aku, marilah kita kembali. Mereka semua menunggumu.”
“Aku adalah antologi kebodohan. Bagian dari cerita orang-orang lenyap dari sejarah.”
“Tidak di mata kami.”
“Tetapi bagiku itu adalah pembe-naran!” Ia mencecar air matanya.
“Maka hilangkan perasaan itu. Bangunkan dirimu.”
Aku mencoba melangkah mende-katinya. Saat ia tak sadar, kami telah begitu dekat. Tetapi, tiba-tiba saja ia nyalang berontak.
“Jangan lagi mendekat. Satu lang-kah kakimu yang berpindah ke arahku akan menyeburkanku pada kawah yang menganga itu.” Nanar. Aku terkesiap. Hendak kutarik ia sekejap itu juga. Tapi aku sadar, ia masih terlalu lemah untuk mengerti alasanku itu. Kurasa, memaksa bukanlah suatu pembenaran.
“Kita adalah kaldera. Kau tak bisa memungkirinya. Mereka menantikanmu, sementara aku dipasrahi untuk men-jemputmu. Memang aku tidak terlalu mengerti bahasa hati, tetapi aku tahu bahwa hati pun mampu mengalah bila ada pengharapan pada sebuah jalan.”
Aku demikian putus asa untuk mam-pu membuatnya menjauh dari kastil itu. Entah mengapa aku mengharapkan ia dapat menatapku. Aku yakin akan gagal kali ini, setelah itu lepaslah sudah peng-harapan. “Baiklah, sepertinya aku tidak ditakdirkan untuk membuat seseorang mampu memahami mauku. Secangkir kopi mungkin akan menghilangkan penatku ini setelah aku bertolak dari sini. Terima kasih atas pembicaraan yang teramat singkat ini. Selanjutnya kita berdiskusi dengan diam.” Aku ber-balik hendak pergi. Sayapku tak mampu mengepak dengan benar.
“Aku pergi sekarang,” kataku tanpa menolehnya lagi.
“Tunggu!” ia menarik satu bagian sayapku. “Semula aku akan menghen-tikan napasku pada penghujung penye-salanku.”
Ia mendekat.
“Sebermula aku sudah ingin mena-rikmu turun dari ‘altarmu’ itu. Dan bila saja kau menghamburkan dirimu pada kaldera itu, aku akan tetap mengejarnya. Karena aku telah berjanji pada diriku bahwa kau juga merupakan bagian dari rencanaku. Dan aku akan memperjuang-kan setiap rencanaku untuk kukembali-kan pada posisinya.”
Serta-merta ia mencoba turun dari tapal terakhir kastil itu. “Ini bukanlah simposiumku,” ucapnya. Begitu indah melihat satu demi satu jari kaki yang secara lembut itu memijak di lantai tangga terbawah. Seakan jemari tangan yang menekan tuts-tuts untuk menden-dangkan bait pada piano. Ia mendekat.
“Mereka semua menunggumu. Mari-lah bersegera.”

Inilah mampu terakhirku untuk memangggilmu. Melalui bahasa, melalui kata.
Lepas itu, hanya hati yang akan mengulur segala.

***
Demikianlah kututup diari itu. Dan selembar demi selembar kertas yang bertuliskan aksara itu terlepas dari pengaitnya; menghilang bersama api. Menghangatkanku.

Comments :

0 komentar to “Kastil Kesunyian”

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto Saya
Muh. Ardian Kurniawan
adalah seorang manusia yang lahir dari seorang ibu yang sangat saya cintai. Tinggal di Kampung Melayu Tengah-Apenan-Lombok
Lihat profil lengkapku

Followers

Copyright © 2009 by ...................................................................................................
Themes : Magazine Style by Blogger Magazine